Bagaimana Jasa Endorsmen dan Pengupahan dalam Islam, Kajian Fikih Baru MQFM

Perkembangan dunia digital memberikan dampak yang cukup besar dalam pola kehidupan masyarakat modern. Kehadiran digitalisasi kemudian membuat orang-orang berinovasi dalam pemanfaatannya, seperti dalam dunia bisnis/jual-beli. Sistem marketing saat ini pun turut berkembang dengan adanya jasa endorsmen oleh influencer. Dengan bekal follower yang banyak serta engagement yang cukup signifikan, seorang influencer memiliki peluang paling besar untuk memasarkan suatu produk. Kesempatan ini kemudian menghasilkan sebuah hubungan simbiosis mutualistik antara influencer, pihak penjual dan pihak pembeli. Seseorang yang memiliki produk, dapat menggunakan jasa influencer tersebut untuk memasarkan memperkenalkan produknya kepada masyarakat luas dengan memberikan imbalan atas jasanya tersebut.

Dalam kajian Fikih Baru yang diselenggarakan oleh Prodi Perbandingan Mazhab bekerjasama dengan MQ-FM kali ini, topik yang akan dibahas adalah bagaimana pola kerjasama yang biasanya dilakukan oleh pemilik produk dan influencer dalam memasarkan suatu produk. Pada kajian kali ini, hadir sebagai narasumber adalah Kyai Anis Mashduqi, salah satu dosen Perbandingan Mazhab dan juga kyai pengasuh pondok pesantren Al-Hadi di wilayah Krapyak.

KH.    Dr.   Muhammad    Anis    Mashduqi,    Lc.    (Dosen Perbandingan Madzab, Fakultas Syari'ah dan Hukum, UIN Sunan Kalijaga)

Foto KH. Dr. Muhammad Anis Mashduqi, Lc. (Dosen Perbandingan Madzab, Fakultas Syari'ah dan Hukum, UIN Sunan Kalijaga)

Menurut Kyai Anis, hal yang harus diperhatikan dalam hukum jasa endorsmen adalah bagaimana pola hubungan (akad) yang dibangun antara pihak produsen dan endorser, selain itu juga, yang harus diperhatikan adalah jenis barang yang diperjualbelikan tersebut. Dalam kajian fikih, menurut Kyai Anis, selama ini yang tampak dalam pola akad yang dibangun antara produsen dan jasa endorsmen adalah polaijarah. Pola ijarah adalah pola pemanfaatan jasa. Dalam konteks fikih, yang dapat dimanfaatkan dan disewakan bukan hanya berupa benda saja. Lebih jauh, sewa menyewa hal yang dapat dimanfaatkan lainnya adalah jasa. Dalam hal endorsmen, para endorser menawarkan jasa kepada produsen untuk mengiklankan produk mereka kepada masyarakat luas secara umum, dan kepada followernya yang banyak secara khusus.

Setelah mengetahui bahwa pola interaksi antara produsen dan endorser adalah polaijarah, maka secara fikih, hal tersebut hukumnya diperbolehkan. Lantas, apakah praktik tersebut dapat dikatakan sebagai praktik yang sah? Kyai Anis menanggapi bahwa, pada dasarnya pola interaksi itu boleh. Akan tetapi, dalam melaksanakan akadijarahtersebut, tentu ada rukun dan syarat yang harus dipenuhi untuk mengatakan apakah praktik tersebut sah atau tidak. Maka, ketika praktik tersebut dibolehkan, namun ada beberapa unsur rukun atau syarat yang tidak dipenuhi, maka praktik tersebut dapat dikatakan sebagai praktik yang batal/tidak sah.

Praktik sewa-menyewa (ijarah) jasa, pada dasarnya, telah dilakukan pada zaman Nabi. Dalam suatu kisah disebutkan bahwa Nabi dan Sahabat Abu Bakar menyewa jasa seseorang sebagai penunjuk jalan. Atas jasanya menunjukkan jalan tersebut, kemudian Rasulullah memberikan kepadanya upah. Dalam riwayat tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa praktik menyewa jasa telah dipraktikkan oleh Rasulullah pada zaman dahulu. Dalam sebuah hadis juga disebutkan bahwa من استأجر أجيرا فليعلمه أجره hadis ini menyatakan bahwa jika kita menyewa suatu jasa, kita wajib untuk memberitahu kepada pemilik jasa mengenai bayarannya. Hadis di atas juga mengandung unsur syarat dan rukun mengenai kejelasan apa jasa yang digunakan atau apa barang yang akan disewakan. Sehingga, dalam suatu akadijarah, pengguna jasa dan pemilik jasa harus membuat kesepakatan mengenai jasa apa yang akan disewakan, barang apa yang akan disewakan, hingga berapa besar bayaran yang akan dikeluarkan oleh pengguna jasa. Adapun untuk penjelasan lebih lanjut, dapat disimak dalam video pada link berikut https://www.youtube.com/watch?v=7UH9ENXRX-w