UIN Sunan Kalijaga Menyelenggarakan Seminar Nasional Agama dan Kesehatan dan Bedah Buku“Ketika Umat Beriman Mencipta Tuhan” Karya Prof. Syafa

“Tuhan yang tidak melebihi Tuhan bukanlah Tuhan. Tuhan yang terkungkung dalam suatu bahasa, dibatasi oleh definisi tertentu, dikenal dengan nama tertentu yang telah menghasilkan bentuk kendali sosio-kultural tertentu bukanlah Tuhan, tetapi telah menjadi suatu ideologi agama.” Demikian antara lain sepenggal ungkapan Prof. Syafaatun Almirzanah, MA., M. Th., Ph.D., D. Min., Guru Besar Prodi Perbandingan agama, Fakultas Ushuluddin Dan Pemikiran Islam, UIN Sunan Kalijaga, saat mengawali Seminar Nasional dan Launching Buku “Ketika Umat Berimana Mencipta Tuhan,” karya Prof. Syafaatun, bertempat di Gedung Prof. RHA. Soenarjo, SH., Kamis, 12/3/2020.

Forum yang dihadiri para dokter Ikatan Dokter Indonesia (IDI), para mahasiswa Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam UIN Sunan Kalijaga, dan para mahasiswa Prodi Theologi dari kampus-kampus di lingkup Yogyakarta ini menghadirkan narasumber: Prof. Franz Magnis Suseno, SJ., dan empat pembicara: Prof. Dr. dr. Agus Purwodianto, DFM., SH., M. Si., Sp.F (K) (Universitas Indonesia), Prof. Dr. Sri Suparyati Soenarto (Universitas Gajah Mada), Dr. H. Hamim Illyas (UIN Sunan Kalijaga), Dr. CB., Kusmaryanto, SCJ (Universitas Sanata Dharma Yogyakarta).

Prof. Syafaatun sebagai pengarang buku “Ketika Umat Beriman Mencipta Tuhan,” di hadapan peserta seminar menjelaskan bahwa buku karyanya ini antara lain memaparkan: setiap orang dalam otaknya akan memproduksi image, konsep dan rasa tentang Tuhan yang berbeda-beda. Tetapi manusia jarang terpuaskan oleh pemikirannya tentang Tuhan. Sehingga banyak orang melakukan kontemplasi yang menghasilkan praktik-praktik dpiritual termasuk kredo-kredonya.

Menurut Neurologist Muslim Ibn Al-“Arabi, demikian jelas Prof. Syafaatun, ketika seseorang memahami Tuhan secara rasional, ia menciptkan apa yang ia percaya dalam dirinya melalui pemikirannya. Ini yang disebuat Arabi dengan Tuhan yang diciptakan oleh orang-orang beriman, yang berubah-ubah menurut kecenderungan orang beriman. Lain lagi Meister Eckhart, Neurologist Kristiani menjelaskan, Tuhan yang disembah/diciptakan (Tuhan orang beriman) adalah konstruksi manusiawi , ia hanya eksis dalam relasi komunitas pemuja. Menurut kedua Neurologist di atas, demikian jelas Prof. Syafaatun, manusia membangun iman-nya dengan berbagai alasan subyektif, personal, emosional, dan psikologis dalam konteks yang dicipta di lingkungan keluarga, teman, kolega, budaya, dan masyarakat. Sehingga sadar atau tidak, apa yang kebanyakan kita pikirkan tentang Tuhan, adalah versi Tuhan kita sendiri, sehingga wajar jika pemahaman setiap orang tentang Tuhan itu berbeda-beda.

Dijelaskan, ketika umat beriman mencipta Tuhannya, awalnya akan membayangkan kongkritnya-berlanjut ke abstraknya. Imajinasi tentang Tuhan dipengaruhi oleh latar belakang keilmuan seseorang, lingkungan, agama yang diajarkan, pengalaman hidup seseorang. Semua itu manusiawi, dan proses pemikiran tentang Tuhan tidak boleh berhenti sepanjang hidup, agar semakin mendalam. Namun yang perlu dipahami setiap umat beriman, bahwa imajinasi/konsep tentang Tuhan yang kita ciptakan itu berbeda dengan dengan esensi Tuhan/Allah SWT yang sesungguhnya. Menurut Ibn. Arabi itu tidak apa apa, asal jangan yakin dengan Tuhan yang kita pikirkan agar kita tidak sedang menyembah berhala, jelas Prof. Syafaatun.

Kita harus meyakini bahwa ada Tuhan yang esensi, dan kita memiliki kapasitas untuk memahami Tuhan yang esensi dengan kacamata Tuhan, yakni yang disebut karunia. Karunia akan bisa kita dapatkan bila kita sudah benar-benar merasakan rahmat dan kasih-sayang dari Tuhan (Allah SWT), kita hanya menggantungkan harapan kepada Allah SWT, dan kita bisa menjadi manusia-manusia yang rendah hati, tidak sombong dan membanggakan diri, menghargai dan menghormati semua ciptaan Allah SWT di muka bumi dan alam semesta ini, karena semua ciptakan Allah SWT dikehendaki secara personal oleh Allah SWT. Kalaupun kita tidak tahu betul bagaimana Tuhan, kita yakin bahwa Allah SWT tahu apa yang dilakukan umat-Nya baik terang-terangkan maupun sembunyi sembunyi. Allah Maha mendengar semua yang disuarakan umat-Nya.

Akhirnya menurut Prof. Syafaatun, Allah SWT berfirman, “Bahasa apapun, cara apapun umat manusia untuk mendekatkan diri pada Ku(Tuhan) Aku tau, dan itu tidak penting, yang terpenting adalah bagaimana umatku membarakan hatinya untuk mendekat-Ku dengan kerendahan hatinya.” Dari firman Allah SWT itu bisa dimaknai bahwa: toleransi antar umat beragama menjadi salah satu tugas setiap umat beriman agar dapat memahami esensi Tuhan (Allah SWT) yang sesungguhnya, karena toleransi menjadi bagian dari upaya membarakan kerendahan hati, dan semua umat beragama dalam pluralitasnya dikehendaki secara personal oleh Allah SWT, demikian jelas Prof. Syafaatun.

Prof. Magnis Susesno menambahkan, dalam Kristiani Tuhan digambarkan, tetapi bagi romo Tuhan sudah tidak bisa digambarkan. Tuhan itu menurut Jawa itu Rasa. Sementara orang masih menggambarkan Tuhan itu masih membutuhkan tempat, tetapi sebetulnya tidak. Kita mendapat realitas dari Tuhan, sebaliknya Tuhan itu transenden. Menurut Romo Magnis, Tuhan menginzinkan agama ada banyak. agomo kuwi podo kabeh. Serahkan itu semua itu pada Tuhan saja. Jangan menghakimi agar kamu tidak dihakimi, demikian harap Romo Magnis.

Sementara itu bagaimana pengaruh antara pemahanan esensi Tuhan dengan kualitas kesehatan dibahas oleh empat pembicara, Prof. Agus Purwodianto, Prof. Sri Suparyati Soenarto, Dr. Hamim Illyas, Dr. CB., Kusmaryanto. Dari tiga pembicara terangkum bahwa vaksin/obat bukan satu-satunya untuk menyembuhkan penyakit. Dalam realitasnya, banyaknya pabrik obat seharusnya penyakit yang dialami masyarakat mengalami progres penurunan, tetapi kenyataannya tidak demikian, karena seringkali vaksin/obat malah menjadi ladang bisnis. Vaksin sendiri adalah upaya untuk pencegahan penyakit bukan pengobatan, sementara obat sebagai upaya untuk mengurangi penderitaan kesakitan. Sementara untuk sehat adalah dengan mengubah pola hidup sehat, yang salah satunya ada pada spiritualitas agama. Terdapat hubungan erat antara agama dan kesehatan. Dokter memberikan obat tetapi Tuhan yang menentukan, ini menjadi kesepakatan orang beriman. Sehingga ada di kelompok-kelompok tertentu, banyak yang tidak ingin berobat ke dokter.

Sementara itu, dalam agama, ada ketentuan yang menjelaskan ikhwal pentingnya bersyukur atas kesehatan yang dikaruniakan Tuhan. Penelitian psikologis juga mengungkap adanya relasi antara kesehatan jiwa dengan kesehatan fisik. Ini relevan dengan agama. Namun di sisi lain dalam kaidah keimanan sering membahas tentang bagaimana kasih sayang Tuhan pada orang yang sakit. Jadi, bisa dipahami mengapa banyak institusi kesehatan yang melibatkan peran agama. Asumsinya, orang yang beragama mempunyai kekuatan jauh lebih baik ketimbang tidak beragama. Oleh karena orang yang beragama mampu melihat persoalannya dari perspektif lainnya. Pandangan Kristen tentang kesehatan misalnya tergambar pada kitab Injil. Misalnya Lukas 10: 8-9, Markus 6: 13, Kisah Rasul 8: 7, Kisah Rasul 28: 8-9. Pelayanan kesehatan adalah bagian dari perbuatan orang yang beriman, di antaranya perbuatan melayani orang sakit. Maka dalam ajaran Katolik, pasien adalah tamu illahi. Jadi, pelayanan bukan semata-mata mencari keuntungan, tetapi karitatif (cinta kasih). Menjadi dokter itu adalah panggilan hidup dalam pandangan agama katholik, bahkan kedudukannya lebih tinggi dari profesionalitas. (Weni)