Kaji Pemikiran Kritisisme Sejarah dari Thoha Husein, Dosen Fakultas Adab dan Ilmu Budaya UIN Suka Raih Doktor
Al-Fitnah al-Kubra adalah peristiwa kekacauan politik yang berakibat terbunuhnya Khalifah Usman bin Affan. Peristiwa ini menjadi peristiwa kelam dalam sejarah Islam, yang berdampak pada polarisasi umat Islam ke dalam kelompok-kelompok. Kemudian memunculkan perang sipil yang berkelanjutan. Sejarah kelam yang mewarnai penyebaran Islam sepeninggal Rasulullah ini menggugah Thaha Husein (seorang intelektual, sastrawan, sejarawan Mesir) yang terkenal liberal dan kontroversial, untuk mengkaji ulang secara kritis, sehingga bisa memberikan pencerahan pemahaman umat Islam tentang sejarah Islam yang komprehensif, untuk memetik nilai kebaikannya.Tafsir dan interpretasi Thaha Husein yang dinilai baru dan berbeda dengan para sejarawan lain dikaji oleh Dosen Fakultas Adab dan Ilmu Budaya UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Syamsul Arifin, M. Ag.
Syamsul Arifin melakukan penelitian pustaka terhadap karya-karya tulis Thaha Husein dan karya-karya yang terkait perihal al-Fitnah al Kubro, melalui metode sejarah dan pendekatan biografi dan hermeneutika. Ada tiga pokok masalah yang dijadikan kajian riset putra kelahiran Sumenep ini, yakni: Pemikiran al-Fitnah al Kubra Thoha Husein, metodologinya dan seperti apa kekritisan pemikiran Thoha Husein. Karya riset Syamsul Arifin ini dipertahankan untuk memperoleh gelar Doktor bidang Sejarah dan Kebudayaan Islam dalam promosi terbuka di Program Pascasarjana, di kampus UIN Sunan Kalijaga, 27/9/18.
Di hadapan promotor Prof. Dr. Muhammad Abdul Karim, MA., dan Dr. Nurul Hak, M. Hum., tim penguji: Prof. Dr. H. Bermawy Munthe, MA., Dr. Hj. Siti Maryam, M. Ag., Prof. Dr. H. Fauzan Naif, MA., Prof. Dr. H. Achmad Daldiri, M. Hum., serta ketua dan sekretaris sidang: Prof. Drs. KH. Yudian Wahyudi, MA., Ph.D, dan Dr. H. Waryono Abdul Ghafur, M. Ag., promovendus menjelaskan, dalam pandangan Thaha Husein, peristiwa al-Fitnah al Kubra adalah peristiwa politik yang sangat menyakitkan dalam sejarah Islam. Namun demikian peristiwa tersebut tetap harus didudukkan dalam persepektif sejarah yang murni dan dijauhkan dari setiap bentuk interes, termasuk keyakinan dan pandangan agama, sehingga menghasilkan pemikiran yang obyektif.
Tidak seperti sejarawan Muslim yang lain, yang memandang Usman Bin Affan sebagai tokoh sentral. Sebagai manusia sempurna yang tidak pernah melakukan kesalahan. Al-Fitnah al-Kubro memandang Usman Bin Affan sebagai sosok pemimpin yang berkarakter lemah. Banyak permasalahan yang tidak terselesaikan dalam kemepimpinan Usman bin Affan. Yang terparah banyak agitasi dan fitnah, serta mendorong masyarakat untuk memberontak khalifah yang dilakukan tokoh bernama Ibn Saba’, sementara Khalifah Usman bin Afan cenderung membiarkannya. Lemahnya kepemimpinan khalifah ditambah sikap arogan orang orang dekat khalifah, yang tidak mencerminkan sebagai pembantu khalifah, yang seharusnya menjaga kehormatan khalifah. Faktor lain pendorong peristiwa al-Fitnah al Kubra adalah kondisi sosial politik yang kacau dan pemerintahan yang berjalan tidak baik, serta kebijakan khalifah yang tidak bisa mencerminkan keadilan (menyalahi tradisi kepemimpinan kekhalifahan sebelumnya). Semua persoalan ini memaksa terjadinya peristiwa al-Fitnah al-Kubra yang menyebabkan Khalifah Usman bin Affan terbunuh.
Dalam memaknai peristiwa al-Fitnah al-Kubra, Thoha Husein mendekatinya dengan skeptisisme dan determinisme sejarah. Dengan cara pandang tersebut, ditambah cara menarasikan secara kritis, Thoha Husein mampu menghadirkan sejarah al-Fitnah al-Kubra yang rasional-obyektif, mempertimbagkan prakmatisme sejarah, yakni ingin menjawab persoalan Mesir melalui sejarah. Dengan begitu, sejarah tidak sebatas menceritakan peristiwa, tetapi juga ditafsirkan sebagai wacana untuk menjawab masalah kekinian.
Dari kajian sejarah kritis yang dihadirkan Thoha Husein, bapak 2 putra dari istri Nurul Mukaromah, SH., MH., ini berpandangan bahwa sejarah bisa dikaji dan dinarasikan kembali untuk kepentingan peradaban kekinian yang lebih baik. Sejarah akan lebih bermakna bila direkonstruksi dan dieksplanasikan, serta dikaitkan dengan masa kini dan masa depan. Sejarah juga bermakna membangun visi dan horison kehidupan di masa datang. Sejarah harus dihadirkan kembali untuk membebaskan cara berpikir masyarakat terhadap masa lampau dari belenggu ketidaktahuan, kepalsuan, mitos-mitos, manipulasi dan salah tafsir, sehingga sejarah dapat memberikan spirit bagi masyarakat untuk bertindak menyelesaikan persoalan yang dihadapinya.
Dari karya risetnya ini, Syamsul Arifin berharap, kritisisme sejarah Thoha Husein bisa dijadikan alternatif penulisan sejarah, terutama sejarah Islam. Hal ini penting untuk menghadirkan sejarah Islam yang kritis, aktual, dan responsif terhadap masalah yang dihadapi umat Islam masa kini untuk mencapai kondisi keberagamaan umat Islam yang lebih baik, sebagai implementasi Islam yang Rahmatan Lil ‘Alamin, demikian harap Syamsul Arifin. (Weni, Doni)