SPIRIT FILANTROPI

Oleh: Fathorrahman Ghufron (Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta-Wakil Katib PWNU Yogyakarta)

Dimuat di SKH. Republika 27/3/2020.

Di rumah saja, Social distance (jarak sosial), physical distance (jarak fisik), dan beberapa bentuk penghindaran diri lainnya menjadi sebuah frasa atau mantra yang menggema di berbagai belahan benua. Virus korona yang sementara ini sudah menyebar di 194 negara memaksa setiap warga untuk menghentikan aktifitasnya di runag publik. Tak terkecuali di Indonesia, pemerintah semakin giat menggalakkan pentingnya melakukan aktifitas atau kerja di rumah.

Bagi kaum pekerja kelas menengah yang memperoleh pendapatan tetap setiap bulannya, mungkin seruan bekerja di rumah akan menjadi sebuah mantra yang sangat kondusif untuk mempertahankan produktifitasnya. Akan tetapi, bagi kelompok masyarakat yang bekerja di sektor informal, kesehariannya menjadi kuli atau buruh pabrik, dan aktifitas ekonominya ada di pasar maupun jalanan, tentu seruan di rumah saja menjadi ancaman tersendiri bagi keberlangsungan hajat hidupnya.

Pada titik inilah, berbagai kebijakan di rumah saja kadang menuai dilema dalam kehidupan masyarakat. Meskipun harus disadari pula, bahwa dalam suasana pacelik global yang semakin akut ini, seruan di rumah saja adalah cara yang paling memungkinkan dan terjangkau untuk dilakukan. Setidaknya, merujuk pada konsep maqashid syariah, seruan di rumah saja menjadi sebuah syadz adz dzariah (mengorbankan satu aspek guna menghindar kemudaratan demi mencapai keselamatan yang lebih besar)

Maka, di rumah saja adalah sebuah langkah yang paling rasional diambil pemerintah agar bisa mengurai kerumunan publik dan mengurangi kontak fisik yang ditengarai sebagai salah satu faktor utama sebaran virus korona. Namun, demikian, di saat seruan di rumah saja dan social distance atau physical distance benar-benar masif dilaksanakan setiap warga dan kelompok masyarakat, ada suasana sosial yang sangat membanggakan di berbagai lapisan masyarakat.

Gerakan Berderma

Di berbagai daerah, bermunculan gerakan sipil yang menghimpun bantuan masyarakat yang diperuntukkan bagi para penggiat penanganan virus korona maupun kelompok rentan yang mengalami kesusahan ekonomi. Gerakan sipil ini menggemakan spirit filantropi untuk mengatasi berbagai masalah ekonomi dan masalah penanganan medis. Hal ini seperti yang dilakukan oleh beberapa kelompok sipil (civil society) seperti Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, Dompet Dhuafa, maupun kelompok sosial lain yang hingga kini sudah menghimpun sejumlah dana untuk dibagikan ke berbagai pihak yang membutuhkan.

Kehadiran mereka menjadi sebuah oase di tengah dahaga kepedulian yang sebelum ini dihantui oleh egoisme dan individualisme sebagian orang yang memborong berbagai alat medis dan kebutuhan mendasar lainnya. Di saat, masyarakat Indonesia diterpa oleh kepanikan sosial dan kecemasan berlebihan, apa yang dilakukan oleh kelompok sipil yang menyulutkan gerakan berderma seolah mengembalikan fitrah Indonesia, sebagai Negara yang guyub, tepo sliro, saling membantu, dan saling berbagi.

Setidaknya, kemerdekaan Indonesia yang begitu panjang proses perjuangan dan pengorbanan yang dilakukan secara bersama-sama menjadi bukti historis, bahwa Indonesia adalah Negara yang dibesarkan oleh spirit filantropi. Meskipun, dalam proses berdermanya masing-masing warga memainkan peran yang berbeda-beda hingga akhirnya cita-cita lama yang diimpikan oleh segenap rakyat Indonesia bisa tercapai.

Lalu, ketika Indonesia yang lahir, tumbuh berkembang, dan bertahan hingga sekarang lantaran ada spirit filantropi yang dihembuskan oleh masing-masing warga, mengapa ketika berhadapan dengan musibah seperti virus korona, ada sebagian orang yang mencabik modal sosial bangsa Indonesia yang sejak dahulu mengedepankan gerakan berderma dan saling berbagi.

Dalam kaitan ini, kehadiran kelompok sipil yang begitu gigih membangkitkan kesadaran setiap warga bahwa virus korona tidak sekedar diatasi dengan hanya mengisolasi diri, melainkan juga dengan saling berbagi dan berderma antara satu dengan yang lain, maka secemas apapun suasana paceklik global ini menimpa tanah air kita, maka tak akan menggoyahkan komitmen diri berbangsa yang dinafasi oleh Pancasilan, yaitu persatuan Indonesia untuk saling berderma.

Aneka Rupa Derma

Dalam konteks mengatasi suasana kegentingan virus korona, di mana setiap orang bisa tertib untuk diam di rumah, sekelompok gerakan sipil mengekspresikan spirit filantropi dengan aneka rupa. Ada yang menghimpun dan membagikan berbagai peralatan medis kepada para pihak yang terdepan menangani pasien koroan. Ada yang menghimpun sembako dan disalurkan kepada kelompok masyarakat bawah yang tak berkecukupan.

Ada yang menggratiskan jaringan wifi guna mengsukseskan belajar secara online. Ada yang saling membantu menyediakan tempat sementara untuk menangani setiap warga yang positif korona. Ada yang saling berbagi tips peningkatan imunitas tubuh dengan meningkatkan sugesti diri maupun jejamuan tradisional. Ada pula yang saling membagi amalan-amalan doa untuk menenangkan batin setiap warga.

Kesemua bentuk derma tersebut menjadi sebuah khazanah keindonesiaan yang dimiliki dan diyakini oleh setiap warga. Melalui khazanah derma yang dilingkupi oleh modalitas dan proses sosial yang beragam, lalu setiap warga dan kelompok sipil terlibat secara empatik dalam sistem sosial berderma yang tulus dan ikhlas, maka kita akan melewati masa peceklik korona ini dengan hati yang tenang dan perasaan bangga sebagai bangsa Indonesia.

Semoga, spirit filantropi yang sudah diwarisi oleh para pejuang dan pahlawan kemerdekaan, diajarkan oleh berbagai kelompok beragama di berbagai jenjang pendidikan, digemakan oleh para panutan masyarakat di berbagai lapisannya menjadi sebuah warisan monumental yang selalu menubuh dan menyejarah dalam kehidupan kita.

Kolom Terkait

Kolom Terpopuler