Menkopolhukam Tutup Perhelatan Pekan Pancasila dan Bela Negara

Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Mekopolhukam) RI, Jendral Purnawirawan Wiranto menutup Seminar Nasional bertajuk "Pemuda dan Bela Negara" di Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, Sabtu, 3/11/18. "Saya berada di UIN Yogyakarta menghadiri acara seminar dalam rangka Pekan Pancasila dan Bela Negara ini mewakili Pak Presiden yang sedianya hadir, namun karena kepadatan acara saya diminta mewakili," kata Wiranto usai menutup agenda besar UIN Sunan Kalijaga yang berlangsung sejak 3/11 lalu.

Menurut Menkopolhukam, tema yang diambil dalam seminar sangat bagus, karena tidak lepas dari Pancasila dan Bela Negara, sehingga dari situ pihaknya sangat paham ada kehendak yang sangat kuat untuk terus mempertahankan ideologi Pancasila yang dipelopori para pemangku kebijakan di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, diikuti seluruh komponen civitas akademika dan disuport oleh seluruh PTKIN di Indonesia. Maka saya meyakini bahwa kampus ini merupakan kampus Pancasila, kampus untuk bagaimana kembali menempatkan Pancasila sebagai `way of life` bangsa. Melalui kegiatan ini pihaknya berharap Pancasila akan sangat dipahami betul oleh generasi penerus kita, oleh generasi milenial," katanya. Wiranto juga mengatakan, bagaimana kewajiban dan keharusan semua pihak untuk melakukan bela negara. Dan kata kuncinya adalah Pancasila, bela negara yang harus selalu dipegang teguh untuk persatuan Indonesia, dan demi kejayaan NKRI, kata Wiranto.

Kemerdekaan bisa diraih karena Indonesia bersatu, maka setelah berdeka, Indonesia bisa membangun (bangsa) kalau Indonesia bersatu, kita bisa aman bisa mencapai suatu masyarakat adil makmur dalam pembangunan kalau kita bersatu. Intinya adalah bahwa agenda besar UIN Sunan Kalijaga kali ini adalah mengajak seluruh bangsa Indonesia bahwa persatuan itu harga yang sangat mahal dan sangat penting bagi kehidupan kita yang bernegara. Oleh sebab itu, Wiranto meminta semua warga negara jangan sampai mencoba untuk menodai persatuan Indonesia yang sudah diwariskan dari para pendahulu, selain itu persatuan Indonesia harus selalu dirawat dan dijaga, demikian ajak Wiranto.

Persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia merupakan modal untuk bisa membangun negeri ini sampai mencapai cita-cita masyarakat adil makmur. Itulah semangat yang ingin dikembangkan Rektor UIN Sunan Kalijaga, mengajak seluruh civitas akademika, pemuda Indonesia, seluruh mahasiswa Indonesia untuk betul-betul menghayati bahwa ada satu semangat yang harus kita jaga, yakni semangat persatuan, cinta Pancasila, demi kejayaan NKRI, untuk mewujudkan keadilan dan kesejahteraan seluruh msyarakat Indonesia.

Kepada gererasi muda Wiranto mengingatkan, NKRI menjadi tempat Bangsa Indonesia lahir, bekerja, dan sampai mati. Kalau enggak merasa memiliki NKRI itu kebangetan. Apalagi enggak membela NKRI itu khianat. Seluruh komponen bangsa wajib membela NKRI dari ancaman perpecahan, terorisme dan narkoba dan lain-lain. Di sisi lain, sebagai bangsa yang mayoritas Muslim maka sifat egosentris (menilai sesuatu hanya dari sudut pandangnya sendiri) harus dihilangkan. Maka akan menghasilkan toleransi. Apabila toleransi sudah terwujud akan menghasilkan mufakat, dan tidak akan pernah ada lagi ribut-ribut, karena beda pemahaman keagamaan.

Sebagai gambaran kepada peserta seminar, Jendral Wiranto membeberkan alasan kenapa dia tidak mengambil alih pemerintahan saat krisis melanda Indonesia tahun 1998. Padahal, saat itu dia bisa melakukannya. Pak Wiranto menyebut memiliki kesempatan untuk memegang tongkat kepemimpinan negara karena saat itu dia menjabat Panglima ABRI. Namun dia memilih memberi jalan bagi Wapres BJ Habibie untuk menjabat Presiden RI sesuai konstitusi, menggantikan Soeharto yang kala itu mengundurkan diri.

"Mengapa Pak Wiranto tidak mengambil alih, sebenarnya bisa, bisa sekali. Karena sudah Menhankam/Pangab, keadaan semrawut, saya punya kemampuan, punya kewenangan karena Inpres 16 itu memberi kesempatan kepada Panglima ABRI untuk mengambil kebijakan tingkat nasional, semua menteri pejabat pusat daerah membantu panglima untuk mengatasi sumber-sumber kerusuhan, bisa. Darurat militer se-Indonesia, ambil alih dulu, pemilu dipercepat, gak usah bikin partai politik, gak usah kampanye, gak keluar duit," kata Pak Wiranto.

"Tetapi yang terjadi apa? Kalau saya ambil alih, perpecahan, persatuan Indonesia akan tergerus. Saya hadap staf, tanya kalau saya ambil alih risikonya apa, korban berapa kira-kira kalau kita bersihkan (demonstran di gedung) DPR-MPR, kita hitung perkiraan jumlah korban berapa, ada ilmunya di dunia militer. Kira-kira 200-250 mahasiswa akan mati, 'masyaallah' saya bilang gitu, 4 aja ribut ada 200 bagaimana, pecah Indonesia," sambung Pak Wiranto. Atas pertimbangan itu, dimemutuskannya untuk tidak mengambil alih pemerintahan Indonesia saat itu."Maka saya katakan, tidak (saya ambil alih), kita hantarkan pergantian kepada wakil presiden Republik Indonesia," tandas Wiranto.

"Ini pembelajaran dalam politik tidak boleh brutal, harus rasional. Dalam politik tidak boleh liar, tidak boleh ego. Politik tujuannya untuk sejahterakan masyarakat, tatkala dalam perjalanan menyengsarakan umat, itu politik ngawur pasti," paparnya. Wiranto menyinggung kondisi negara tahun 1998 setelah sebelumnya bertanya kepada peserta seminar yang merupakan mahasiswa PTKIN. Wiranto bertanya apakah peserta seminar mengetahui sejarah 1998. "Saya punya pengalaman yang bisa saya sampaikan kepada adik-adik sekalian yang barangkali saat Indonesia mengalami krisis tahun 1998, itu Anda sekalian masih anak-anak, 20 tahun lalu, ada yang belum lahir malah kan? Banyak sekali defiasi-defiasi dari kejadian itu yang terlupakan, diisi oleh sesuatu informasi yang berbeda," ujarnya. Wiranto menyebut banyak penggalan kejadian sejarah waktu itu yang terlupakan dan bisa jadi pembelajaran untuk masa depan bangsa.

Wiranto lantas menyetel video berjudul Indonesia di Persimpangan Jalan 1998. Video berisi cuplikan aksi demo mahasiswa di Jakarta, momen Soeharto mengundurkan diri sebagai Presiden RI, keterangan pers Wiranto selaku Panglima ABRI dan pelantikan Habibie sebagai Presiden RI. "Saya sampaikan bisa jadi pembelajaran bahwa persatuan itu sesuatu yang sangat penting. Kata kuncinya persatuan, karena tanpa persatuan kita tidak bisa apa-apa.”

Wiranto lantas menyanyikan penggalan lagu Indonesia Pusaka, serta memaparkan peristiwa sejarah ketika masa Hindia Belanda tahun 1602-1945 hingga proses kehidupan berbangsa mulai peristiwa Boedi Oetomo pada 1908 sebagai embrio sadar berbangsa, Sumpah Pemuda 1928 momentum semangat bersatu dan Proklamasi Kemerdekaan 1945.

Wiranto juga mengatakan, berdasarkan sebuah survei, Indonesia akan menjadi negara dengan ekonomi terbesar pada 2030 mendatang. Untuk itu dibutuhkan semangat persatuan bangsa untuk mewujudkan Indonesia sebagai raksasa ekonomi. Kalau dikatakan 2030 Indonesia bubar, pihaknya tidak setuju. Hidup berbangsa dan bernegara itu harus optimistis, demikian pungkas Jendral Wiranto.

Sementara itu Rektor UIN Sunan Kalijaga, Prof. Yudian Wahyudi dalam pidato pada akhir perhelatan Pekan Pancasila dan bela Negara kali ini mengingatkan kembali kepada seluruh peserta untuk terus menggelorakan nilai nilai Pancasila dalam kiprah sehari-hari, khususnya generasi milenia. Setelah selama tiga hari mendapatkan pemahaman yang mendalam tentang nilai-nilai Pancasila dari berbagai sudut pandang, baik dari sudut pandang dari tokoh semua agama, maupun dari sudut pandang para pakar ekonomi, politik, sosial, budaya dan berbagai bidang keilmuan. Juga berbagai pandangan mempertahankan NKRI dan Pancasila, tantangan yang harus dihadapi, hingga bagaimana menjaga persatuan dan kesatuan bangsa. Prof. Yudian menjelaskan, pemahaman dini kepada mahasiswa soal Pancasila, termasuk memahami persatuan dan kesatuan itu penting. Karena mahasiswa merupakan generasi yang akan memimpin Indonesia dan membesarkan NKRI. Selesai menutup seluruh rangkaian acara Pekan Pancasila dan Bela Negara di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Jendral Wiranto menerima penghargaan dari Rektor UIN Sunan Kalijaga sebagai Dosen Kehormatan. (Weni)