Pusat Layanan Difabel UIN Sunan Kalijaga Merayakan Miladnya Yang Ke 12

Merayakan Miladnya yang ke 12 tahun, Pusat Layanan Difabel (PLD) UIN Sunan Kalijaga menyelenggarakan kegiatan DIFAfest 2019, yang meliputi lomba Essai Populer, Cover Lagu BISINDO, Story Telling Isyarat, Fotografi, dan Keraoke. Selain itu menyelenggarakan Seminar Nasional dengan tema “Membangun Jembatan Budaya Tuli dan Budaya Akademik,” menghadirkan tiga narasumber; Peneliti Bahasa Isyarat Laboratorium Mahasa Isyarat Departemen Linguistik, FIPB UI, Adhi Kusumo B, Aktifis Tuli, Phieter Angdika, dan Pengurus DPD Gerkatin DIY, Wahyu Tri W.

Pembagian hadiah para juara dilaksanakan bersamaan dengan acara puncak Milad PLD yang ke 12, yang juga bersamaan dengan penyelenggaraan seminar nasional, di gedung Prof. Soenarjo, SH., Jum’at, 3/5/19. Penghargaan dan hadiah untuk para Juara diserahkan oleh ketua PLD, Dr. Arif Maftukin, sesaat sebelum seminar nasional. Mereka yang berhasil meraih juara pada pada agenda kali ini antara lain; Lomba Essai Populer, Juara 1 Irvina Anggraini dari Universitas Airlangga, juara 2 Nanda Ahmad Basuki dari UIN Sunan Kalijaga, juara 3 Elfara Hajjar Sujani dari IAIN Tulunggangung. Lomba Cover Lagu BISINDO, juara 1 Nirna Nurlelah – UIN Sunan Gunung Djati Bandung, juara 2 Achmad Taufan dari ATC Widyatama, juara 3 Ferdianto Steven Wang dan Tim dari SLB Kasih Ibu Riau. Lomba Story Telling Isyarat, Juara 1 Raka Nurmujahid dari OSI Cabang Yogyakarta, juara 2 Ritanadea Harjana – UIN Sunan Kalijaga, juara 3 Miska Fitriana dari UIN Sunan Kalijaga. Lomba Fotografi, juara 1 Ringga Pranata dari UIN Sunan Kalijaga, juara 2 Ahmad Fajril Haq dari UIN Sunan Kalijaga, juara 3 Gita Setya Astuti dari Jawa Timur. Lomba Karaoke , juara 1 Ayu Sihatul Afiah – UIN Sunan Kalijaga, juara 2 Nada Aliefia Faizin dari Universitas Gajah Mada, juara 3 Fauzi Muhammad Haidi dari Universitas Pembangunan Yogya.

Usai pengumuman lomba, tamu undangan yang hadir pada acara milad PLD kali ini (yang notabene adalah para mahasiswa aktifis difabel dan mahasiswa penyandang difabel se-wilayah Yogyakarta) menikmati paparan dari tiga narasumber yang semuanya adalah penyandang difabel tuna rungu. Jadi menggunakan mahasa isyarat yang didampingi penterjemah bahasa Indonesia. Phieter Angdika dalam paparannya tentang bahasa isyarat antara lain menyampaikan, masyarakat masih beranggapan bahwa bahasa isyarat itu layaknya bahasa tarsan. Padahal tidak seperti itu, bahasa isyarat posisinya juga seperti bahasa yang lain (bahasa Arab, Inggris, Indonesia dan lain lain). Jadi setiap orang bisa mempelajarinya. Semakin banyak orang yang bisa berbahasa isyarat akan memudahkan difabel tunarungu berkomunikasi. Setiap daerah bahkan negara memiliki versi bahasa isyarat masing masing. Jadi bahasa isyarat itu kaya versi/ banyak fariasi dan mengalami perkembangan yang cukup berarti.

Dunia kampus menyokong perkembangan bahasa isyarat yang cukup berarti. Mahasiswa difabel tunarungu yang berasal dari berbagai wilayah di Indonesia membawa versi bahasa isyarat masing-masing, mahasiswa luar negeri juga begitu. Membawa bahasa isyarat versi Amerika, Inggris, Arab dan lain-lain. Awalnya membingungkan, tetapi dengan adaptasi yang terus menerus membawa perkembangan yang positif dan lagi semakin banyak orang yang bukan difabel tunarungu tertarik untuk mempelajarinya. Menurut Phieter agar tidak kesulitan dalam mempelajari bahasa isyarat dengan perkembangannya akibat pertemuan bahasa isyarat dari berbagai daerah dan berbagai negara, maka perlu memahami dulu dasar-dasar bahasa isyarat, mulai dari gerak bibir, ekspresi, gerak tangan, gesture dan alih kode.

Phieter berharap semakin banyak masyarakat yang berminat mempelajari dan memahami bahasa isyarat. Orang tua difabel tuna rungu yang paham bahasa isyarat akan mempermudah sang anak untuk curhat dan mengurangi emosi anak. Selain itu, belajar bahasa isyarat merupakan investasi masa depan, memelihara kesehatan otak, sangat membantu yang tuna rungu dan membantu difabel untuk maju, demikian jelas Phieter.

Adhi menyampaikan, perkembangan bahasa isyarat dari sisi akademik. Saat ini Adhi aktif di laboratorium bahasa isyarat UI dan sedang studi lanjut Program Magister Sastra Inggris UI. Menurut Adhi, belum diakui dan disejajarkannya bahasa isyarat dengan bahasa lain membuat bahasa isyarat tidak berkembang. Padahal setiap bidang keilmuan perlu dikembangkan bahasa isyarat untuk mendukung difabel tuna rungu mempelajari setiap bidang keilmuan. Dengan adanya anjuran Pusat Layanan Difabel di setiap PT (aksesibilitas PT) yang dipayungi PP no 43 tahun 2004, pasal 42, ayat 3 sebagai dasar hukumnya, membuka peluang lebih besar untuk berkembangnya bahasa isyarat dalam berbagai bidang keilmuan. Jadi varian bahasa isyarat di PT tidak hanya berdasar daerah maupun negara, tetapi juga berbagai bidang keilmuan. Maka untuk sampai pada penguasaan satu bidang keilmuan difabel tuna rungu membutuhkan juru bahasa isyarat dan juru ketik. Dalam hal terjemahan, yang perlu dipahami bahwa terjemahan bukan berdasar per kata, tetapi bagaimana konsepnya, lalu disaripatikan baru disampaikan dalam bahasa isyarat. Dari sisi bahasa isyarat dasarnya, mahasiswa difabel tuna rungu memakai dasar Bisindo Amerika dan Hongkong.

Dijelaskan, juru bahasa bidang keilmuan penting untuk memahami teori dan konsep sesuai bidang, sedangkan pola kerja juru ketik mengharuskan kesepakatan dulu dengan difabel tuna rungu agar memahami satu sama lain. Sehingga seorang mahasiswa difabel tuna rungu dalam proses pembelajaran PT memerlukan juru bahasa isyarat dan juru ketik, dan juga forum konsultasi dosen untuk memperlancar proses pembelajaran.

Adhi juga menjelaskan etika berinteraksi dengan difabel tuna rungu di kalangan mahasiswa. Ketika seorang mahasiswa tuna rungu mengajak berinteraksi, jangan tinggalkan dia, jika merasa tidak paham, tapi sampaikan padanya dengan isyarat, gerak bibir atau menuliskan pesan untuk memanggil teman lain yang memahami bahasa isyarat. Perlakukan teman mahasiswa tuna rungu biasa saja, bukan dengan rasa kasihan, tidak ada yang berbeda, yang berbeda hanya bahasanya saja. Cara memanggil dengan tepuk pundak atau tangan. Kalau jauh lambakan tangan. Berkomunikasi dengan tuna rungu butuh tatap muka dan ekspresi wajah. Kalau mau berkomunikasi dengan yang lain kode dulu dengan teman yang tuna rungu, biar tidak sakit hati. Sementara untuk membantu mahasiswa tuna rungu yang mau presentasi bantulah dengan pengaturan pencahayaan dan juru bicara.

Sementara itu, Wahyu dalam paparannya menyampaikan tentang bagaimana budaya akademik bisa menjembatani difabel tuna rungu untuk menyelami tentang nilai-nilai ke-Islaman, bagaimana memahami kajian ke-Islaman, memahami ayat-ayat dalam al Qur’an dan bagaimana mengenal dan mendekat kepada Tuhan Allah. Di Indonesia yang biasa dipakai adalah Sistem Bahasa Isyarat (Sibi) dan Bahasa Isyarat Indonesia (Bisindo). Yang terkait dengan ke-Islaman ada bahasa isyarat Arab, bahasa isyarat hijaiyah, dan isyarat untuk ayat-ayat suci al Qur’an. Juga belajar Iqro’ dengan bahasa isyarat Arab. Maka di lingkup kampus Islam, peran PLD sangat penting agar mahasiswa tuna rungu setelah lulus memahami betul bagaimana mengenal dan mendekat Allah, jelas wahyu. (Weni)