UIN Sunan Kalijaga Kukuhkan Fatimah Husein sebagai Guru Besar dalam Bidang Ilmu Filsafat Agama
Sebagai seorang keturunan dari Hadramaut. Saya tidak pernah berpikir sebelumnya bahwa saya akan mempelajari komunitas dan tradisi saya sendiri. Diaspora Hadhrami di Indonesia dibagi menjadi dua kelompok utama, yaitu Ba ‘Alawi (secara literal bermakna keturunan ‘Alawi), yaitu keturunan Nabi Muhammad dan Masya’ikh non keturunan nabi. Kelompok Ba’Alawi ini merupakan “the religious elite in the Hadramaut” dan memiliki berbagai posisi yang cukup penting dalam konstelasi Islam di Indonesia. Pada kesempatan ini, saya ingin berbicara tentang Thariqah 'Alawiyyah dari sudut pandang dan pengalaman perempuan Ba 'Alawi Indonesia dan upaya mereka dalam melestarikan, mentransmisikan, dan (sampai pada batas tertentu) mereproduksi ajaran-ajaran dan praktik thariqah tersebut. serta visibilitas baru mereka dalam panggung agama Indonesia dari sudut pandang feminist epistemology.
Demikian Prof. Dr. Fatimah Husein, M.A., Ph.D., saat mengawali penyampaian orasi ilmiah Guru Besarnya yang bertajuk “Ustadzah Ba'alawi dan Kemunculan Otoritas Keagamaan Baru di Ruang Publik Indonesia: Pendekatan Feminist Epistemology” pada hari Senin, 10/4/2023 di Gedung Prof. RHA. Soenarjo, SH., atau Convention Hall, kampus UIN Sunan Kalijaga.
Hadir dalam Rapat Senat Terbuka kali ini antara lain: Ketua Senat, Prof. Siswanto Masruri, Anggota Senat, Rektor UIN Suka, Prof. Phil Al Makin, para Wakil Rektor, Para Dekan, keluarga besar, tamu undangan dan segenap Sivitas Akademika UIN Suka. Prof. Dr. Fatimah atau yang juga dikenal dengan nama Irma ini telah resmi dikukuhkan sebagai Guru Besar Bidang Ilmu Filsafat Agama meraih gelar Profesor/Guru Besar dalam Bidang Ilmu Filsafat Agama, oleh Ketua Senat UIN Suka, Prof. Siswanto Masruri berdasarkan SK Menteri Agama RI nomor 024972/B.II/3/2022.
Lebih jauh, pidato Prof. Fatimah menyampaikan ada empat perempuan (ustadzah) Ba’Alawi Indonesia yang menjadi bagian dari penelitiannya antara lain, Ustadzah Halimah Usman Alaydrus, Ustadzah Khodijah Abdulqodir Assegaf, Ustadzah Aisyah binti Farid bin Syech Abu Bakar, dan Ustadzah Syifa Muhsin al-Haddad. Jika selama ini proses pelestarian, pentransmisian, dan produksi pengetahuan dan ritual tersebut secara tradisional lebih banyak dilakukan oleh laki-laki, Prof. Fatimah berupaya untuk menunjukkan bahwa para ustadzah Ba 'Alawi ini memiliki otoritas baru yang, salah satunya, dengan bantuan perkembangan media sosial, menjadi lebih visible di ruang publik. Analisis ini merupakan upaya penting dalam memahami Islam di Indonesia, dan jejaring keislaman di Samudera India yang terus berubah.
Penelitian Prof. Fatimah yang telah lebih dari 30 tahun menjadi dosen di Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam UIN Sunan Kalijaga ini telah mendiskusikan fenomena kemunculan ustadzah-ustadzah Ba 'Alawi di ruang publik Indonesia. Pendekatan feminist epistemology membantu untuk menegaskan bahwa peran mereka tidak hanya sebagai pemelihara dan pentransmisi Thariqah 'Alawiyyah, namun juga sebagai orang yang melakukan produksi ulang atas ajaran-ajaran thariqah yang khas dengan pengalaman perempuan dalam konteks spesifik Indonesia. “Dengan penekanan pada perempuan-perempuan tersebut saya berupaya untuk menegaskan pentingnya suara Hadhrami wanita dari Indonesia dalam percaturan Hadhrami studies di tingkat global. Jika di masa yang lampau mereka memiliki akses yang terbatas pada ilmu agama dan hanya mampu mendapatkan otoritas dalam konteks yang privat, sekarang mereka juga merupakan pemegang otoritas keagamaan yang berkontribusi secara signifikan bagi transmisi ilmu Islam di ruang publik.,” ungkap Prof. Fatimah.
Mengakhiri pemaparannya, Prof. Fatimah menegaskan bahwa jika beberapa peneliti mempertanyakan identitas diaspora Hadhrami di Indonesia, penelitiannya menunjukkan bahwa para ustadzah Ba 'Alawi berperan aktif dalam melestarikan, mentransmisikan, dan mereproduksi ajaran-ajaran Thariqah 'Alawiyyah dengan cara yang khas. Ditambah dengan garis keturunan para ustadzah Ba ‘Alawi yang membawa mereka sampai kepada Nabi Muhammad dan berbagai praktik moral yang diajarkan oleh para guru mereka di Hadramaut, mereka memiliki kekuatan dan otoritas untuk mengambil peran tersebut, dan mendapatkan sambutan yang sangat baik dari komunitas Muslim Indonesia melalui dakwah online ataupun offlinenya.
Sementara itu, Rektor UIN Sunan Kalijaga, Prof. Al Makin dalam sambutannya antara lain menyampaikan, pihaknya bertekad untuk melaksanakan prosesi pengukuhan Guru Besar secara perorangan/satu per satu. Sebagai upaya menampilkan gagasan, daripada selebrasi, atau sekedar perayaan pangkat atau jabatan. “Kita ingin publik juga mengetahui perkembangan penelitian di kampus. Kita munculkan penelitian terakhir para Guru Besar di kampus UIN Sunan Kalijaga,” kata Rektor. “Beberapa kampus memilih praktis menampilkan kuantitas, 10 atau lebih GB dalam satu pengukuhan. Biarkan kita merayakan gagasan dan penelitian satu persatu, sebagai syi’ar ilmiah yang serius. Kampus perlu dakwah ilmiyah. Kampus perlu membagi riset-risetnya dan menerjemahkan supaya mudah dipahami,” imbuhnya.
Rektor berharap, kampus UIN Sunan Kalijaga bermanfaat untuk bangsa. Keilmuan UIN Sunan Kalijaga bermanfaat bagi Indonesia. Menurut Prof. Al Makin, di UIN Sunan Kalijaga ada penelitian tentang interfaith yang serius. Ada penelitian tentang etnis hadrami yang serius. Ada filsafat. Ada banyak kehidupan yang patut menjadi perhatian di kampus. Itulah gunanya presentasi dan perayaan Guru Besar satu persatu di UIN Sunan Kalijaga. Jerman maju karena gagasannya, land des ideas, papar Prof. Al Makin.
UIN sendiri sudah memproduksi 23 Guru Besar selama kepemimpinan Prof. Al Makin. Pertumbuhan jurnal dengan sistem Sinta dan Scopus juga telah mendorong para Dosen produktif. Pihaknya berharap, kebijakan Pemerintah memberi kebebasan akademik untuk masa depan bangsa sebagaimana Amerika, Singapur, Malaysia, Australia, negara-negara Eropa.
Tentang Prof. Fatimah yang saat ini dikukuhkan, Prof. Al Makin menyampaikan, pihaknya mensuport perubahan orientasi riset Prof. Fatimah: dari filsafat, dialog antar iman, ke akar identitas dirinya, komunitas Arab Hadrami. Semacam pencarian ilmu, pengembangan riset dan jati diri. Siapa dia di tengah-tengah mayoritas etnis Jawa. Menegaskan dirinya secara ilmiah, diskriminasi atau merasa berbeda dengan kebanyakan orang.
Prof. Fatimah tertarik Fazlur Rahman dengan teori double movementnya. Penelitian tentang Hadrami ini menarik. Beberapa nama yang disebut seperti Freitag dari ZMO (Zentrum Moderner Orient) di Berlin, Nico Kaptein dan Fajrie Alatas, Claudia Seisse, Martin Slama, Eva Fahrun Nisa. Ustazah Hadrami ini fenomena menarik yang mengambil angel feminism dan otoritas. Kontestasi otoritas di publik era reformasi demokrasi bebas memang menjadi ajang bagi semuanya, termasuk tokoh agama dan berbagai ekspresi agama yang baru. Semua bebas. Semua muncul dan berkompetisi menarik followers dan minat publik. Munculnya media sosial dan TV-TV baru cukup ramai, papar Prof. Al Makin.
Menurut Prof. Al Makin, penelitian Guru Besar Prof Fatimah dinilai serius, karena Seiyun dan Tarim Yaman merupakan perjalanan yang penuh arti baginya atau juga perjalanan refleksi akademik. Kecurigaan pada etnis tertentu seperti China, Arab, India, dan mungkin bule di Indonesia memang masih belum banyak disentuh. Heterogenitas Indonesia masih pada suku dan etnis pribumi, tetapi belum mencakup kelompok seperti di Malaysia, China, India, Tamil, Malayu. Begitu juga di Singapura dengan sistem multikulturalisme. Indonesia sendiri lebih menganut paham pluralism, artinya percampuran dan asimilasi etnis dan budaya menjadi nyata. Kita menjadi Indonesia karena mencampur semua etnis lewat pernikahan, makanan, dan budaya bahkan agama. Malaysia dan Singapura lebih pada pembagian wilayah masing-masing etnis dan budaya. Masing-masing hidup sendiri-sendiri dengan wilayahnya. Indonesia mencampur etnis China, Arab, Jawa, Sunda, Madura. Nama-nama China menjadi Jawa seperti para bisnismen, politisi, dan pebulutangkis. Orang-orang Arab berbahasa Jawa, Sunda, Betawi dan bercampur seperti di Surabaya, Solo, Pekalongan, dan Tanah Abang. Pribumi dan non pribumi sejak awal sudah lebur dan dileburkan. Kita tidak memberi ruang terpisah, ungkap Prof. Al Makin.
Di akhir sambutannya Prof. al Makin menyampaikan, otoritas harus selalu dijaga. Pembacaan pidato ini lain dari yang lain karena penelitian yang betul-betul baru dari disertasi dan tesis. Jarang di Indonesia yang betul-betul mendalami penelitian dan terus melakukan percobaan. UIN Sunan Kalijaga hendaknya menjadi tempat yang nyaman bagi penelitian. (Weni/Ihza/Alfan)