Pencarian Kebahagiaan Masyarakat Jawa di Era Global, Telaah Guru Besar Prof. Dr. Casmini
Prof. Dr. Casmini, S. Ag., M. Si., mengatakan, keluarga adalah kenyataan penting dalam struktur sosial di Indonesia. Keluarga menjadi sistem sosial yang fundamental. Jika keluarga solid, negara akan kokoh. Jika sistem sosial keluarga tidak solid, maka sistem ketahanan negara juga akan lemah. Sebuah keluarga merupakan ikatan psikologis yang bertumbuh dan berkembang. Dalam sistem keluarga normatif, ada peran ayah, ibu dan anak. Ayah sebagai simbol perlindungan, ibu simbol perawatan, anak simbol kerekatan. Setiap keluarga idealnya adalah representasi proses perkembangan menuju ketahanan keluarga dan kebahagiaan sejati. Dalam proses pencapaian ketahanan keluarga dan kebahagiaan sejati ini, ada yang diistilahkan resiliensi keluarga adalah integrasi pola tingkah laku positif dan kompetensi fungsional yang dimiliki oleh masing-masing individu dalam keluarga, berproses dinamis untuk beradaptasi positif. Dalam hal ini, kekuatan resiliensi individual dalam keluarga menjadi penting dalam membangun resiliensi keluarga menuju ketahanan keluarga, kebahagiaan dan kesejahteraan keluarga.
Sementara ada enam gagasan moral sebagai pondasi kekuatan resiliensi keluarga dalam rangka mencapai ketahanan keluarga, kebahagiaan dan kesejahteraan keluarga. Yakni; Pertama, berkeutamaan, kebijaksanaan, dan pengetahuan (virtue of wisdom and knowledge). Kedua, semangat dan gairah (virtue of courage) menghadapi tantangan dan hambatan secara berani. Ketiga, cinta dan kemanusiaan (virtue of humanity and love). Keempat, kesadaran akan keadilan (virtue of justice) antara hak dan kewajiban. Kelima, moderasi (virtue of temperance). Keenam, Kebajikan transendensi (virtue of transcendence). Sementara instrumen ketahanan, kebahagiaan dan kesejahteraan terletak pada keterampilan pengelolaan jiwa dan hati dengan latihan tanpa henti.
Hal tersebut disampaikan Prof. Casmini pada pidato pengukuhan Guru besarnya dalam Rapat Senat terbuka UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, bertempat di gedung Prof. R.H.A. Soenarjo, S.H., 10/11/2021. Prof. Casmini dikukuhkan sebagai Guru Besar Bidang ilmu Psikologi Umum pada Fakultas Dakwah dan Komunikasi, UIN Sunan Kalijaga, oleh Ketua Senat Universitas, Prof. Siswanto Masruri, berdasarkan keputusan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 54335/MPK.A/KP. 05. 01/2021, tanggal 12 Agustus 2021.
Lebih jauh Prof. Casmini memberikan gambaran resiliensi keluarga masyarakat Jawa dalam upaya mencapai kebahagiaan dan kesejahteraan hidup dunia dan akhirat. Konsep pribadi unggul yang dibentuk oleh masyarakat Jawa dikualifikasikan sebagai dadi wong dadi Jowo atau manungso tanpa ciri. Ada tiga kualitas kematangan kepribadian yang menopang kebahagiaan orang Jawa, yakni: sepuh (senantiasa mengoptimalkan fungsinya sebagai makhluk ciptaan Allah SWT), wutuh (tanpa kesengajaan melenceng), dan tangguh (pribadi yang mampu melaksanakan kehidupan dengan rasa suka cita meski berada di tengah ujian, duka dan nestapa). Kesungguhan orang Jawa berlatih menuju kualitas pribadi sepuh misalnya, eksplisit ada dalam potongan doa/niat: niat ingsun nebar gondho arum (tekatku menyebarkan harum nama) dengan berbuat kebaikan kepada semua orang, dan menghindari masalah. Kepandaian berbasa-basi untuk membahagiakan orang lain menjadi salah satu ciri pribadi orang Jawa. Sementara standar kebahagiaan bagi pribadi wutuh adalah empatik, sopan-santun, andhap-asor pada orang lain. Orang Jawa akan tetap optimis menemukan bahagia dengan upaya-upaya laku (laku rasa, laku basa, laku karma), sandarannya mengarah pada orientasi spiritual dalam rangka menemukan kebahagiaan sejati. Perilaku orang Jawa yang mengedepankan nilai-nilai sosial dan spiritual memiliki kesamaan dengan orang china, bedanya orang Jawa mengedepankan keyakinan kepada Tuhan, sementara orang China pada hubungan dengan alam emesta.
Dijelaskan, paparan tentang kepribadian sehat sepuh, wutuh dan tangguh orang Jawa yang selalu menyandarkan kehidupan kepada Allah SWT terbagi dalam empat kualifikasi: hidup telah diatur oleh Tuhan (manunggaling kawulo Gusti), menyandarkan kehidupan pada Tuhan (sangkan paraning dumadi), manusia sekedar menjalani titah-Nya ( sadermo nglakoni), kehidupan sesuai dengan kodrat Tuhan untuk dijalani (ngerteni kodrat, hukum pinerti). Dalam mengimplementasi sikap hidup sehari-hari, orang Jawa memiliki filosofi hidup tepo-seliro, perwiro, kinasih, sak madyo, lan ngerti isin. Dan masih banyak lagi simbol simbol filosofi yang dianut orang Jawa dalam mengimplementasikan sikap hidup sehari-hari untuk meraih kebahagiaan sejati, seperti: menep-meneping ati, sakperlune, sakcukupe, ora ngaya, ora nggrangsang, sakmestine, sakbenere, sabar narima, ana dina ana upa, obah mamah, tapa ati, tapa rasa, tapa nyowo, temen, eling, hening dan seterusnya.
Namun era globalisasi yang salah satunya ditandai mudahnya kontak budaya antar negara. Gelombang modernisasi dan globalisasi mendorong perjumpaan kebudayaan orang Jawa dan masyarakat global. Budaya lokal yang berasas spiritualistik dan sosialistik menjadi satu dengan liberalistik dan kapitalistik, yang bisa jadi akan melunturkan nilai budaya Jawa, seperti nilai-nilai sepuh, wutuh dan tangguh sebagai indikator kepribadian sehat Jawa menuju ketahanan, kesejahteraan dan kebahagiaan keluarga Jawa. Fenomena klitih remaja saat ini menjadi salah satu penanda tergerusnya nilai-nilai luhur budaya Jawa yang tidak bisa dipertahankan, yang ditengarai dapat menggerus resiliensi keluarga Jawa. Pertahanan kepribadian orang Jawa ngeli tanpa keli dalam kondisi global saat ini teruji. Keluarga Jawa dapat mempertahankan atau akan hilang tergerus arus globalisasi.
Sebagai penutup pidato ilmiahnya, Prof. Casmini menyampaikan, problem sosial kita hari ini bergerak di lintasan yang nyaris bersifat global dan lokal sekaligus. Masalah pada daya resiliensi di tingkat keluarga dan individu adalah representasi dari suatu masalah di tingkat masyarakat regional, nasional, dan internasional. Kita sebagai manusia kehilangan pijakan yang cukup kuat untuk melalui masa-masa transisi peradaban yang besar. Kita patut waspada, sebab nilai-nilai psiko-kultural adiluhung hasil bentukan kolektif dipaksa berganti tempat dengan nilai-nilai yang agresif dan destruktif. Kita seolah-olah dipaksa menerima peralihan ini sebagai model ideal. Jadi suatu solusi atas masalah ini perlu dipikirkan oleh setiap ilmuwan psikologi hari ini, demikian ajak Prof. Casmini.
Sementara itu dalam sambutannya usai pengukuhan, Prof. Al Makin antara lain menyampaikan, pihaknya mengapresiasi pidato Guru Besar Prof. Casmini yang mengupas tentang kebahagiaan lahir batin. Menurut Prof. Al Makin karya ilmiah Prof. Casmini mengingatkan pada inti dari filsafat itu sendiri, dalam tradisi Stoic Yunani dan Latin, yang akhirnya masuk dalam dunia Arab dan Islam. kebahagiaan adalah tujuan filsafat dalam mencari kebajikan. Perlu menggarisbawahi bahwa saat ini sedikit sekali yang membahas bahagia di masyarakat kita, apalagi masyarakat ilmiah. Semua nasehat berisi tentang sukses. Semua nasehat tentang pencapaian atau prestasi. Kita sering lupa, tidak memberi perhatian pada arti dan hakikat kebahagiaan.
Disampaikan, 2500 tahun yang lalu. Epicurus dan Diogenes dari Yunani, mereka benar-benar mencari kebahagiaan dan hakikat secara ekstrem, seperti sufi dalam tradisi Islam dan pertapa dalam tradisi Jawa. Epicurus menjadi bahan disertasi Karl Marx, seorang yang sangat materialis dalam teori tetapi sangat miskin dalam kehidupan. Marx tidak punya apapun, kecuali buku-buku, itupun dia baca hanya perpustakaan. Sangat ironis. Marx mempunyai teori materi, teori pasar, teori kapital. Tetapi Marx adalah orang miskin. Marx adalah seorang sufi yang bahagia mungkin dalam kesederhanaan atau kesengsaraan. Epicurus mendirikan komunitas atau tarekat ala Yunani 2500 tahun lalu, dan menyendiri, tanpa materi. Epicurus memilih pantai atau pulau kecil Bersama pengikutnya dia mengurangi materi, seks, dan kehidupan senang. Kesenangan adalah menyendiri dan merenung dan merasa cukup dengan dirinya sendiri. Ini mirip dengan pertapa India dan mungkin Jawa. Diogenes, pemikir Yunani lain, bahkan tidak mempunyai rumah. Dia hidup di pasar. Tetapi pandangannya sangat kritis dan berani. Pernah menantang Aristoteles, yang mendefinisikan manusia sebagai burung tanpa bulu. Diogenes mencari kebahagiaan dengan dirinya sendiri, tidak dengan keluarga. Sedangkan Epicurus mencari kebahagiaan dengan kelompoknya tidak dengan keluarga.
Pendiri Stoic adalah Zeno, dia seorang pedagang yang bankrut, karena kapalnya mengalami kecelakaan di laut. Lalu dia abdikan hidupnya untuk filsafat. Kebahagiaan dan bagaimana caranya meraih melalui filsafat yang dia cari. Lahirlah Stoic yang mempunyai prinsip jauh lebih sederhana, yang sudah disinggung Plato dalam Republik: 1) Wisdom/kebijakan atau hikmat; 2) Temperance atau moderasi atau tawasuth; 3) Courage/atau keberanian; dan 4) Justice/keadilan atau tawazun. Jadi ini bersambung sanad kebahagiaan ini ke 2500 tahun yang lalu. Dan sekarang Prof. Casimin lebih perhatian pada ketahanan keluarga/kebahagiaan konsep Jawa. Kalau dihubungkan dengan Stoic, karena banyak yang menganggap bahwa filsafat Jawa cenderung Stoic, saya kira menarik. Stoic dan Jawa banyak kemiripan. Stoic benar-benar berkembang menjadi filsafat yang dijalani tokoh-tokoh penting dan hingga kini menjadi pedoman orang-orang besar dalam politik dan bisnis seperti: Thomas Jefferson, Nelson Mandela, Bill Gate, Warren Buffett, dan banyak orang sukses lainnya.
Filsafat Jawa juga sudah dibahas banyak antropolog dan sejarawan. Pemimpin besar seperti Sukarno dan Suharto penuh dengan nilai filsafat Jawa, bahkan Habibie dan SBY pun masih mengikuti teladan Pak Harto. Buku-buku tentang Suharto semua penuh dengan laku Jawa, mental Jawa, etika Jawa. Saya kira para penghayat aliran kepercayaan, banyak berjasa dalam melanggengkan filsafat Jawa. Banyak serat, babad, dan tulisan-tulisan kuno Jawa yang perlu kita kaji lagi. Di UIN Sunan Kalijaga punya sanad, rawi, atau chain of transmission dalam mempelajari kejawen.Mulai dari Prof. Simuh tentang Serat Wirid Hidayat Jati. Murid beliau Dr. Romdon membahas tentang mistik Jawa. Lalu Dr. Damami meneruskan tentang studi penghayat. Maka perlu penerus kita dalam membahas tradisi Jawa, dan tradisi Nusantara pada umumnya, tidak hanya bersifat antropologis, tapi juga filosofis dan psikologis, seperti kajian Prof. Casmini, demikian papar Prof. Phil Al Makin. (Weni, Ihza, Alfan)