Oleh: Prof. Dr. Ali Sodiqin, M.Ag.
( Dekan dan Guru Besar Fakultas Syairah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta )
Tulisan Pangky Febriantanto “Babak Baru Penghapusan Presidential Threshold” dan Syamsudin “Hilangnya Presidential Threshold” (KR, 4 dan 6 Januari 2025) menjadi penegas opini publik yang ke sekian kalinya perihal pentingnya kedaulatan dan partisipasi rakyat dalam pemilihan presiden.
Melalui kedua tulisan ini, ada tuntutan moralitas yang harus dilakukan oleh pemerintah dan Dewan Perwakilan rakyat (DPR) agar putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang tertuang dalam nomor perkara 62/PUU-XXII/2024 menjadi titik masuk (entry point) lahirnya ekosistem demokrasi yang lebih egaliter. Sebab, perjalanan pemilihan umum (pemilu) yang sekian lama berlangsung di Indonesia lebih diwarnai oleh praktik dominasi dan “hegemonisasi” partai politik (parpol) tertentu. Terlebih lagi, ketika ambang batas presiden pertama kali dirumuskan dalam Undang-Undang (UU) Nomor 23 tahun 2003 dan diterapkan pada tahun 2004. Implikasinya, masyarakat tidak mempunyai pilihan calon presiden yang sesuai dengan harapan mereka.
Oleh karena itu, ketika permohonan uji materi (judicial review) Pasal 221 dan 222 UU Pemilihan Umum (Pemilu) Tahun 2003 diajukan oleh empat Mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga (FSH UIN Suka) ke MK, dan memperoleh kemenangan yang sangat berarti, publik merasakan adanya revolusi harapan yang besar bagi kelangsungan demokrasi di Indonesia.Di antara corak demokrasi yang dapat memberikan harapan lebih baik adalah amanah putusan MK yang menghapus syarat 20% dari jumlah kursi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) atau memperoleh 25% suara sah nasional bagi pihak yang mau mencalonkan diri sebagai presiden dan wakil presiden. Setidaknya, dengan peniadaan syarat ini pada pemilu 2029, iklim demokrasi yang ditegakkan di setiap perhelatan politik seperti pemilu akan mengedepankan prinsip egalitarianisme. Bahkan, melalui prinsip ini, publik bisa memperhitungkan lebih cermat berbagai figur yang lebih kredibel sebagai calon pemimpin Indonesia di masa akan datang.
Prinsip Egalitarianisme
Dalam kaitan ini, prinsip egalitarianisme yang ditegaskan dalam corak demokrasi pada pemilu ke depan, mengutamakan sebuah pandangan luhur bahwa setiap orang ditakdirkan sama dan setara di hadapan hukum maupun Pemilu. Maka, ketika seseorang mempunyai kecakapan dan integritas kepemimpinan dalam mengemban amanah kekuasaan dan kepemerintahan yang selaras dengan kemaslahatan, sejatinya dapat tampil ke permukaan dengan alur dan proses yang diatur dalam perundang-undangan.
Apalagi, putusan MK yang dimenangkan empat mahasiswa FSH UIN Suka yang terdiri dari Enika Maya Oktavia, Rizki Maulana Syafei, Faisal Nasirul Haq, dan Tsalis Khoirul Fatna, memberi angin segar bagi siapa pun untuk bisa berkontestasi dalam pemilu. Terlebih lagi dalam putusan MK tersebut menegaskan bahwa gagasan praktik penyederhanaan parpol sebagai dasar penentuan hak parpol untuk mengusulkan pasangan calon presiden dan wakilnya sarat dengan nuansa ketidak adilan.
Keberpihan putusan MK yang mempertimbangkan perlunya partisipasi masyarakat secara setara dalam pemilu, benar-benar menjadi embrio yang sangat prospektif untuk membangun politik egalitarianisme yang sangat kondusif bagi program pemanusiaan manusia dalam negara dan pemerintahan. Bahkan, meminjam cara berfikir Rachel Sigman and Staffan I. Lindberg dalam tulisan “Democracy for all: conceptualizing and measuring egalitarian democracy, dalam demokrasi yang egaliter, pemerintah perlu melindungi kebebasan hak setiap orang untuk bisa berpartisipasi dan menguji diri dan keberaniannya untuk bisa terlibat di setiap proses perpolitikan dan menjalankan roda kepemerintahan.
Dengan demikian, putusan MK yang menghapus ambang batas presiden sekaligus mengamanahkan kepada pemerintah dan DPR agar menyiapkan sebaik mungkin berbagai langkah teknik-politik yang mendukung adanya pembaharuan syarat-syarat penyelenggaraan pemilu yang bertentangan dengan UUD 45 dan merevisi UU pemilu, menjadi angin segar bagi terciptanya demokrasi egalitarian. Meskipun patut disadari pula, untuk memperkuat corak demokrasi yang egaliter ini membutuhkan kesadaran dan pengawasan semua pihak. Sebab, tidak menutup kemungkinan, apa yang sudah diperjuangkan oleh keempat mahasiswa FSH UIN Suka akan menjadi layu sebelum berkembang, bila kita hanya terlena dengan terbitnya putusan MK.
Oleh karena itu, agar putusan MK ini benar-benar menjadi trigger utama bagi tegaknya demokrasi egaliter di Indonesia, semua pihak harus harus saling mengawasi dan memastikan bahwa pada pemilu 2029 menjalankan putusan MK.
(Tulisan ini sudah terbit di Opini Kedaulatan Rakyat pada tanggal 9 Januari 2025)