Fishum UIN Sunan Kalijaga Seminarkan Komparasi Indonesia Versus Malaysia tentang Regulasi Pernikahan di Bawah Umur
Meningkatnya usia perkawinan bagi perempuan menjadi penyebab naiknya dispensasi perkawinan anak. Hal ini seringkali menjadi dilema antara regulasi dengan kenyataan. Apalagi, penduduk remaja berdasarkan survey dari Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada itu tinggi. Dan akan terus berlangsung sampai Indonesia Emas 2024. Sebanyak 11,2% anak perempuan di Indonesia menikah pada usia dibawah 18 tahun.
Merespon hal ini, Pusat Studi Networking Indonesia Australia Family Studies (NIAFS), Fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora (Fishum) UIN Sunan Kalijaga mengadakan kegiatan seminar series. Berlangsung 12/7/2023, di Conference Room, kampus Fishum, UIN Sunan Kalijaga. Acara ini mengangkat tema "Regulasi Negara tentang Pernikahan Anak di Bawah Umur dan Respon Masyarakat: Kasus di Indonesia dan Malaysia".
Dua narasumber yang hadir dalam acara ini yakni Associate Profesor, Dr. Mohd Al Adib Samuri dari Universiti Kebangsaan Malaysia. Sementara narasumber yang kedua yakni Dr. Agus Joko Pitoyo, M.A. selaku Kepala Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada. Acara kali ini dimoderatori oleh Hikmalisa, M.A. selaku Dosen UIN Sunan Kalijaga. Acara ini juga berlangsung secara Hybrid melalui Zoom Meeting.
Rektor UIN Sunan Kalijaga, Prof. Dr. Phil. H Al Makin, M.A., yang hadir di forum ini menjelaskan bahwa pernikahan anak hari ini tidak hanya dipengaruhi oleh budaya maupun agama. Seiring perkembangan teknologi, pernikahan anak usia dini bahkan dipengaruhi oleh endorsement artis-artis yang ditampilkan di media sosial. “Early marriage recently become lifestyle. Not because endorsment of ustadz but endorsment by artis. This is hijrah phenomnena. Movie stars, actris, influencer, their upload in early marriage on media sosial. Beberapa circle terbatas memang ingin menjadi populer, sewaktu-waktu mereka bisa berpindah dari popularitas ke dunia politik,” terangnya.
Hal senada juga disampaikan oleh Dekan Fishum UIN Sunan Kalijaga, Dr. Mochamad Sodik, S.Sos., M.Si. Menurutnya, fenomena menikah usia dini merupakan fenomena yang membutuhkan perhatian khusus. “Tema ini menurut kita sangat menarik karena berbicara mengenai pernikahan dibawah umur sampai saat ini menjadi kegelisahan bersama. Isu ini sudah lama kita bincangkan. Faktanya masih banyak problem keluarga bagi anak-anak yang menikah di usia dini. Kami berharap lingkaran setan ini bisa kita putus. Bagaimana kita terus bekerja bersama-sama karena isu ini menjadi isu krusial. Karena, membangun keluarga yang baik tergantung pada kesiapan dan kematangan dari calon pengantinnya,” jelasnya.
Dr. Napsiah, S.Sos., M.Si. selaku Ketua NIAFS menjelaskan bahwa bagi pemerintah, pengaturan usia pernikahan untuk mengantisipasi adanya dampak negative seperti stanting, kekerasan dalam rumah tangga, dan juga perceraian. Selainitu,pernikahanyangdilakukan di bawah umur adalah melanggar hak asasi manusia, karena akan dipaksa untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan orang dewasa yang seharusnya belum menjadi tugas dan tanggungjawabnya.
“Rasionalitas pemerintah tersebut seringkali tidak diterima oleh masyarakat. Persoalan ekonomi, adat istiadat dan agama, seringkali dijadikan alasan untuk mendobrak regulasi negara tentang pembatasan usia pernikahan. Dengan demikian, legitimasi dari orang tua lebih kuat dibandingkan dengan negara. Karena itu, pernikahan di bawah umur sulit dihentikan. Acara ini merupakan upaya NIAFS untuk mendiskusikan pertentangan kedua rasional tersebut. Bagaimana mendapatkan pengetahuan yang komprehensif tentang kasus pernikahan anak di bawah umur, terutama di Indonesia dan Malaysia,” jelasnya.
Associate Profesor, Dr. Mohd Al Adib Samuri dari Universiti Kebangsaan Malaysia menjelaskan bahwa di Malaysia, regulasi tentang pernikahan dini di Malaysia tidak hanya terjadi pada komunitas muslim. Namun juga di komunitas india, para pengugsi dari Rohingnya, dan komunnitas lainnya. “In many communities, religious beliefs deeply influence socieatal norm and values, which can shape attitudes toward child marriage. Many religious communities and leaders actively oppose child marriage,” jelasnya.
Sementara itu Dr. Agus Joko Pitoyo, M.A. selaku Kepala Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada menjelaskan bahwa banyaknya kasus pernikahan anak seharusnya ditanggapi serius oleh negara. Ada banyak penyebab pernikahan dini antara lain masalah ekonomi yang akhirnya membuat anak putus sekolah. Tradisi kawin muda yang menganggap sekolah tidak penting. Regulasi hukum yang melahirkan adanya dispensasi. Terakhir, perubahan tata nilai yakni perilaku seks permisif. Dampak pernikahan dini antara lain ialah cultural poverty yang menyebabnya putus sekolah sehingga ketidaksiapan berbagai hal dalam pernikahan dini menimbulkan KDRT, masalah kesehatan reproduksi, hingga perceraian.
Perlu adanya pemberdayaan Pemberdayaan Pasutri, Pembinaan usia ideal perkawinan, Pembinaan usia ideal melahirkan, Sosialisasi jumlah ideal anak, Sosialisasi jarak ideal melahirkan, Penyuluhan kesehatan reproduksi, Komunikasi, Informasi, Edukasi, serta peningkatan Keterpaduan dan Peran Masyarakat.
Di Amerika, Dr. Martha Catherine Beck, Greek Philosophy juga membagikan hasil penelitiannya mengenai pernikahan dini di Amerika dan Bangladesh. Dr. Martha menyampaikan bahwa di Bangladesh, dua pertiga dari anak perempuan menikah sebelum usia 18 tahun, sehingga merampas sebagian masa kecil mereka dan hak memperoleh pendidikan. Dalam hal ini pihaknya menganggap bahwa dalam menyusun regulasi, kita perlu memahami betul dan mampu menjelaskan mengaapa banyak pernihakan anak di usia dini. (Tri/Weni/Doni)