FSH UIN Suka menyelenggarakan Kuliah Umum

Fakultas Syari’ah dan Hukum (FSH) bekerja-sama dengan Mahkamah Konstitusi (MK) Republik Indonesia, menyelenggarakan Kuliah Umum, 2/10/2021, diGedung Prof. R.H.A. Soenardjo, kampus UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Agenda kali ini menghadirkan para Hakim Konstitusi, Dr. Suhartoyo, S.H., M.H.danProf. Dr. Saldi Isra, S.H., M.P.A.

Dekan FSH,Prof. Dr. Drs. H. Makhrus, S.H., M.Hum. mengawali pembukaan acara kuliah umum menyampaikan apresiasinya atas kerja-sama yang berkesinambngan selama ini. MK sangat peduli dan berharap adik-adik mahasiswa mengenal akan adanya lembaga MK. Pihaknya juga menyampaikan terima kasih kepada MK karena MK punya atensi yang luar biasa. “Dari suport MK yang luar biasa inilah mahasiswa FSH UIN Suka membentuk Komunitas Pemerhati Konstitusi (KPK),” kata Prof. Makhrus.

Prof. Makhrus juga berterima kasih kepada para Hakim MK sebagai narasumber yang telah berkenan memberikan sumbangsih keilmuan. MK lahir di era reformasi dan diproteksi UUD 45 yang mana notabene MK mempunyai visi tegaknya konstitusi dan demokrasi di Indonesia. Pihaknya berharap, para mahasiswa memanfaatkan kesempatan emas ini sebaik-baiknya dengan menjadikan sebagai wadah diskusi serta menyerap ilmu sebaik-baiknya, imbuh Prof. Makhrus.

Sementara itu, Dr. Suhartoyo antara lain memaparkan, bahwasanya dalam konteks MK ini dinyatakan Hukum Materiil. Beracara di MK itu esensinya semua undang-undang berkaitan dengan konstitusionalitasnya bisa diuji. Lebih jauh Dr. Suhartono memberikan eksplanasi bahwa kewenangan MK dari Pasal 24 C UUD 45 lalu pendelegisian selanjutnya diadakan di dalam ketentuan UU Mahkamah Konstitusi dan UU Kekuasaan Kehakiman yang menyebutkan kewenangan dan kewajiban MK.

"Nah kewenangan MK ini disebutkan, yakni menguji UU terhadap UUD, menyelesaikan sengketa kewenangan lembaga negara (SKLN), pembubaran parpol, penyelesaian sengketa pilpres dan pileg, serta untuk kewajiban MK sendiri yakni dalam ihwal memberikan keputusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum, atau perbuatan tercela, atau tidak memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945. Dengan demikian, kita tak bisa memahami secara utuh tentang hukum acara MK kalau tidak mengetahui kewenangan dan kewajiban MK,” tegas Dr. Suhartoyo.

Prof. Dr. Saldi Isra, S.H., M.P.A. sebagai Hakim Konstitusi yang juga merupakan Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Andalas ini menerangkan bahwa MK acara peradilannya lebih bersifat volunteer jadi tidak ada sengketa secara langsung. Dalam kaitannya pengujian formil Undang-Undang ditegaskan, waktu pengajuan judicial review-nya maksimal 45 hari. Setelah diundangkan serta dalam memutus pengujian Undang-Undang tersebut bisa memakan waktu lama tapi jua terkadang bisa cepat sekali. Ihwal ini dilihat dari bobot perkara. Dari kedua narasumber tersebut disimpulkan bahwasanya keberadaan MK menjadi suatu keniscayaan untuk tegaknya hukum dan kegiatan ini diharapkan dapat diintensifkan terus ke depan. (Tim Humas)