Sekolah Lintas Iman UIN Sunan Kalijaga Lahirkan Ahli Politik Bermartabat untuk Indonesia yang Beradab

Sekolah Lintas Iman (SLI) yang digagas UIN Sunan Kalijaga bekerjasama dengan Institut DIAN/Interfidei, Universitas Kristen Duta Wacana, dan Universitas Sanata Dharma menyelenggarakan Kuliah Umum bertemakan “Politik Bermartabat untuk Indonesia yang Beradab.” Forum dalam rangka mengawali agenda perkuliahan ini diselenggarakan di Gedung Prof. K.H. Saifuddin Zuhri, kampus UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Sabtu, 17/2/2018. Forum yang dibuka Rektor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Prof. Drs. K.H. Yudian Wahyudi, Ph.D. ini dihadiri oleh lebih dari 100 orang dari berbagai kalangan, diantaranya Dekan dan Wakil Dekan Bidang Kerjasama Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam, Dekan dan Wakil Dekan Bidang Kerjasama Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Sunan Kalijaga, Direktur DIAN/Interfidei, Dr. Elga Sarapung, para dosen dari UKDW, USD dan UIN Sunan Kalijaga. Dan menghadirkan narasumber Romo Dr. Mateus Mali dari Universitas Sanata Dharma, Pdt. Prof. Dr. Gerrit Singgih dari Universitas Kristen Duta Wacana, Rektor UIN Sunan Kalijaga, Prof. K.H. Drs. Yudian Wahyudi, Ph.D., serta mahasiswa peserta Sekolah Lintas Iman yang berasal dari berbagai perguruan tinggi di Yogyakarta.

Elga J. Sarapung dalam sambutannya menyampaikan bahwa Institut DIAN/Interfidei bersama UIN Sunan Kalijaga, UKDW, dan Universitas Sanata Dharma menggagas acara yang sudah berlangsung sejak 2009 dan sedang merencanakan keberlanjutannya agar dapat bermanfaat bagi masyarakat yang lebih luas. Tema yang diambil kali ini sangat relevan karena agama-agama merupakan wilayah paling strategis, yang apabila program ini berhasil akan membawa Indonesia menjadi negara yang bermartabat. Elga sangat memperihatinkan peristiwa kekerasan yang terjadi di sebuah tempat ibadah di Yogyakarta dan akumulasi dari beberapa masalah yang menumpuk dan berbau intoleransi antar pemeluk agama di Indonesia menjadi cambuk bagi 4 institusi penyelenggara untuk menyuburkan sekolah lintas iman

Dekan Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam, Dr. Alim Roswantoro, dalam sambutannya menyatakan, “Islam sejak pertama sejarahnya di Madinah dulu sudah bersahabat dengan politik—yang bekerja untuk pembentukan negara., Hal ini terbukti dengan lahirnya piagam Madinah. Waktu itu negara lahir karena kontrak sosial—sebelum Hobes lahir di Eropa dengan kontrak sosialnya.” Islam sudah tidak asing dengan yang namanya negara. Islam mendukung lembaga pemerintahan yang mendasarkan tujuannya pada kesejahteraan dan perlindungan hak-hak hidup bersama. Dekan menegaskan bahwa Agama dan Politik secara subtansi tidak dapat dipisahkan karena saling menguatkan, dan semakin dewasa seseorang dalam beragama maka akan semakin dewasa dalam berpolitik. Kedewasaan politik tampak dalam kemampuan merangkul berbagai kelompok dan keyakinan yang berbeda. Dekan berharap bahwa SLI melahirkankhalifatullah fil Ard, yaitu manusia yang bisa memanfaatkan alam dan profesional dalam beragama.

Sementara itu, Prof. Drs. K.H. Yudian Wahyudi, Ph.D. dalam paparannya menegaskan, “Pancasila itu dalam implementasinya bersifat religius dan sekular sekaligus,” menurutnya, secara tidak langsung segala yang berkenaan dengan pancasila tidak satupun bertentangan dengan Islam, bahkan dengan agama-agama manapun, entah Kristen, Yahudi, Konghucu, Budha, Hindu, dan yang lainnya. Di dalam Pancasila terdapat nilai-nilai agama yang unuiversal. Jadi jika ada yang menentang keberadaan Pancasila, ia sama halnya tidak mengakui Rahmat Allah, yang diwujudkan dalam peraturan atau kesepakatan bersama. Rektor mengingatkan bahwa kita adalah bangsa yang hebat, terhebat dalam membangun bangsa dan negara karena mampu menyatukan berbagai perbedaan yang ada. Rektor mengharapkan SLI bisa melahirkan mahasiswa yang bisa ikut andil dalam kampanye perdamaian, tidak saja berkutat di dalam kampus tapi juga terjun langsung menjadi penyeimbang persoalan kekerasan dan legitimasi atas nama agama. Sebab agama bukan saja apa yang kita yakini, lebih dari sekadar itu ialah apa yang kita amalkan, tegas Prof. Yudian.

Prof. Dr. Pdt. Emanuel Gerrit Singgih menyinggung tentang tantangan Indonesia ke depan karena menurutnya Indonesia mengalami krisis kepemimpinan. Indonesia menurutnya belum mempunyai seorang negarawan, yang memikirkan apa yang disebutnya sebagaibonum communae.Kita hanya punya politisi yang hanya memikirkan masa kini dan untuk kepentingan sekarang. Korupsi, fenomena intoleransi, disintegrasi dan lemahnya kesadaran sejarah menurutnya adalah penyakit yang sedang dan akan terus menggerogoti kita. Dalam rangka beragama yang bermartabat menurut Gerrit harus dimulai dengan oto kritik, yang berarti kesediaan menerima bahwa diri sendiri juga bisa saja bermasalah. Dialog menurutnya adalah kesediaan untuk merubah paradigma bahwa agamanya sendiri yang paling benar, tetapi bahwa agamanya setara dengan agama lain.

Rm. Dr. Mateus Mali CsSR menambahkan, politik yang bermartabat harus melayani, menjadi pelayan atau hamba; dan berpihak pada orang miskin. Politik menurutnya adalah keterlibatan dalam menyejahterakan masyarakat, memandang sesama dalam solidaritas yang kuat. Empat dasar dalam martabat politik yaitu Demokrasi, menciptakan kesejahteraan bersama, kebebasan tidak dipasung dalam stigma stigma tertentu, dan keadilan. Untuk menjadikan Indonesia menjadi negara yang bermartabat, hendaknya bangsa Indonesia perlu belajar sejarah keindonesiaan untuk mengikat solidaritas, selalu menggelorakan semangat keindonesiaan yang diikat pilar-pilar kebangsaan, keimanan yang kuat kepada Sang Pencipta dan memandang sesama manusia sebagai umat yang sejajar.

Menurut Wakil Dekan Bidang Kemahasiswaan dan Keerjasama Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Isalm,Dr. Inayah Rahmaniyah, materi pembelajaran SLI antara lain tentang; pesan perdamaian dan konsep politik yang bermartabat atau politik otentik, meminjam istilah Hannah Arendt— melekat dalam kehidupan pemeluk agama yang berbeda, sehingga ke depan para peserta bisa melanjutkan kerjasama-kerjasama yang bersifat konstruktif (Khabib).