Iswandi Syahputra Dikukuhkan Menjadi Guru Besar Bidang Ilmu Komunikasi UIN Sunan Kalijaga

Prof. Dr. Iswandi Syahputra, M. Si., mengatakan, hoaks di media sosial telah membuat masyarakat Indonesia terbelah dalam perangkap saling membenci dan terpolarisasi. Hoaks seperti hujan deras, yang membuat siapapun tak sempat mencerna kebenaran satu informasi, sudah muncul informasi lain yang didesain seperti informasi yang mengandung kebenaran. Hoaks juga sering disampaikan oleh public actor yang sering menyerukan kebenaran. Sehingga terkadang informasi yang tidak benar disampaikan oleh public actor yang bekerja manyampaikan kebenaran, seperti; para pemangku agama, intelektual, seniman, budayawan, bahkan negarawan, membuat informasi yang salah tersebut seolah-olah mengandung kebenaran (seperti benar) dan melahirkan bibit bibit kebencian yang sulit dikendalikan.

Bagaimana kebencian dapat muncul dan dengan cepat menyebar di media sosial. Awalnya diduga terjadi karena ada suatu hal yang memang patut dibenci. Tetapi dugaan itu keliru. Karena kebencian di media sosial muncul karena adanya penyebaran dan penerimaan informasi hoaks dan bahkan mengandung ujaran yang tidak baik. Proses penyebaran informasi hoaks atau ujaran yang tidak baik itu muncul, menyebar dan diterima oleh nitizen bisa digambarkan sebagai spiral. Spiral kebencian tersebut bekerja, dari mulai diam-diam sebagai kebencian implosif yang tersimpan, hingga meledak menjadi kebencian eksplosif sebagai ujaran kebencian (hate speech).

Demikian Prof. Iswandi Syahputra mengawali pidato guru besarnya dalam forum rapat senat terbuka pengukuhan guru besar, bertempat di Gedung Prof. RHA. Soenarjo, SH. kampus setempat, 10/12/2019. Prof. Dr. Iswandi Syahputra dikukuhkan sebagai guru besar bidang Ilmu Komunikasi oleh Ketua Senat Universitas Islam negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta, Prof. Dr. H. Siswanto Masruri dengan menyampaikan orasi ilmiahnya berjudul “Hoaks dan Spiral Kebencian di Media Sosial.” Prof. Iswandi Syahputra merupakan Guru Besar Pertama Fakultas Sosial dan Humaniora, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, yang dikukuhkan berdasarkan Keputusan Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Republik Indonesia Nomor 35170/M/KP/2019.

Lebih Jauh Prof. Iswandi Syahputra memaparkan , perpaduan antara kecenderungan politik, keyakinan keagamaan dan ketergantungan pada informasi yang diperbincangkan secara tertutup pada kantung-kantung percakapan menghasilkan peningkatan emosi dan kemarahan. Sehingga kemarahan, kecemasan, kesedihan dan kebencian menjadi lebih cepat berkembang di media sosial”, jelasnya

Dalam pidatonya tersebut, Iswandi menjelaskan empat lingkar spiral kebencian yang menyebar di media sosial. “Ujaran kebencian di media sosial tersebut menyebar melebar dari kebencian implosif yang terpendam hingga kebencian eksplosif yang tersampaikan. Pada lingkar spiral pertama, kebencian masih bersifat personal, tersimpan dan terpendam. Kebencian pada lingkar ini muncul karena adanya penerimaan, penyerapan atau internalisasi berbagai informasi yang tersebar pada berbagai jenis media sosial.”

Iswandi melanjutkan, pada lingkar spiral kedua kebencian muncul sebagai akibat saling berbagi informasi yang menimbulkan kebencian bersama tentang suatu informasi tertentu pada satu kelompok yang memiliki karakteristik spesifik yang sama. “Pada tahap ini, informasi yang beredar dianggap mengandung kebenaran sehingga dapat mengokohkan pandangan anggota kelompok yang sejenis”, ujarnya.

Berikutnya pada lingkar spiral ketiga, kebencian di media sosial terjadi pada lintas kelompok netizen. “Pada lingkar spiral ini,, informasi bukan lagi sekedar informasi tetapi menjadi agenda atau isu publik”, ungkapnya. Selanjutnya pada lingkar spiral keempat, kebencian meledak sebagai ujaran kebencian yang tersampaikan di media sosial karena mendapat dukungan dari kelompkok komunal. “Proses pada level ini terjadi secara hiper-interaktif. Saling serang dengan berbagai ujaran kebencian menjadi masif dan terbuka. Proses tersebut tidak dapat dikendalikan karena kebebasan berpendapat dalam iklim demokrasi yang dianut”.

Untuk menangkal kebencian di media sosial, Iswandi meminta perhatian pada akademisi, pemerintah dan netizen. “Seorang akademisi perlu memperkuat budaya riset berbasis big data, budaya membaca, budaya berpikir, budaya kritis dan budaya berani berpendapat. Sebab, hoaks dan kebencian di media sosial hanya dapat dihentikan dengan budaya riset, budaya membaca, budaya berpikir, budaya kritis dan budaya berpendapat”.

Dalam Orasinya, Prof. Iswandi juga meminta perhatian pemerintah untuk tetap menjamin kebebasan berpendapat dan kebebasan berbicara warganet di media sosial. “Kebebasan saat ini harus benar-benar dijamin pemerintah sebagai freedom for, bukan freedom from. Pemerintah dan negara harus cermat dalam membedakan antara hoaks dengan kritik dan satir, dapat memilah antara kebencian dan kekecewaan, dapat merasakan perbedaan antara berpendapat dan menghujat”, jelasnya.

Sementara pada warganet, Iswandi meminta perhatian agar lebih cermat dalam aktivitas di media sosial. “Kebebasan berbicara bukan berarti bebas membenci. Freedom of speech bukan berarti freedom to hate. Gunakan jempol untuk konten jempolan”, tandasnya.

Sementara itu Prof. Yudian Wahyudi dalam sambutannya antara lain menyampaikan, pihaknya akan terus berupaya untuk meningkatkan kompetensi dosen untuk menjadi guru besar, sudah ada enam guru besar, dan akan tambah lagi dua guru besar yang akan segera dikukuhkan. Percepatan guru besar ini dilakukan melalui program riset pasca Doktor dengan memberikan beasiswa riset kepada para dosen yang memenuhi syarat kompetensi. Sudah ada 50 beaasiswa riset yang diterima para dosen yang telah bergelar Doktor dengan syarat dan kepangkatan yang telah memeni. Saat ini dari yang menerima beasiswa sudah tiga orang yang selesai, Yang lain akan berurutan menyusul. (Tim Humas)