Di tengah hiruk pikuk prosesi Wisuda Periode I Tahun Akademik 2025/2026 UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, satu nama mencuri perhatian. Akmal Bashori, lulusan Program Doktor Ilmu Syariah Konsentrasi Hukum Bisnis Islam, resmi dinobatkan sebagai salah satu Wisudawan Terbaik Tercepat tahun ini. Dengan IPK sempurna 4.00 dan masa studi yang hanya ditempuh dalam 2 tahun 5 bulan 22 hari, capaian Akmal bukan sekadar angka, tetapi jejak panjang dari disiplin, pengorbanan, dan komitmen yang ia genggam erat sejak hari pertama menapaki studi doktoralnya.
Lahir di
Pemalang 35 tahun silam, anak pertama dari tiga bersaudara ini telah lama hidup
dalam tradisi akademik. Pendidikan S1 dan S2-nya linear di bidang syariah, dan keputusan
melanjutkan S3 bukan langkah spontan. “Secara akademik ini adalah jalur yang
sudah saya tekuni sejak awal. Secara praksis, saya juga dihadapkan pada
tuntutan profesi sebagai Kaprodi Hukum Ekonomi Syariah dan dinamika
perkembangan ekonomi syariah di Indonesia,” tuturnya.
Bagi Akmal, studi doktor bukan arena sprint intelektual. Ia
menyebut capaian akademiknya sebagai hasil perjalanan panjang yang ia siapkan
jauh sebelum proposal disertasinya diajukan secara formal pada semester tiga.
“Sejak semester pertama saya sudah menyiapkan draft proposal.
Setiap mata kuliah saya jadikan ruang untuk menguji gagasan, berdiskusi,
meminta masukan, bahkan mengkritisi ulang rumusan saya sendiri,” kenangnya.
Gayung bersambut. Banyak dosen mengapresiasi draft awal yang ia
rancang, membuatnya semakin mantap menyusun disertasi secara bertahap. Sembari
kuliah, ia mulai mengumpulkan data, mengkaji literatur, dan menulis bagian demi
bagian. Pola kerjanya sangat terstruktur, yakni membaca dan menulis sebelum
Subuh, aktivitas akademik pada siang hari, dan revisi atau refleksi pada malam
hari.
“Saya
menerapkan prinsip menulis sambil meneliti, bukan meneliti dulu baru
menulis. Dengan
cara itu, proses akademik berjalan simultan dan produktif,” ungkapnya.
Pengorbanannya
tentu tidak kecil. Waktu untuk keluarga ia akui sangat terbatas.
“Alhamdulillah, kehilangan waktu itu sekarang telah terbayarkan,” ucapnya
dengan nada syukur.
Akmal tak menutupi bahwa jalan doktoral penuh jebakan kejenuhan.
“Tanda jenuh itu terasa ketika kualitas baca dan menulis menurun. Biasanya saya
bisa menulis dua sampai tiga halaman per hari. Jika tiba-tiba tidak bisa,
berarti ada yang harus diistirahatkan,” terangnya.
Cara mengembalikan ketenangan batin pun sederhana, mencari kuliner
hangat, atau berziarah ke makam-makam orang saleh. “Ketenangan batin adalah
fondasi produktivitas ilmiah,” katanya.
Dalam menghadapi hambatan intelektual, ia mengandalkan dialog dengan
promotor, dosen, kolega, hingga memperluas perspektif melalui seminar nasional
maupun internasional, serta memperkaya perspektif dengan membaca lintas
disiplin, seperti teori-teori Barat modern maupun metodologi hukum Islam (usul
fikih).
Interdisiplin baginya bukan gaya hidup akademis, melainkan
kebutuhan epistemik. “Ini sejalan dengan visi keilmuan UIN Sunan
Kalijaga,” ujarnya.
Kajian hukum
ekonomi syariah di Indonesia, menurut Akmal, selama ini banyak didominasi
pendekatan normatif-dogmatis atau deskriptif-historis. Celah inilah yang dia
tangkap dalam disertasinya.
Ia menawarkan epistemologi
hukum Islam model konseptual melalui paradigma ultra-doctrinal-method,
sebuah pendekatan untuk membaca arah pembaruan hukum Islam di tengah dinamika
modernitas.
“Fikih ekonomi
hari ini bergerak dari relasi antarsesama individu menuju relasi antara
individu dan lembaga ekonomi modern. Maka pembaruannya tidak bisa hanya
bersandar pada kenormatifan yang beku,” jelasnya.
Sebelum
dinyatakan lulus, Akmal telah menorehkan sejumlah capaian prestisius yang
menunjukkan konsistensi akademiknya. Ia meraih Penghargaan Dosen Terproduktif
selama dua semester berturut-turut di FSH UNSIQ pada Maret dan September 2024.
Kiprahnya di dunia ilmiah juga teruji melalui dua penghargaan Best Paper,
masing-masing pada International Conference on Sharia Economic Law (IcosLaw)
2024 di Bandung dan International Muamalat Conference (I-MAC) 2025
di Terengganu, Malaysia.
Di luar itu, ia
tetap menjalankan tanggung jawab kepemimpinan sebagai Ketua Program Studi Hukum
Ekonomi Syariah di Universitas Sains Al-Qur’an Jawa Tengah di Wonosobo,
memperlihatkan bahwa produktivitasnya tidak hanya hadir di ruang riset, tetapi
juga dalam pengabdian akademik dan manajerial.
Prestasi ini juga
menunjukkan bahwa ritme akademiknya tidak hanya produktif dalam disertasi,
tetapi juga dalam dunia keilmuan yang lebih luas.
Bagi Akmal,
keberhasilannya menyelesaikan studi doktoral dalam waktu singkat bukanlah hasil
kerja seorang diri. Ada tiga pilar yang ia sebut sebagai fondasi utama
perjalanan akademiknya. “Semua faktor saling terkait, tetapi yang paling
dominan adalah disiplin diri yang didukung ketenangan batin dari keluarga dan
arah intelektual dari promotor,” ungkapnya. Kombinasi ketiganya menjadi energi
yang menjaga ritme belajarnya tetap stabil, menguatkan ketika jenuh, dan
menuntunnya untuk tetap konsisten pada jalur akademik yang ia pilih.
Orang tua
menjadi sosok paling berpengaruh dalam membangun integritas, kegigihan, dan
kesederhanaannya sejak kecil. Sementara promotor membimbingnya untuk menjaga
konsistensi argumentatif dalam riset. “Ilmu yang bermanfaat lahir dari niat
yang tulus dan kerja keras yang konsisten,” tambahnya.
Kepada para
mahasiswa doktoral yang tengah berjibaku menyelesaikan disertasi, Akmal
menitipkan pesan yang lahir dari pengalaman personalnya. “Menulis disertasi
bukan hanya soal riset, tetapi perjalanan pematangan diri. Nikmatilah
prosesnya. Terbukalah terhadap kritik, dan jangan takut diperbaiki. Kuncinya
adalah mengerjakan setiap hari meski hanya sedikit dengan hati yang tenang dan
niat yang benar,” ujarnya.
Baginya,
disertasi bukan diselesaikan karena terpaksa, tetapi karena tumbuh bersama diri
penulisnya.
Di balik toga
dan gelar doktor yang disematkan pada pagi itu, tersimpan kisah disiplin yang
tidak riuh, proses panjang yang tidak tampak, dan ketenangan batin yang terus
dijaga. Akmal Bashori bukan hanya lulusan tercepat dengan IPK sempurna, tetapi
contoh bahwa akademia pada akhirnya adalah perjalanan spiritual dan emosional, lebih
dari sekadar pencapaian intelektual. (humassk)