Lesehan Ramadhan: Jaga Keberagaman Sebagai Potensi Membangun Indonesia Jaya

Keberagaman agama, budaya, bahasa, etnis dan suku bangsa di Indonesia merupakan karunia besar dari Allah SWT. Hal itu patut disyukuri oleh masyarakat atas nikmat yang tidak dimiliki oleh bangsa lain. Karena Indonesia sendiri berdiri dari beberapa budaya, kerajaan dan adat yang berbeda untuk bersatu menjadi nusantara.

Demikian dikatakan Prof. Phil. Al Makin, M.A. saat memberikan materi pada acara Lesehan Ramadhan di Laboratorium Agama Masjid UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Selasa (14/5) kemarin. Ia mengatakan keragaman itu sendiri perlu kita kaji, memperdalam dalam penelitian dan pengamatan. Apalagi puasa sebagai pelajaran untuk menahan nafsu dan juga saling menghormati hak sesama manusia.

Al Makin menilai keberagaman budaya, agama, bahasa dan adat istiadat yang ada di Indonesia merupakan kekayaan yang tak ternilai harganya. Jika dibandingkan luasnya lautan, tanah yang terhampar dan gunung emas. Perbedaan inilah yang menjadikan potensi besar untuk menjalin persatuan dan kesatuan yang harmonis membangun bangsa Indonesia maju.

“Seperti yang tercantum dalam al quran surat Al Hujurat ayat 13, bahwa manusia diciptakan Tuhan antara laki-laki dan perempuan yang menjadikan berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya saling mengenal atau berkomunikasi. Interaksi yang baik inilah mengantarkan kita menjadi orang mulia dan bertakwa di sisi Allah SWT.” tutur Al Makin.

Al Makin mengajak untuk menjaga keberagaman ini sebagai tugas kita bersama. Langkah yang tepat yaitu mengatur hak satu sama lain, terlebih hak hidup dan beribadah menurut kepercayaanya masing-masing. Karena sebelum tradisi asing datang ke Indonesia, ada tradisi lokal yang mengakar di setiap daerah berupa tradisi spiritual keagamaan yang jumlahnya 1300 tradisi.

Al Makin menambahkan jika kita bersyukur dengan melindungi, menghormati keberagaman ini, maka akan bertambah kenikmatannya berupa persatuan, meningkatnya perekonomian dan terjaga stabilitas sosial dan politik bangsa. Namun kalau kufur dengan hidup mengelompok, tidak mengakui keberadaan, bahkan mendholimi dan menjerumuskan mereka akan bercerai-berai dan terjadi kehancuran negeri, seperti sebagian negara Timur Tengah. Karena Islam itu sendiri sebenarnya terus berkembang dan dinamis, Islam itu intinya bersyukur.

Sementara Romo Yanuar Serang dari Atambua Nusa Tenggara Timur (NTT) menilai umat Islam di Indonesia adalah Islam yang NKRI(Negara Kesatuan Republik Indonesia). Karena negara ini adalah negara kesatuan. Ia menggambarkan kondisi di daerahnya Islam di NTT meski minoritas di sana yang mayoritas melindungi yang minoritas, kita saling menghormati. “Karena kita sejak awal hidup berbeda satu sama lain, dan kerukunan beragama di Atambua sudah berlangsung saat lama.” kata Yanuar Serang.

“Di kalangan akademis sendiri berlangsung dialog antar umat beragama, ketika Mukti Ali berdiskusi dengan dua orang Protestan dan tiga orang Katolik di Kolsani Kota Baru Yogyakarta. Namun dialog umat beragama ternyata lahir pada saat adanya ilmu Perbandingan Agama di kampus Sunan Kalijaga tahun 1961.” ungkap Yanuar saat mengikuti acara Lesehan Ramadhan menjelang buka puasa. (Khabib/humas)