Prof. Nurun Najwah Dikukuhkan Sebagai Guru Besar Fakultas Ushuluddin dan pemikiranIslam UIN Sunan Kalijaga

UIN Sunan Kalijaga bertambah lagi Guru Besarnya. Prof. Dr. Nurun Najwah, M.Ag dikukuhkan secagai Guru Besar oleh Ketua Senat, Prof. H. Kamsi, bertempat di Gedung Prof. H.M. Amin Abdullah (Multipurpose), kampus UIN Sunan Kalijaga, 13/9/2023. Prof. Nurun Najwah dikukuhkan sebagai Guru Besar bidang Ilmu Hadis, pada Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam, berdasarkan SK. Menteri Agama RI Nomor 013744/B.II/3/2023, tanggal 15 Juni 2023. Hadir pada forum Rapat Senat Terbuka kali ini antara lain, Rektor UIN Sunan Kalijaga, Prof. H. Al Makin, Ketua Senat, Prof. H. Kamsi, para Guru Besar Anggota Senat, para Pimpinan Universitas, Dekanat, para kepala Unit dan Lembaga di lingkup UIN Sunan Kalijaga, Civitas Akademika, keluarga dan kolega Prof. Nurun Najwah.

Dalam Orasi Ilmiahnya, Prof. Nurun Najwah menyampaikan tema “Dehumanisasi Perempuan dalam Bingkai Agama (Hadis).” Di hadapan para tamu undangan Prof. Nurun Najwah menyampaikan, secara garis besar, lingkup studi Hadis semakin menemukan varian ghirahnya. Tidak lagi berhenti pada kajian-kajian yang merujuk pada tradisi turats, an-sich. Setidaknya mencakup beberapa kajian: -Studi Teks; Teori dan Metodologi kesejarahan Teks Hadis(Orisinalitas); Studi Kitab Hadis; Studi Kitab `Ulum al-Hadis, dsb dengan pengembangan teori baru lintas disiplin keilmuan. -Studi Pemaknaan,; Teori dan Metodologi Pemaknaan Hadis; Syarah al-Hadis, Ma`anil Hadis; Hermeneutika Hadis; bagaimana hadis menjawab berbagai problem muslim lintas generasi dengan pengembangan teori baru lintas disiplin keilmuan. -Studi Living Hadis. Bagaimana hadis diresepsi komunitas muslim dalam lingkup sosial, budaya, ekonomi, hukum dan politik tertentu, baik berupa pembacaan hadis, hafalan hadis, tulisan-tulisan hadis ataupun pemahaman hadis yang terefleksi dalam tradisi tertentu dalam komunitas muslim. Dan studi hadis di media di era perkembangan Iptek, telah menimbulkan beragam kontestasi. The power of mediadi satu sisi telah memberi ruang kajian agama (baca: hadis) memiliki jangkauan yang lebih luas. Namun di sisi lain, sakralitas dan nilai-nilai agama banyak dibelokkan, ketika media hadir sebagai agama, ex. sinetron religi yang menggambarkan Islam sebagai agama yang penuh azab; komedi yang kental dengan nuansa dark jokes, merendahkan orang; ataupun berbagai postingan konten di media yang berbaju agama, namun sebenarnya sarat kepentingan ekonomi ataupun politik, dan sebagainya.

Sebagai Dosen pengkaji Ilmu Hadis, Prof. Nurun Najwah merasakan tantangan dalam Studi Ilmu Hadis adalah adanya kesenjangan antara Ilmu Pengetahuan yang dikembangkan di ranah akademis dengan kemampuan untuk menjawab hal tersebut dalam kehidupan nyata. Tidak linearnya pengetahuan dalam menjembatani dan menjawab persoalan nyata dalam hidup, karena adanya Long Distance Relationship(LDR) antara Ilmu dan implementasinya, menjadikan jarak ilmu dan pengkajinya laksana langit dan bumi, yang tak berkorelasi langsung. Menjadi ilmuwan di bidang hadis, tak selalu sinergi antara pengetahuan dan perilakunya, terkait meneladani Nabi. Bukan hal mudah konsisten meneladani Nabi, terlebih pesan utama beliau adalah menjadi Muslim yang berkarakter, yang terejawantahkan dalam bentuk “Totalitas sebagai Manusia, Dimanusiakan, Memanusiakan.” Sebagai muslim yang baik, kita harus menjaga kesadaran diri kita, bahwa kita sebagai manusia, memiliki kelebihan (akal dan intuisi), tetapi di sisi lain kita juga memiliki banyak keterbatasan sesuai qudrah-Nya. Pun juga terkait dengan eksistensi perempuan. Sebagai Muslim yang baik memiliki tanggungjawab untuk memanusiaan perempuan sebagai manusia yang merdeka, agar dapat memberi ruang kaum perempuan untuk berjuang menjadi pribadi yang lebih baik, dapat memberi kemanfaatan pada banyak orang (memanusiakan ).

Namun kodisi sosial, utamanya masyarakat patriarkhi di Indonesia, pendefinisian perempuan sebagai “bukan manusia merdeka” berbasis teks hadis masih massif, dalam bentuk yang beragam dan dalam persentase yang bervariasi. Dehumanisasi terhadap perempuan termanifestasi dalam lima diskriminasi: (1) subordinasi (dianggap lebih rendah). (2) marjinalisasi (secara ekonomi dinilai lebih rendah); (3) stereotipepelabelan negatif terhadap kaum perempuan, sebagai pihak yang salah dan bermasalah (4) violence; legalitas berbagai bentuk kekerasan verbal; fisik (pemukulan, pemerkosaan atau penganiayaan) maupun kekerasan psikologis (pelecehan dan penafian otonomi perempuan atau penciptaan ketergantungan);dsb; (5) double burden(beban ganda) adanya beban kerja domestik yang lebih banyak bagi perempuan.

Sementara itu, dalam literatur hadis al-Kutub al-Tis`ah( Shahih al-Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Abu Dawud, Sunan at-Turmudzi, Sunan Ibn Majah, Sunan ad-Darimi, Musnad Muwaththa` Iman Malik, Ahmad bin Hanbal),setidaknya terdapat 28 tema hadis yang terkait perempuan dalam relasi pernikahan, yang bila dimaknai secara literal, parsial dan menghilangkan konteks historisnya, menjadi legitimasi beragam diskriminasi perempuan/isteri dalam keluarga sebagai pihak yang tidak memiliki independensi dalam berelasi, sehingga menegaskan superioritas laki–laki, ungkap Prof. Nurun Najwah. Parahnya, pemaknaan hadis yang diskriminatif terhadap eksistensi perempuan juga diperankan oleh Da’iyah (Da’i perempuan). Dan itu dilakukan di media massa (ruang publik) yang luas penontonnya. Contohnya yang dilakukan Mamah Dedeh (Dedeh Rosdiana); dr. Aisyah Dahlan dan Dr. Oki Setiana Dewi. Nilai-nilai agama yang disampaikan ketiga Da’iyah melalui media youtube, menjelaskan posisi perempuan sebagai makhluk yang “sangat terikat” oleh laki-laki dengan doktrin Agama (al-Qur`an dan hadis serta riwayat-riwayat atau hikayat lain) sebagai dasar argumentasi. Dari analisa Prof. Nurun Najwah terhadap konten ceramah ketiga Da’iyah di media massa menunjukkan terdapat tiga bentuk dehumanisasi terhadap perempuan, yakni: subordinasi, kekerasan dan stereotipe.

Membaca Ulang: Relasi Pernikahan dengan Hermeneutika

Menurut Prof. Nurun Najwah, diperlukan pembacaan ulang hadis-hadis tentang perempuan dalam relasi pernikahan dengan Hermeneutika hadis yang berperspektif gender, agar perempuan memiliki kemerdekaan untuk ikut serta berperan dalam membangun peradaban manusia yang semakin baik. Oleh karenanya diperlukan pengkorelasian secara tematik-komprehensif dan integratif dari nashal-Qur'an, teks hadis yang berkualitas (yang setema maupun yang kontradiktif) maupun data-data lain--baik realitas historis empiris, logika, maupun teori Ilmu Pengetahuan; mempertimbangkan konteks historis makro bangsa Arab masa Nabi dan kondisi mikronya; memaknai teks dengan menyarikan ide dasar hadis ( bersifat absolut, prinsipil, universal, fundamental; bervisi keadilan, kesetaraan, demokrasi, mu`asyarah bi al-ma`ruf)serta mengkontekstualisasikan dalam lokalitas ruang dan waktu yang berbeda dengan disiplin keilmuan terkait.

Karena hal itu juga dilakukan juga oleh para Nabi dan Rasul, utamanya Rasulullah Muhammad SAW, bagaimanan memerdekakan kaum perempuan dari perbudaan. Dicontohkan Prof. Nurun Najwah; Rasulullah memperjuangkan hak waris bagi perempuan, dan menghilangkan anggapan perempuan sebagai barang warisan. Rasulullah memperlakukan para isterinya dengan baik dan adil, memberi hak kepada mereka berbicara dan berpendapat, meski beberapa sahabat memprotesnya. Pembelaan Nabi terhadap perempuan juga terlihat dalam penegasan beliau, agar kaum laki-laki tidak memperlakukan isteri semena-mena, dan bisa menahan atas kekurangan yang tidak disukai dari diri isteri. Nabi juga memberi tempat kepada para perempuan yang terkungkung dalam domestik area untuk keluar dalam dunia publik, sebagaimana laki-laki. Nabi pun seringkali menerima kedatangan sahabat perempuan yang bertanya ataupun mengadu kepada Nabi mengenai masalah yang menimpanya.Bukan hanya dalam ibadah dan menuntut ilmu, perempuan masa Nabi diperkenankan berada di wilayah Publik. Nabi juga memberi keleluasaan kepada kaum perempuan untuk tetap menekuni profesinya, sebagai perias, penyamak kulit (Zainab binti Jahsy), pedagang (Khadijah), peracik obat, perawat dalam peperangan (Ummu `Atiyyah) dan sebagainya. Lebih kongkritnya, dengan kedatangan Islam, perempuan diposisikan lebih terhormat dari sebelumnya.

Di akhir Orasinya Prof. Nurun Najwah menegaskan, dengan mempertimbangkan beberapa nash, realitas historis, unsur dan proses penciptaan laki-laki dan perempuan adalah sama dan jenis kelamin, serta bentuk fisik manusia ada di dalam Kuasa Allah dan Tidak satu nash pun yang menyebut prioritas dan superioritas penciptaan pada jenis kelamin tertentu. Manusia hanyalah makhluk (hamba), yang diciptakan Allah dengan bentuk fisik dan jenis kelamin tertentu untuk beribadah kepada Allah. Maka, perempuan seharusnya menyadari "keberadaannya." bahwa Atas kuasa Allah manusia berjenis kelamin laki-laki atau perempuan, yang memiliki organ biologis dan alat reproduksi yang berbeda. Atas kehendak-Nya pula manusia memiliki rupa, warna kulit, suku bangsa, dan warna rambut yang berbeda-beda. Manusia hanyalah makhluk (hamba), yang diciptakan Allah dengan bentuk fisik dan jenis kelamin tertentu untuk beribadah kepada Allah(Q.S al-Zariyat (51): 56 "Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku”. Maka kepada kaum perempuan Prof. Nurun Najwah menyeru, “berjuanglah untuk tetap dalam kesadaran sepenuhnya sebagai manusia, yang diciptakan fi ahsani taqwiim, dan bertanggungjawab atas apa yang kita lakukan kepada-Nya. Pintu surga, ada pada setiap kebaikan yang bisa kita lakukan di setiap nafas kehidupan yang kita hirup. Kaum perempuan, konsistenlah berjuang dan mencontohkan cara berjuang, dalam meneladani Nabi, agar tetap berada dalam kesadaran diri sebagai manusia, yang dimanusiakan dan memanusiakan. Kepada kaum laki-laki, saya ingin menyampaikan, perlakukan perempuan sebagai manusia yang seharusnya, kalau tidak atas nama saudara dan anak perempuan, setidaknya atas nama ibu, yang berjasa dalam hidup kita, pasti seorang perempuan,” tegas ibu tiga putri (Lin Shofwata Dzikriya , Niswah Umhudloh Dzakiyya, Syamila Zidna Qonita) dari suami Almarhum Prof. Dr. Suryadi, M.Ag. ini.

Sementara itu, dalam sambutannya usai pengukuhan, Prof. H. Al Makin mengapresiasi ketegasan dan kejelasan Prof. Nurun Najwah dalam memberikan pemahaman terhadap pemaknaan Hadis terkait eksistensi perempuan. Prof. Al Makin juga menegaskan dasar dari Ayat al Qur’an terhadap implementasi hadis-hadis terkait eksistensi perempuaan . Siapa yang mengerjakan kebajikan, baik laki-laki maupun perempuan, sedangkan dia seorang mukmin, sungguh, Kami pasti akan berikan kepadanya kehidupan yang baik421)dan akan Kami beri balasan dengan pahala yang lebih baik daripada apa yang selalu mereka kerjakan. (Al-Nahl 97), demikian tegas Prof. H. Al Makin. (Weni/Alfan)