Makna Laylat Al-Qadr

Oleh : Dr. Phil.Sahiron Syamsuddin.MA

( Wakil Rektor Bidang Administrasi Umum, Perencanaan dan Keuangan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta )

Q.S. al-Qadr (97):1 menerangkan bahwa Al-Qur’an diturunkan oleh Allah Swt pada Lailatul Qadr (Malam Qadar). Apa maksud dari istilah yang terdiri dari dua kata tersebut, yakni: laylah dan qadr? Tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ulama terkait dengan makna kata laylah, yakni ‘malam’. Namun, mengenai makna kata qadr mereka berbeda pendapat. Perbedaan pemaknaan ini didokumentasikan oleh Al-Imām Fakhr al-Dīn al-Rāzī (w. 606/1249) dalam kitabnya Mafātīḥ al-Ghayb (Juz 32, h. 28), sebagaimana berikut ini.

Pertama, sebagian ulama memaknai Laylat al-Qadr dengan laylat taqdīr al-umūr wa al-aḥkām (malam ditakdirkannya/ditetapkannya berbagai urusan dan hukum). Pandangan ini dikemukakan oleh ‘Aṭā’ ibn Abī Rabāḥ (w. 115/733) yang mendasarkannya pada riwayat dari ‘Abd Allāh ibn ‘Abbās (w. 68/687). Ibn ‘Abbās konon mengatakan: “Sesungguhnya Allah menetapkan pada Laylat al-Qadr hujan, rizki, kehidupan dan kematian yang akan terjadi pada kurun satu tahun hingga Laylat al-Qadr yang lain di tahun mendatang.” Pandangan ini kemudian diikuti oleh sebagian mufassir lain, di antaranya Muḥammad ibn Jarīr al-Ṭabarī (w. 310/923) yang mengatakan: “Laylat al-Qadr adalah ‘malam ketetapan’ (laylat al-ḥukm) dimana Allah menetapkan takdir segala sesuatu untuk satu tahun” (al-Ṭabarī, Jāmi‘ al-Bayān, 24:542). Al-Rāzī tidak sependapat dengan pendapat ini seraya mengatakan bahwa takdir Allah untuk semua makhluknya itu telah ditetapkan pada masa azali, yakni masa sebelum diciptakannya segala sesuatu. Meskipun demikian, seandainya yang dimaksud dari ‘malam ketetapan’ ini adalah bahwa pada malam tersebut Allah memperlihatkan kepada malaikat takdir segala sesuatu selama satu tahun, maka hal ini dapat diterima (al-Rāzī, Mafātīḥ al-Ghayb, 32:28).

Kedua, makna istilah tersebut adalah laylat al-‘uẓmah wa al-syaraf (malam keagungan dan kemuliaan). Pendapat yang dikemukakan oleh Muḥammad al-Zuhrī (w. 124/741) ini didasarkan pada pemahamannya terhadap Q.S. 97:3, yang artinya: “Laylatul Qadr itu lebih baik dari seribu bulan.” Mengapa malam tersebut dinamakan “malam keagungan dan kemuliaan”? Menurut al-Rāzī, hal ini dikarenakan oleh dua kemungkinan alas an, yakni (1) orang yang melakukan ibadah dan kebaikan mendapatkan kemuliaan dan keagungan dari Allah Swt, dan (2) amal perbuatan baik pada laylat al-qadr dipandang memiliki kemuliaan yang lebih dibanding dengan amal baik di selain malam tersebut.

Ketiga, makna kata al-qadr adalah al-ḍīq (kesempitan). Dengan demikian, gabungan laylat al-qadr berarti ‘malam kesempitan’. Meskipun demikian, kata ‘kesempitan’ di sini tidak berarti negatif, melainkan berarti positif. Malam itu disebut dengan ‘malam kesempitan’ karena pada saat itu sejumlah besar malaikat turun ke bumi untuk menyaksikan manusia beramal kebaikan dan kebajikan. Turunnya malaikant ini diterangkan pada Q.S. 97:4, yang artinya: “Turun para malaikat dan Ruh (Malaikat Jibril a.s.) pada malam itu …”

Dari ketiga pemaknaan tersebut, penulis mengikuti pendapat yang kedua dan ketiga. Adapun alasannya adalah bahwa kedua pendapat tersebut sesuai dengan konteks tekstual keseluruhan Surat al-Qadr (97). Selain itu, kedua pendapat tersebut mengandung pesan pembangunan dan pembinaan karakter umat dengan cara melakukan ibadah, baik hubungannya dengan Allah Swt (ḥabl min Allāh) maupun hubungannya dengan sesama manusia dan dengan alam (ḥabl min al-nās wa al-‘ālam), khususnya di ‘Malam Kemuliaan’ tersebut.

Baca Juga : Hikmah Ramadan

Kolom Terkait

Kolom Terpopuler