Prof. Dr. Phil Al Makin, S. Ag., MA. Dikukuhkan Sebagai Guru Besar Filsafat, Dosen di Indonesia Hadapi Tantangan Kompleks untuk Menjadi Cendekiawan

Prof. Dr. Phil Al Makin, S. Ag., MA. Dikukuhkan Sebagai Guru Besar Filsafat. Prof. Al Makin dikukuhkan sebagai Guru Besar bidang Filsafat berdasarkan SK. Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Republik Indonesia Nomor 14422/A2.3/KP/2018, setelah menyampaikan Pidato Guru Besarnya yang berjudul “Bisakah Menjadi Ilmuwan di Indonesia? Keilmuan-Birokrasi dan Globalisasi,” bertempat di Gedung Prof. RHA. Soenarjo, Kamis, 7/11/1.

Dalam pidatonya Prof. Al Makin antara lain menyampaikan bahwa, para dosen di Indonesia menghadapi tantangan yang kompleks untuk sampai pada tataran cendekiawan. Tantangan dan problem kecendekiawanan saat ini sudah berbeda dengan sebelumnya. Disamping diperlukan riset yang lebih mendalam, dengan metode dan teori terkini, media dan publikasi juga telah jauh berubah. Perkembangan jurnal, penelitian, dan globalisasi ilmu menuntut para cendekiawan di Indonesia untuk mengikuti alur baru. Seperti Scopus H-Index, Sitasi dan lain sebagainya.

Menurut Prof. Al Makin, menjadi ilmuwan pada saat ini berbeda dengan zaman Mukti Ali, Hasbi Ash-Shiddigy, Simuh, Harun Nasution, Nurcholis Madjid, Kuntowijoyo, Djohan Effendi atau Abdurrachman Wahid. Sebab dunia sudah berubah, cendekiawan harus mengikuti dan tidak bisa lagi menawarkan hal yang sama dengan para pendahulu. “Kita harus bisa menjadi ilmuwan berkelas dan mendunia, yang berbeda pengertiannya dengan para pendahulu kita,” kata Prof. Al Makin.

Kita apresiasi para pendahulu kita, kritik dan pujian, sekaligus kita tawarkan yang sesuai dengan era kini. Jika ojek saja sudah online maka apalagi ilmuwan. Tidak layak, jika ilmuwan kini masih manual dan analog, belum digital, tambah Prof. Al Makin. Kita bisa menyaksikan bahwa Indonesia mampu memproduksi politisi handal, birokrat ulung, administrator lihai, namun apakah negara ini mampu melahirkan ilmuwan berkelas?

Untuk menjawab tantangan itu, Prof. Al Makin memaparkan tantangan kompleks yang melingkupi para dosen di Indonesia untuk menjadi cendekiawan/ilmuwan berkelas dan bisa mendunia. Beban administrasi yang sangat berat dan kesejahteraan yang minim membuat para dosen/peneliti tak maksimal mengembangkan keilmuannya. Para dosen dan peneliti di Indonesia harus menanggung beban administrasi sangat tebal yang membelenggu kebebasan dan kreatifitas mereka untuk berkarya, kata pria yang menyelesaikan studi S3 di Universitas Heidelberg, Jerman ini.

Di perguruan tinggi negeri misalnya, para dosen memiliki banyak sekali kewajiban administrasi, seperti mengisi presensi, mengurus surat tugas dan surat keputusan, mengisi penilaian kinerja dan laporan keuangan penelitian, dan kewajiban kewajiban lain yang menyita waktu, tenaga dan pikiran para dosen. Akibatnya mereka tak bisa maksimal menjalankan tugas utama mereka, yakni; mengajar, melakukan penelitian, dan mengembangkan ilmu pengetahuan baru. Waktu yang dihabiskan lebih banyak untuk menyelesaikan kewajiban administrasi, akhirnya banyak dosen yang tidak menjadi ilmuwan tetapi menjadi birokrat.

Putra kelahiran Bojonegoro ini menambahkan, persoalan-persoalan administrasi yang membelenggu para dosen sebenarnya tidak terkait langsung dengan pengembangan keilmuan yang menjadi tanggungjawab utama. Dia mencontohkan, laporan penelitian yang harus diisi oleh para dosen PTN lebih banyak berisi hal-hal teknis, misal surat ijin dari pejabat terkait, laporan beaya transportasi, penginapan, konsumsi dan lain-lain. Sehingga kondisi kampus-kampus saat ini banyak melahirkan birokrat, administrator, politisi, dan belum begitu kondusif untuk menaungi ilmuwan, peneliti dan kemajuan ilmu pengetahuan. Bahkan gengsi menjadi ilmuwan terbilang rendah, karena penghargaan yang terlalu bersahaja, sehingga tidak mengherankan, jika dosen banyak yang sukses dengan karir di kepemimpinan, birokrasi, administrasi kampus, atau kementerian, namun sedikit yang sukses sebagai ilmuwan kompetitif level internasional.

Sebagai peneliti dalam tradisi, budaya, dan spiritualitas, yang salah satunya telah melahirkan karya Nabi-Nabi Nusantara, Prof. Al Makin mengaku, pihaknya tidak pernah melakukan pekerjaan-pekerjaan administrasi seorang diri. Dengan komunikasi persuasif yang dilakukannya, ada saja orang baik hati yang membantunya, sehingga ia bisa fokus pada kerja-kerja akademik dan riset. Oleh karenanya ia mengajak untuk optimis, keilmuan Indonesia bisa mendunia.

Al Makin adalah putra seorang guru dan kiyai ngaji di pelosok kampung dekat hutan jati di Desa Sidorejo, Kedungadem, Bojonegoro. Ibunya juga seorang guru madrasah. "Bisa dibilang, ayah seorang dukun, tempat orang-orang di kampung mengadu dan meminta pertolongan untuk semua persoalan," katanya.

Al Makin l kuliah S1 Jurusan Tafsir Hadis, Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta (1996). Kemudian melanjutkan studi ke luar negeri. S2 di The Institute of Islamic Studies, McGill University, Kanada (1999), dan meraih S3 di Universitas Heidelberg, Jerman (2008). Disertasinya tentang Musaylimah, seorang pendaku nabi yang gagal mendirikan komunitas di Yamamah pada abad ke-7 bersamaan dengan kelahiran Islam.

Kini, selain menjadi dosen di Fakultas Ushuluddin UIN Yogyakarta, Al Makin juga dipercaya menjadi Ketua LP2M (Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat) dan Editor in chief, “Al Jam’iah”, international journal of Islamic studies. Anggota Akademi Ilmuwan Muda Indonesia. Aktif sebagai peneliti dan dosen tamu di beberapa universitas mancanegara, antara lain: University of Western Sydney, Australia, Heidelberg University, Jerman, Asia Research Institute, National University of Singapore, French Business School ESSEC, Asia Pacific, Singapore, Bochum University, Jerman , dan McGill University. Aktif menulis artikel di jurnal internasional dan tulisan populer di koran. Sejumlah bukunya, antara lain: “Anti Kesempurnaan: Membaca, Melihat, dan Bertutur tentang Islam” (2002), “Nabi Palsu, Membuka Kembali Pintu Kenabian” (Arruz, 2003) dan “Bunuh Sang Nabi: Kebenaran di Balik Pertarungan Setan melawan Malaikat” (Hikmah Mizan, 2006), “Antara Barat dan Timur: Melampui Jurang Masa Lalu untuk Meniti Jembatan Penghubung Barat dan Timur” (2015/2016), “Keragaman dan Perbedaan: Budaya dan Agama dalam Lintas Sejarah Manusia”( 2016), dan “Nabi-Nabi Nusantara: Kisah Lia Eden dan lainnya”( 2017). Beberapa bukunya terbit dalam bahasa Inggris, yaitu “Plurality, Theology, Patriotism: Critical Insights into Indonesia and Islam” (2017), “Challenging Islamic Orthodoxy, the Accounts of Lia Eden and Other Prophets in Indonesia” 2016), dan “Representing the Enemy: Musaylima in Muslim Literature (2010).

Rektor UIN Sunan Kalijaga, Prof. Drs. K.H. Yudian Wahyudi MA., Ph.D., berharap, gagasan Prof. Al Makin yang menjadi kegelisahan banyak Dosen di Indonesia bisa didengar oleh Pemerintah. Ke depan akan ada pembaharuan kebijakan Pemerintah yang bisa memacu terlahirnya ilmuwan Indonesia yang mendunia. (Weni)