Oleh: Dr. Abdur Rozaki, S, Ag.,M. Si
( Wakil Rektor bidang kemahasiswaan dan Kerjasama UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)
Putusan MK 62/PUU-XXII/2024 telah membatalkan ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden (Presidential Threshold). Putusan itu menandakan berakhirnya sejarah (the end of history) pemilihan presiden yang mensyaratkan sedikitnya 20 persen jumlah kursi DPR atau 25 persen perolehan suara sah nasional pada pemilu legislative sebelumnya.
Berakhirnya sejarah ambang batas presidential threshold (PT) tersebut tak terlepas dari “tangan dingin” empat mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum (FSH) Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga (UIN Suka) Yogyakarta: Enika Maya Oktavia, Rizki Maulana Syafei, Faisal Nasirul Haq, dan Tsalis Khoirul Fatna, yang mengajukan permohonan uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK) pada 23 Februari 2024. Desakan kuat dari berbagai kalangan yang mengajukan uji materi terhadap pasal 221 dan 222 UU Pemilu selalu memperoleh penolakan hingga 32 kali. Akhirnya empat mahasiswa yang penuh jibaku mencari keadilan konstitusional itu bisa “menundukannya”.
Perubahan Paradigma
Secara sosiologis, mengadaptasi pemikiran Francis Fukuyama dalam The End of History and the Last Man, berakhirnya PT itu menunjukkan peralihan sebuah paradigma berpikir di sebagian besar lapisan masyarakat Indonesia. Di tengah kuatnya rezim oligarki yang selama ini mendewakan ambang batas presiden sebagai modus “pengelabuan konstitusi” empat mahasiswa tersebut menunjukkan uji nyali intelektualitas dan kecendekiawanan mereka melalui permohonan uji materi (judicial review). Terlebih bagi empat mahasiswa itu,dua pasal di atas menjadi penghambat hak politik setiap anak bangsa untuk mendamarbaktikan diri sebagai presiden di tanah air ini.
Karena itu, sebagai generasi muda yang taat konstitusi dan patuh terhadap dasar Negara, mereka menggunakan hak hukum mereka untuk turut andil menguatkan pengetahuan dan membentuk masa depan (empowering knowledge, shaping the future) demokrasi yang didasarkan pada moralitas, rasionalitas, serta rasa keadilan. Pada titik ini pula, mereka menyatakan bahwa pasal 222 UU 7 Tahun 2017 telah melanggar batasan open legal policy dan bertentangan dengan nilai-nilai keadaban demokrasi.
Dalam sebuah kaidah fikih ada pesan moral: Dar ul Mafasid muqaddamun ‘ala jalbi al mashalih. Dalam konteks penguatan demokrasi, kaidah itu mengajarkan perlunya desakralisasi peraturan hukum ketika di dalamnya termuat banyak kemudaratan yang sangat merugikan rakyat Indonesia. Jadi, empat mahasiswa FSH UIN Suka itu telah menguak tabir kepalsuan yang selama 20 tahun ini ditutup-tutupi sekelompok elite partai yang merasa “paling berkuasa” atas suksesi kepemimpinan.
Demokrasi Inklusif
Langkah kecil empat mahasiswa itu menjadi penanda perjuangan besar untuk mengakhiri sejarah praktik pengebirian demokrasi di Indonesia.Bahkan, mengadaptasi pandangan Soekarno, mereka ibarat 10 pemuda yang berhasil menguncang jagat raya.
Melaui cara pandang dan cara berpikir inklusif, mereka ingin memanifestasiikan panji-panji keluhuran demokrasi yang secara prinsipiil menegaskan pentingnya kesetaraan dan keadilan. Sebab, ketika hanya dibatasi pada dominasi partai politik yang eksklusif, sangat mungkin pemilihan presiden dan wakil presiden dilingkupi penyalahgunaan kewenangan (abuse of power) dan pelanggaran politik dinasti.
Dalam 10 tahun terakhir saat menghadapi pemilu (Alfi Rahmadhani, Politik Identitas dan Polarisasi Dalam Pemilu), rakyat hanya dijadikan objek pemilu. Rakyat dikerengkeng dalam jebakan ketergantungan (dependent trap) yang mudah dikuasai rezim oligarki.
Bahkan, aturan PT dalam UU Pemilu 2023 yang di uji keempat mahasiswa ingin mendekonstruksi model “golden ticket” bagi partai besar sehingga lahir monopoli pemilu (electoral monopoly).
Dengan demikian, putusan MK 62/PUU-XXII/2024 menjadi angina segar bagi tumbuhnya demokrasi yang inklusif, yang mereduksi peluang terjadinya dominasi kekuasaan oleh sekelompok elite partai politik yang selama 20 tahun terakhir telah menggurita dan mengendalikan proses pemilu.
Selain itu, melalui putusan MK tersebut, masyarakat akan belajar memosisikan diri sebagai pemegang hak kedaulatan politik yang paling sah. Mereka akan berpartisipasi untuk menyiapkan diri sebagai subjek pemilu di posisi pemilahn presiden sebagaimana ditegaskan dalam pasal 27 ayat (1) dan pasal 28D ayat (1) UUd 1945.
(Tulisan ini sudah terbit di Opini Jawa Pos tgl 7 Januari 2025)