UIN Sunan Kalijaga Gandeng Mahkamah Konstitusi Selenggarakan Debat Konstitusi antar Pesantren dan Seminar Nasional

Fakultas Syari’ah dan Hukum, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta bekerjasama dengan Mahkamah Konstitusi (MK) menyelenggarakan Debat Konstitusi antar pesantren di Indonesia, 12-14/10/18. Mengawali pelaksanaan debat konstitusi diselenggarakan seminar nasional bertajuk “Membangun Kesadaran Demokrasi dan Hak Konstitusi Warga Negara dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, “ menghadirkanKeynote Speech, Hakim Mahkamah Konstitusi RI, Prof. Dr. Saldi Isra, SH., MPA, yang menyampaikan presentasinya tentang “Hak-Hak Kewarganegaraan: Regulasi, Penegakan dan perlindungan di Indonesia.” Juga dua narasumber: Guru Besar Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga, Prof. Ratno Lukito, MA., Ph.D., menyampaikan presentasi “Islam, Demokrasi dan Hak-Hak Asasi Manusia,” dan Guru Besar Fakultas Hukum UII, Prof. Mahfud MD., SH., MH., menyampaikan presentasi “Refleksi Kritis Demokrasi dan Dinamika Ketatanegaraan Indonesia Pasca Reformasi.”

Forum Debat Konstitusi dan seminar nasional dibuka Dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum, UIN Sunan Kalijaga, Dr. H. Agus Moh. Najib, S. Ag., M. Ag. Dalam sambutan pembukaannya, Agus Moh. Najib menyampaikan bahwa agenda seminar dan debat konstitusi kali ini merupakan salah satu rangkaian agenda dari kerjasama dengan MK yang sudah dilakukan sejak tahun 2013. Sebelumnya telah sering diselenggarakan debat konstitusi tetapi antara mahasiswa Fakultas Hukum dari PT seluruh Indonesia. Kini diperluas untuk kalangan para santri. Kerja sama dengan MK merupakan upaya mendekatkan kiprah MK dengan masyarakat luas melalui akademisi. Bagi para mahasiswa forum seminar dan ajang debat menjadi wahana untuk memahami kaidah-kaidah hukum dan penerapannya.Sehingga setelah lulus dan berkarya nyata lebih siap.

Sementara itu, debat konstitusi bagi para santri adalah sebagai wahana memahami konstitusi RI, aturan perundang-undangan, lembaga-lembaga hukum, penegakan hukum di Indonesia, dan lain-lain, dalam rangka turut serta menjaga keutuhan NKRI. Menurut Agus, ditetapkannya Hari Santri bermakna sebagai simbul penghargaan terhadap perjuangan para santri dalam merebut kemerdekaan Indonesia. Di era kini simbulisasi Hari Santri bermakna rekontruksi teologis bahwa santri harus memiliki rasa cita tanah air sebagai salah satu implementasi keimanan. Santri harus memiliki pemahaman bahwa menjaga NKRI, Pancasila, UUD 45, menerapan aturan perundang-undangan dengan baik sebagai wujud cinta tanah air tidak menyimpang dari nilai-nilai al Qur’an dan Hadis, bahkan sejalan dengan apa yang diterapkan Rasulullah dalam Piagam Madinah. Karena istilah Al Umma dalam Piagam Madinah adalah cermin pluralitas, seperti yang ada di Indonesia, demikian kata Agus

Saldi Isra dalam sambutannya menyampaikan, Debat konstitusi antar mahasiswa perguruan tinggi seluruh Indonesia peminatnya semakin banyak. Hingga saat ini pelaksanaannya, untuk menuju ke tingkat nasional, harus melalui tingkat regional dulu. Pemenang tingkat regional baru bisa maju ke tingkat nasional. Agar semakin mendekatkan MK dengan masyarakat luas, maka agenda debat konstitusi diperluas komunitasnya ke para santri seluruh Indonesia. Ini adalah pelaksanaan yang pertama kali, dan akan terus diselenggarakan periodik, kata Saldi Isra. Menurutnya, debat konstritusi adalah cara membangun keadaban bangsa dengan berpikir kritis. Kala warga negara selalu nrimo, peradaban Indonesa akan anjlog. Dalam debat semua siap untuk berbeda pendapat secara terbuka. Warga negara yang memiliki daya kritis yang tinggi kepada para pemangku kebijakan, akan membuat para pemangku kebijakan berhati-hati dalam melangkah.

Sementara itu, Kenapa pihaknya menggandeng UIN Sunan Kalijaga? Menurut Saldi Isra, UIN Sunan Kalijaga memiliki kemampuan lebih, dalam mengawinkan hukum syari’ah dan hukum umum. Mahasiswa UIN juga memiliki kemampuan lebih dalam menuangkan pemikiran-pemikiran hukum dalam orasi (lisan) maupun karya tulisan secara baik. Juga memiliki nilai plus dalam berbahasa asing (paling tidak Arab dan Inggris). Pihaknya berharap, kepiawaian berorasi, daya kritis, dan kemampuan berbahasa asing di lingkungan UIN Sunan Kalijaga bisa mewabah dimakalangn mahasiswa perguruan tinggi lain dan para santri di seluruh Indonesia.

Sementara itu Prof. Ratno Lukita dalam paparannya antara lain menyampaikan, kini permasalahan peradaban semakin luas dan kompleks. Pemikiran manusia juga semakin plural. Oleh karenanya dari sisi hukum, manusia hendaknya tidak dilihat dari perbedaannya, tetapi dari kesamaan derajadnya, agar hukum bisa ditegakkan secara adil. Sementara kesadaran akan hak-hak asasi manusia yang semakin tinggi, membawa angin segar kehidupan berdemokrasi bangsa-bangsa di dunia ini. Semakin banyak negara yang membawa prinsip-prinsip human right dari hukum internasional ke dalam proses pembangunan sistem hukum domestik. Prof. Ratno menegaskan, Islam tidak bertentangan dengan hal itu. Nilai-nilai Islam mendukung prinsip-prinsip Human Right untuk dikembangkan di negara-negara termasuk di Indonesia.

Ptof. Mahfud MD. menambahkan, kesadaran akan human right membawa angin segar bagi tumbuhnya sistem demokrasi dalam ketatanegaraan. Sebagian besar negara-negara yang ada sekarang ini memilih dasar dan sistem demokrasi, karena demokrasi dianggap sebagai sistem yang paling efektif untuk menyalurkan aspirasi rakyat. Di Indonesia sendiri, sepanjang sejarahnya, selalu terjadi perubahan sistem ketatanegaraan, namun asas demokrasi tetap dipertahankan. Dalam perjalanan sejarah dari tahun 1945, sudah berapa kali Indonesia mengubah sistem ketatanegaraan? Adakah dari perubahan-perubahan yang kemudian dipandang baik dan memuaskan? Menurut Prof. Mahfud, tidak ada yang memuaskan. Karena Problemnya terletak pada inkonsistensi dalam implementasi di lapangan. Setiap kristalisasi ide perbaikan sistem, selalu diterpedo oleh perilaku korup penyelenggara negara.

Oleh karena itu, yang diperlukan sebenarnya adalah bagaimana bersikap konsisten melaksanakan ketentuan-ketentuan yang ada dalam sistem ketatanegaraan, bukan menciptakan dinamika untuk selalu mengubah sistemnya. Bahwa melakukan perubahan itu boleh. Sebab konstitusi dan sistem ketatanegaraan itu merupakan resultante sesuai kebutuhan politik, sosial, ekonomi, budaya pada jamannya. Tetapi yang harus selalu diingat bahwa perubahan harus diikuti dengan konsistensi dalam implementasinya. Kalau tidak, perubahan pasti akan digugat dan dilawan dengan perubahan lagi, karena ada kepentingan – kepentingan politik yang berbeda di tengah masyarakat, demikian jelas Prof. Mahfud.

Sementara itu, Wakil Dekan Bidang Kemahasiswaan dan Kerjasama, Dr. Sri Wahyuni, MH selaku panitia menyampaikan, debat konstitusi pesantren kali ini diikuti 24 pesantren yang merupakan pilihan dari wilayah regional masing masing, ke 24 peserta debat akan dipertemukan dalam 8 group di babak penyisihan, diambil 4 group dalam semi final, dan yang terakhir diambil 2 group di sesi final.(Weni/Doni)