Jumpa Press Menyikapi Berita Media Masa Tentang Disertasi Konsep Milk al-Yamin Muhammad Syahrur Sebagai Keabsahan Hubungan Seksual Non Marital

Disertasi “Konsep Milk al-Yamin Muhammad Syahrur sebagai Keabsahan Hubungan Seksual Non Marital” adalah hasil penelitian Sdr. Abdul Aziz tentang penafsiran Muhammad Syahrur atas istilah milk al-yamin (atau yang semisalnya) dalam Al-Qur’an telah disidangkan melalui ujian terbuka pada hari Rabu 28 Agustus 2019. Dia telah melakukan penelitian secara obyektif dan sesuai dengan aturan-aturan akademik. Sebagai peneliti, dia dituntut untuk mampu mendeskripsikan pandangan dan penafsiran Syahrur atas kata tersebut dan memang Syahrur mempunyai pandangan bahwa milk al-yamin itu tidak hanya budak, tetapi ‘semua orang yang diikat oleh kontrak hubungan seksual’. Pendapat Syahrur ini dikaji dan dikritisi oleh Sdr. Abdul Aziz, baik dari segi linguistik maupun dari sisi pendekatan gender. Memang, kritikannya masih belum sempurna dan belum komprehensif. Karena itu, di ujian terbuka disertasi itu promotor dan penguji mempertanyakan dan mengkritisi juga pandangan Syahrur ini, sebagai berikut:

Prof. Dr. Khoiruddin Nasution, M.A. (Promotor):

Disertasi yang ditulis Abdul Aziz membahas konsep milk al-yamin Muhammad Syahrur. Syahrur mengkontekstualkan konsep milk al-yamin dalam kehidupan kontemporer sekarang dengan beberapa perkawinan yang bertujuan memenuhi kebutuhan biologis, yakni nikah al-mut’ah, nikah al-muhallil, nikah al-‘irfi, nikah al-misyar, nikah al-misfar, nikah friend, nikah al-musakanah (samen leven). Nikah-nikah sejenis ini sekarang umum dilakukan orang-orang Eropa, termasuk Rusia, dimana Syahrur hidup lama. Secara hermenutika konteks inilah barangkali yang menginspirasi Syahrur. Jenis-jenis nikah ini telah ada dalam tradisi muslim dengan hukum kontraversial. Ada ulama yang membolehkan, dan ada muslim yang mengamalkan. Sebaliknya ada ulama yang mengharamkan.Dalam disertasi, Abdul Aziz mengkritik konsep Syahrur, dengan menyebut tampaknya ada bias-bias subjektivitas pencetusnya. Di antara bias dimaksud barangkali adalah Syahrur ingin mengubah hukum zina yang didasarkan pada sentiment pribadi (politik), bukan atas pembuktian. Sebab pensyaratan pembuktian zina yang demikian ketat, menurut Syahrur, ingin menunjukkan agar janganlah mudah menghukum orang berzina. Sayangnya, dalam abstrak, Abdul Aziz tidak menulis kritik tersebut. Malah menyebut konsep Syahrur ini sebagai teori baru dan dapat dijadikan justifikasi keabsahan hubungan seksual non-marital. Kalimat terakhir ini juga yang menjadi bagian dari keberatan tim penguji promosi. Selanjutnya tim meminta Abdul Aziz menyempurnakan abstrak untuk disesuaikan dengan isi disertasi.

Dr.phil. Sahiron, M.A. (Promotor):

Saya berpandangan bahwa penafsiran M. Syahrur terhadap ayat-ayat Al-Qur’an tentang milk al-yamin atau yang semisalnya itu cukup problematik. Problemnya terletak pada subyektivitas penafsir yang berlebihan yang dipengaruhi oleh wawasannya tentang tradisi, kultur dan sisitem hukum keluarga di negara-negara lain. Subyektivitasnya yang berlebihan ini kemudian memaksa ayat-ayat Al-Qur’an agar sesuai dengan pandangannya, sehingga ayat-ayat tentang milk al-yamin yang dulu ditafsirkan oleh para ulama dengan ‘budak’ dipahami oleh Syahrur dengan ‘setiap orang yang diikat oleh kontrak hubungan seksual’. Bagi Syahrur, sama dengan budak pada zaman dulu yang dimanfaatkan oleh tuannya untuk melakukan hubungan seks, orang-orang yang diikat kontrak untuk hubungan seks apapun bentuknya, marital ataupun non-marital, halal. Penafsiran ini sekali lagi terlalu subyektif, karena mungkin dipengaruhi oleh tradis dan kultur masyarakat yang melegalkan tindakan hubungan seks yang didasarkan pada suka sama suka (atau kontrak), sehingga mengenyampingkan obyektivitas makna teks ayat Al-Qur’an. Selain itu, analogi antara budak dan orang yang diikat kontrak itu sangat simplisistik, karena hanya memandang satu aspek perbudakan, yakni seksualitas, padahal sisi lain yang harus diperhatikan dari perbudakan yang sudah ada jauh sebelum turunnya ayat-ayat milk al-yamin. Sisi lain yang saya maksud di sisi adalah ‘martabat kemanusiaan’ yang oleh ayat-ayat Al-Qur’an sangat dijunjung tinggi.

Penafsiranyang tepat atas ayat-ayat Al-Qur’an tentang milk al-yamin adalah penafsiran yang di satu sisi memperhatikan makna historis (al-ma‘na al-tarikhi) ayat dan di sisi lain memperhatikan pesan utama ayat (maqshad al-ayat) dan signifikansinya (maghza) untuk konteks kekinian. Untuk mendapatkan makna historis dan pesan utama ayat, seseorang harus menganalisa makna kata-kata dalam ayat tertentu pada masa diturunkannya ayat Al-Qur’an, konteks tekstualnya (siyaq al-ayat), dan konteks historisnya ( antara lain, sabab al-nuzul). Adapun untuk mendapatkan signifikansi (maghza) ayat, seseorang berusaha mengembangkan pesan utama ayat pada konteks kekinian. Problem penafsiran Syahrur atas ayat-ayat tentang milk al-yamin terletak pada keengganan memperhatikan makna historis kata tersebut dan maksud/pesan utama ayat itu. Istilah milk al-yamin atau ma malakat aymanukum pada abad ke-7 itu ‘budak’. Adapun pesan utama ayat-ayat tersebut bukanlah hubungan seksual atau kebutuhan biologis, sebagaimana yang dipahami Syahrur, melainkan kemanusiaan. Ada dua pesan utama. Pertama, ayat-ayat tentang milk al-yamin memberikan kesadaran secara implisit kepada manusia tentang kehidupan budak yang nestapa, karena budak tidak mempunyai kesemaan derajat dengan orang merdeka. Pesan utama keduaadalah menanamkan kesadaran untuk mengatasi problem perbudakan saat itu dan sampai kapanpun, lihat misalnya Q.S. al-Ma’idah: 89. Makna historis dan pesan utama ayat-ayat tentang milk al-yamin semacam itu tidak ditangkap oleh Syahrur, sehingga penafsirannya menjadi problematis.

Dr. Agus Moh. Najib, S.Ag., M.Ag. (Penguji):

Kritik saya terhadap pemikiran Syahrur adalah sebagai berikut:

  1. Penyebutan istilah milk al-yamin dalam Al-Qur`an tidak hanya berkaitan dengan “budak perempuan” yang dimiliki laki-laki (ma malakat aimanuhum), tetapi juga “budak laki-laki” yang dimiliki perempuan (ma malakat aimanuhunna). Syahrur hanya terfokus pada “budak perempuan” yang dimaknai secara kontemporer, sehingga pembahasan yang dilakukan tidak komprehensif dan secara konseptual masih dipertanyakan, apalagi kemudian akan diterapkan dalam masyarakat.
  2. Hubungan non marital ini, berbeda dengan akad nikah, disebut oleh Syahrur dengan istilah aqd ihson (“akad komitmen”). Kalaupun dianggap sebagai sebuah akad, seharusnya Syahrur mengemukakan syarat dan rukunnya. Syahrur belum menjelaskan syarat rukun akad tersebut secara jelas.
  3. Pandangan Syahrur berangkat dari kebiasaan dan tradisi (‘urf) masyarakat Barat-sekuler saat ini yang mentolerir adanya samen leven (musakanah, kumpul kebo). Karena perbedaan ‘urf, kebiasaan dan tradisi semacam itu tidak bisa diterima oleh masyarakat muslim.
  4. Dengan alasan di atas, pandangan Syahrur tersebut di samping secara teoritis masih diperdebatkan, juga secara paksis tidak sesuai dengan ‘Urf masyarakat muslim.

Prof. Dr. Euis Nurlaelawati, M.A., Ph.D. (Penguji Disertasi):

Disertasi ini merupakan kajian ilmiah atas pemikiran seorang tokoh, yaitu Syahrur. Penulis (Abdul Aziz) memahami bahwa dengan konsep milk al-yamin hubungan seksual di luar pernikahan diperbolehkan dalam Islam. Penulis menekankan bahwa Syahrur mengembangkan konsep ini untuk diterapkan di masa sekarang ini dalam beberapa bentuk pernikahan atau tepanya hubungan seksual, seperti nikah misyar, nikah pertemanan, dan lainnnya. Tujuan Syahrur dalam pemahaman penulis adalah untuk melindungi institusi perkawinan yang diagungkan Syariat Islam untuk menjadi keluarga yang sakinah/bahagia/damai penuh kasih sayang, dimana Syahrur melihat bahwa banyak sekali pernikahan yang membawa kehancuran dan kenestapaan. Untuk itu bagi Syahrur, dalam masalah hubungan seksual konsensus lebih diutamakan. Memang konsep ini problematik, dilatari oleh kondisi sosial dimana Syahrur hidup dan mengembangkan pemikirannya dan karenanya penulis disertasi (Abdul Aziz) tertarik untuk mengkajinya untuk melihat kekuatan dan kelemahan pemikiran Syahrur (critical discourse). Sayangnya, memang pengugunaan bahasa atau redaksi dalam beberapa poin membingungkan dimana penulis lupa atau alpa menyematkan phrase ‘dalam perspektif Syahrur atau dalam kacamata Syahrur’ pada beberapa pernyataan penulis di disertasi dan di ajang promosinya, sehingga yang terbaca dan terdengar adalah bahwa penulis mempunyai pandangan bahwa dengan konsep milk al yamin hubungan seksual di luar nikah itu sah dalam syariat Islam.Pemahaman saya sendiri terhadap pemikiran Syahrur adalah bahwa ia lemah dalam berargumen dan tidak konsisten dalam pemikirannya terkait isu-isu hukum keluarga dan pidana terutama. Argumen bahwa ayat-ayat Qur’an masih selalu harus relevan pada masa sekarang ini, sehingga ia perlu membunyikan kembali milk al yamin sangat lemah. Selain itu, interpretasi Syahrur terhadap istilah itu dalam batas tertentu bertolak belakang dengan “teori limit/batas hukum”-nya, terutama batas maksimal tanpa menyentuh garis batas minimal sama sekali, terkait dengan tindakan yang mendekati hubungan seksual. Dengan konsep milk al yamin ia malah melegitimasi hubungan seksual di luar nikah, dimana ia juga terkesan abai terhadap posisi ‘urf (tradisi) dan penetapan hukumnya dalam isu ini tidak memenuhi standar kelayakan konsep maslahah, dimana perlidungan terhadap perempuan yang ia ingin realisasikan bertabrakan dengan konsep milk al yamin yang malah merendahkan perempuan.

Dr. Samsul Hadi, S.Ag., M.Ag (Penguji):

Menafsirkan ayat hukum tidaklah cukup dengan menafsirkan secara bahasa ataupun didasarkan kepada konteks diturunkannya ayat tersebut. Ketika ayat ditafsirkan dengan cara tersebut akan menghasilkan produk hukum yang parsial dan sulit diterima. Diperlukan pemahaman yang komprehensif terhadap metode penetapan hukum (istinbath hukum) yang disebut ushul fikih. Aspek yang sangat penting yang juga harus dikuasai adalah pemahaman terhadap illat hukum dan tujuan hukum (bina’ul ahkam ‘ala al-‘illat wa bina’ul ahkam ‘ala al-maqashid). ‘Illat dipahami sebagai alasan kenapa suatu hukum ditetapkan (ratio legis), sedangkan maqāşid asy-syarī’ah adalah tujuan dari hokum, yaitu merealisasikan kemaslahatan. Kemaslahatan ini meliputi kemaslahatan agama, jiwa (kehidupan), kesucian keturunan dan kehormatan, akal dan harta.

Mengalihkan makna milk al-yamin kepada makna diperbolehkannya hubungan seks non- marital dalan bentuk nikah misyar, muhallih, samen leven dan lainnya, selain tidak sesuai dengan maksud diturunkannya perintah menikah untuk membentuk suatu keluarga yang abadi sakinah mawaddah dan rahmah, juga tidak sesuai dengan perwujudan kemaslahatan agama. Bahwa Islam menghendaki keadilan bagi semua manusia laki-laki dan perempuan. Pengalihan makna tersebut mengakibatkan perempuan menjadi korban dan bukan perlindungan dan keadilan. Dalam aspek lain, konsep Syahrur tersebut sangat tidak sesuai dengan prinsip penghormatan terhadap kaum ibu, dan bahwa kemuliaan laki-laki bisa dinilai ketika dia memuliakan wanita.

Alimatul Qibtiyah, S.Ag., M.Si., Ph.D (Penguji):

Saya melihat pemikiran Syahrur terkait milk al-yamin problematis terutama jika dilihat dari perspektif kesetaraan gender. Perspektif yang digunakan lebih menekankan kriteria perempuan yang boleh ‘dinikahi’ secara non-marital (nikah hanya untuk kepuasan seksual), tidak melihat dampak yang ditimbulkan terhadap istri pertama (istri yang di rumah), kesehatan reproduksi, hak-hak anak dan hak-hak perempuan dari ‘pernikahan’ non-maritalnya. Selain itu, hakekat pernikahan yang dipahami oleh jumhur ulama adalah perjanjian yang sakral dan kuat (mitsaqan ghalizhan) dan berdasar pada konsep kesalingan, tidak sekedar menghalalkan hubungan seksual. Karena itu, ‘pernikahan’ non-marital dalam bentuk apapun tidak sesuai dengan hakekat pernikahan yang dipahami oleh kebanyakan ulama. ‘Pernikahan’ non-marital’ yang diprediksi akan mengurangi praktek poligami, sehingga perempuan terlindungi, maka sebenarnya hal itu justru menimbulkan ketidakadilan dalam bentuk lain, legalitas perselingkuhan, jadi argumentasi menjadi problematis. Karena itu, judul disertasi disarankan ditambah dengan kata “problematika.” Semaangat Al-Qur’an adalah melindungi perempuan dan menghapuskan perbudakan. Dengan disebutnya milk al-yamin dalam Al-Qur’an 15 kali, hal itu menunjukkan bahwa masalah perbudakan, khususnya budak perempuan, adalah masalah yang serius, karena menjadikan perempuan tidak diakui kemanusiaannya, tidak mendapatkan akses ekonominya, menjadi obyek seksual dan tidak punya otonomi terhadap tubuhnya sendiri. Karena itu, tidak sepatutnya justru dicari bentuk perbudakan baru dengan konsep ‘pernikahan non-marital’ yang hanya berorientasi pada pemenuhan hubungan seksual, dan mengabaikan hak-hak perempuan dan anak.

Prof. Drs. K.H. Yudian Wahyudi, M.A., Ph.D. (Ketua Sidang)

Untuk diberlakukan, pemahaman Syahrur tentang milk al-yamin harus ditambah akad nikah, wali, saksi dan mahar. Sebagai konsekuaensinya, kata-kata Syahrur: “ Jika masyarakat menerima”, maka harus mendapatkan legitimasi dari ijmak. Dalam konteks Indonesia, dibuat usulan melalui MUI kemudian dikirim ke DPR, agar disyahkan menjadi Undang-undang. Tanpa proses ini pendapat Syahrur tidak dapat diberlakukan di Indonesia. Dengan demikian, draf disertasi yang diujikan pada tanggal 28 Agustus harus direfisi sesuai dengan kritik dan saran para penguji.

Yogyakarta, Juma’at 30 Agustus 2019

Mengetahui di bawah ini Tim Promotor dan Penguji ujian terbuka

  1. Prof. Drs. K.H. Yudian Wahyudi, M.A., Ph.D. (Ketua Sidang)
  2. Prof. Dr. Khoiruddin Nasution, M.A. (Promotor)
  3. Dr.phil. Sahiron, M.A. (Promotor)
  4. Dr. Agus Moh. Najib, S.Ag., M.Ag (Penguji)
  5. Dr. Samsul Hadi, S.Ag., M.Ag. (Penguji)
  6. Prof. Euis Nurlailawati, M.A., Ph.D. (Penguji)
  7. Alimatul Qibtiyah, S.Ag., M.Si., Ph.D (Penguji)