Prof. Dr. H. Abdul Mustaqim, S. Ag., M. Ag., Dikukuhkan Menjadi Guru Besar UIN Sunan Kalijaga

Prof. Dr. H. Abdul Mustaqim, S. Ag., M. Ag. mengatakan, secara epistemologis, Tafsir Maqashidi dapat menjadi salah satu alternasi dalam meneguhkan kembali moderasi Islam, ketika kita harus berdialektika antara teks yang statis dan konteks yang dinamis. Tafsir Maqâshidi adalah bentuk wasathiyah (moderasi) antara kelompok tekstualis-skriptualis, hingga seolah ‘menyembah teks’ (ya’budûn al-nushûsh) dan kelompok liberalis-substansialis, hingga mendesakralisasi teks (yua`th-thlûn al-nushûsh). Tafsir Maqashidi ingin menggali maqashid (tujuan, hikmah, maksud, dimensi makna terdalam dan signifikansi) yang ada di balik teks, dengan tetap menghargai teks (yahtarim al-nushûsh), sehingga tidak terjebak pada sikap de-sakralisasi teks (ta’thîl al-nushûsh) di satu sisi dan ‘penyembahan teks (`ibadat al-nushûsh) di sisi lain. Pertimbangan terhadap dinamika konteks dan maqashid secara cermat-kritis dalam rangka merealisasikan kemaslahatan dan menolak kemudlaratan (tahqîq al-mashlahah wa dar’ almafsadah) itulah fundamental structure dari Tafsir Maqashidi. Istilah Tafsir Maqashidi ini menyusul kajian maqâshid al-syari’ah (the aims of the Islamic law). Keduanya sama-sama merupakan tema dalam kajian Ushul Fiqh. Namun kalau Tafsir Maqashidi sebagai pijakan epistemologis dalam pengembangan moderasi Islam. Mengapa moderasi ini penting dirawat, sebab memang the nature of Islam is moderation (thabî`ah Islâm hiya al-wasathiyyah (Q.S. al-Baqarah [2]: 143).

Prof. Abdul Mustaqim menyampaikan hal tersebut saat dikukuhkan sebagai Guru Besar pada Rapat Senat Terbuka yang dihadiri Rektor UIN Sunan Kalijaga, Prof. Drs. KH. Yudian Wahyudi, MA., Ph.D., Ketua Senat Universitas, Prof. Dr. H. Siswanto Masruri, MA., anggota senat universitas, segenap sivitas akademika UIN Sunan Kalijaga dan para undangan lainnya, di Gedung Prof. RHA. Soenarjo, 16/12/2019. Prof. Abdul Mustaqim didukukuhkan sebagai Guru Besar Bidang Ulumul Qur’an, setelah menyampaikan Orasi Ilmiahnya berjudul “Argumentasi Keniscayaan Tafsir Maqashidi Sebagai Basis Moderasi Islam.” Guru Besar Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam ini dikukuhkan oleh ketua senat universitas, Prof. Siswanto Masruri, bardasarkan Keputusan Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Republik Indonesia Nomor 35229/M/KP/2019, tanggal 15 Oktober 2019.

Lebih jauh dalam orasi ilmiahnya Prof. Abdul Mustaqim menjelaskan, beberapa alasan bahwa Tafsir Maqashidi cukup argumentatif sebagai basis peneguhan dan pengembangan Islam wasathiyah, Islam yang toleran, inklusif dan humanis (rahmatan lil `alamin). Yang pertama, secara ontologis tafsir maqashidi dapat menjadi filsafat tafsir (falsafah al-tafsir /as philosophy) yang setidaknya memiliki dua fungsi, Pertama, sebagai spirit (ruh) spirit pengembangan tafsir yang responsif dan solutif sesuai tuntutan perkembangan zaman. Kedua, sebagai kritik terhadap kejumudan (stagnasi) produk tafsir yang tidak sejalan dengan tuntutan kemaslahatan maqashid zaman. Yang kedua, Secara epistemologis, tafsir maqashidi adalah sikap wasathiyah (moderasi) antara model berfikir literalis-skriptualis yang cenderung ya’budûna al-nushush (menyembah teks), yang bisa mengarah pada ekstremisme beragama dan model berfikir substansialis-liberalis yang cenderung yu`aththilûna al-nushush (mengabaikan teks atau desakralisasi teks) yang bisa mengarah kepada de-syariati agama secara liberal.

Dijelaskan, Tafsir Maqashidi berada di tengah-tengah keduanya, disatu sisi tetap menghargai teks (yahtarim al-nushush), namun tidak menyembah (lâ ya’bud al-nusuhsud), melainkan memahami maqâshid al-nushush wa hikamiha (maksud-tujuan teks serta hikmah-hikmahnya). Tafsir Maqashidi tetap menjaga wilayah wilayah yang bersifat sakral, constant (al-tsawâbit) dalam soal ibadah mahdlah, hirarkhi nilai obligatory —seperti soal shalat, dengan tetap memahami asrar (rahasia) dan hikmahnya. Namun di sisi lain, Tafsir Maqashidi juga kreatif-inovatif dalam mengembangkan wilayah keagamaan yang bersifat profan, berubah (mutaghayyirât), terkait dengan isu-isu sosial-politik-kemanusian yang dihadapi masyarakat modern dewasa ini, dengan tetap berpegang pada kaedah umum maqashid, yaitu jalb almashâlih wa dar` al-mafâsid dengan segala turunan kaedah-kaedah yang bersifat juz’iyyah.

Tafsir Maqashidi akan mempertimbangkan dan membedakan mana wilayah aspek ghâyah (tujuan) dan mana aspek wasîlah (sarana), mana yang bersifat ushûl (pokok) dan mana yang bersifat furû’ (cabang), mana yang ta`abbudi (rausan dlamîr, hati, rasa meta rasional) dan mana yang ta’aquli (rausan fikr/ pikir, rasional), teologis sekaligus humanistik. Dengan begitu, secara aksiologis diharapkan sikap keberagamaan (al-tadayyun, religiousity) yang berbasis pada paradigma tafsir maqashid juga akan mengalami pergeseran, min al-tadayyun al-tatharrufi, ila al-wasathi (dari keberagamaan ekstrem menuju moderasi), minal in-ghilâq ila al-infitâh (dari ekslusif menunju inklusif), min alla tasamuh ilâ al-tasamuh (dari intoleran menuju toleran), minal furqah ilâ wihdah, (dari disintegrasi menuju integrasi ), minal ikhltilâf ila i’tilâf (dari konflik/disharmoni menuju harmoni), sehingga maqashid yang dicita-citakan agama sebagai rahmah bagi manusia, bukan hanya ada pada level idealis-metafisis, tetapi nyata menyejarah historis-realistis.

Menurut Prof. Abdul Mustaqim, diperlukan perjuangan untuk membela nilai-nilai humanisme (al-qiyam al-insâniyah) dalam konteks ke-Islaman (Tafsir Maqashidi). Seperti fenomena sebagian orang yang begitu semangat untuk melakukan penggrebekan warung-warung makan dan restoran di siang bulan Ramadhan. Kelompok tersebut beralasan demi menghormati kemuliaan bulan Ramadlan dan untuk membela agama (Tuhan). Padahal tidak ada teks yang tegas melarang hal itu. Tidak ada hadis yang menyatakan misalnya, idzâ ja’a ramadlân fa’aghliqû al-matha`im wal maqâhi. Kalaupun ada, kata Prof. Abdul Mustaqim itu hadisnya itu palsu. Perda syari’ah yang melarang membuka restoran atau warung makan di siang bulan Ramadhan, masih bisa diskusikan ulang, apakah itu penting atau tidak, apakah itu melanggar HAM atau tidak. Bukankan ketika, siang Bulan Ramadlan juga tidak semuanya, orang berpuasa, mengingat ada yang sedang menstruasi, hamil, menyusui, ada non muslim yang tak puasa, ada yang sedang musafir yang juga boleh untuk tidak puasa?

Di sinilah tafsir maqashidi yang bersifat antroposentris penting menjadi alternatif. Artinya, bahwa kepentingan kemashlahatan manusia, terkait dengan hifzh nafs ( menjaga jiwa) dan hifzhul mâl (menjaga harta secara produktif). Menutup warung dengan alasan “menjaga agama” karena untuk menghormati bulan puasa. Bisa dibayangan, jika ia harus menutup warungnya, hanya karena bulan Ramadhan, lalu bagaimana dengan penghasilan pemilik warung tersebut yang hanya bisa mengandalkan penghasilan dari jual makanan. Bagaimana dengan nasib anak-anak dan keluarga yang juga tergantung pada buka warung tersebut? Prof. Abdul Mustaqim mengusulkan jalan moderasi, bahwa siang Bulan Ramadlan tetap boleh buka warung, tetapi gording jendela ditutup atau pintu warung dibuka separo, sehingga tetap menghormati mereka yang sedang berpuasa.

Demikian halnya dengan fenomena haji-umroh berulangulang dengan alasan meningkatkan spiritualitas-religiusitas, tapi lalu tidak peduli pada persoalan sosial dan kemiskinan kultural struktural di masyarakat. Sudah barang tentu kritik ini tidak enak didengar oleh pihak biro travel umrah dan haji, yang memang paradigma travel salah satu motifnya adalah bagaimana bisa meraih ghanimah (keuntungan ekonomi) sebanyak mungkin. Contoh lain, Kasus mahasiswa Fakultas Dakwah yang meninggal di Selopamioro Bantul, saat menjadi imam sholat, tercebur di sumur karena Mushalla roboh. Konon para jama’ah melanjutkan shalatnya dan tidak segera menolong imam yang tercebur sumur tua. Ini adalah contoh nyata, bahwa kadang orang merasa menjaga agama, tapi tidak menjaga jiwa manusia. Wa allahu a`lam bis shawab, demikian papar Prof. Abdul Mustaqim. (Weni/Doni)