Dr. Fathorrahman Ghufron, M.Ag.
Memasuki tahun 2025, Mahkamah Konstitusi (MK) menorehkan catatan sejarah baru dalam belantika perpolitikan Indonesia. Setelah melalui perjalanan berliku dan rekam jejak permohonan perkara pengujian konstitusionalitas pasal ambang batas pencalonan presiden yang diajukan masyarakat sebanyak 32 kali, di tangan mahasiswa, uji materi Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum menuai hasil gemilang. Keputusan ini tentu akan mengubah peta pencalonan presiden pada 2029.
Keberanian empat mahasiswa yang sedang menempuh kuliah S-1 di Program Hukum Tatanan Negara Islam Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga dalam mengajukan uji materi tersebut menjadi role model perjuangan politik di kalangan anak muda. Bahkan, kehadiran empat sosok mahasiswa: Enika Maya Oktavia, Rizki Maulana Syafei, Faisal Nasirul Haq, dan Tsalis Khoirul Fatna yang gigih menyuarakan kegelisahannya mendobrak stigma apatisme dan ketidakpedulian anak muda yang berlatar gen Z terhadap politik (Apatisme Politik Gen Z, Univ Udayana, 2024).
Apa yang dilakukan keempat mahasiswa tersebut menunjukkan bahwa ekosistem demokrasi Indonesia yang selama ini dicemari despostisme partai politik dan menjadikan UU No 7/2017 tentang Pemilu sebagai modus pembonsaian hak politik dan kedaulatan rakyat tidak boleh dibiarkan.
Melalui berfikir kritis (critical thingking) terhadap konstitusi yang mulai memudar (dischantment of constitution), mahasiswa berupaya mengembalikan spirit moralitas, rasionalitas, dan keadilan dalam sistem pemilu. Setidaknya, dengan cara ini, masyarakat, terutama generasi muda, dapat berpartisipasi aktif dalam proses demorasi dan pembangunan politik yang lebih beradab.
Kekuatan moral mahasiswa
Dalam kaitan ini, literasi politik dan kepedulian mahasiswa terhadap masalah-masalah yang terjadi di republik ini menjadi modal sosial untuk meningkatkan posisinya sebagai kekuatan moral (moral force). Selain itu, perhatian dan perlawanannya terhadap modus pembegalan konstitusi yang dilakukan oleh para komplotan oligarki menjadi bukti bahwa mahasiswa merupakan director of change yang dianggap mampu mengarahkan perubahan.
Bahkan, kecerdasannya dalam mengkritisi berbagai celah penundukan konstitusi oleh para politisi, sehingga memantik gerakan perubahan kebijakan struktural yang siginifikan, merupakan kerja intelektual organik yang membebaskan.
Perjuangan empat mahasiswa dalam melakukan rekayasa konstitusi melalui uji materi terhadap UU yang mencoreng ekosistem demokrasi adalah salah satu mata rantai kekuatan moral mahasiswa yang didemonstrasikan di hadapan publik. Jauh hari sebelumnya, pada medio 2024, mahasiswa juga turut serta memprakarsai gerakan moral pembatalan Rancangan UU Pilkada dan menekan penyelenggara pemilu agar mematuhi putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 60 dan 70.
Gelombang protes yang mengharu biru di berbagai penjuru semakin menguatkan bahwa mahasiswa menjadi garda terdepan yang ingin menyelamatkan demokrasi dari rezim vetokrat yang selama ini mengebiri konstitusi.
Dua aksi monumental mahasiswa tersebut menjadi bukti eksistensi dan konsistensi untuk menegakkan panji-panji kebenaran dan keadilan dalam berdemokrasi. Sebagai pembelajar dewasa (andragogi) yang selama ini menempa dirinya di bangku kuliah dan sekaligus melakukan eksperimentasi nalar di medan aktivisme dan pergerakan menegaskan dua kutub peradaban ilmu dan amal yang saling beririsan dan berjalin kelindan.
Melalui peradaban ilmu yang diperoleh dari bangku kuliah, mahasiswa memberanikan diri melakukan uji materi dan uji kebenaran tentang sebuah konsep bernegara yang sesuai dengan dasar negara ataupun UUD 1945. Adapun melalui peradaban amal, mahasiswa menunjukkan taji perlawanan dan perjuangannya secara bergelombang ketika ada kebijakan pemerintah yang dipaksakan pemberlakuannya tetapi berlawanan dengan epos kerakyatan dan etos keindonesiaan.
Selama ini UU Pemilu dianggap sebagai ”berhala politik” yang seolah-olah tak bisa disentuh banyak pihak. Namun berkat kegigihan dan ketulusan para mahasiswa dalam menyuarakan nurani berbangsanya, hakim MK mengabulkan tuntutan mereka. Upaya para mahasiswa melakukan uji materi UU Pemilu tersebut menunjukkan sebuah laku ”ijtihad konstitusi” yang sangat mendidik dan mencerahkan.
Demikian pula, upaya mahasiswa mendemonstrasikan suara kritisnya di berbagai panggung publik, bahkan beberapa kampus mengalihkan perkuliahannya dengan praktik keilmuan di jalan, hal ini pun menunjukkan sebuah laku ”jihad konstitusi” yang daya dobraknya sangat berpengaruh sehingga mampu meluluhkan DPR untuk mematuhi putusan MK.
Menyelamatkan demokrasi
Dalam konteks ini, lelaku sosial kritis yang ditunjukkan mahasiswa, baik melalui pengembangan ilmu/ijtihad maupun amal/jihad dalam menegakkan konstitusi, merupakan cara strategis mahasiswa untuk menyelamatkan demokrasi. Terlebih, Indonesia ke depan merupakan ruang berbangsa dan bernegara yang akan berada di genggamannya.
Tentu, sebagai generasi yang tumbuh di era milenial, mereka ingin membuktikan kepada masyarakat bahwa mereka mempunyai cara berbeda dalam menegakkan nilai-nilai demokrasi yang belandaskan pada konstitusi yang benar.
Dengan modal kewarganegaran yang berbasis pada tiga aspek; civic knowledge, civic dispositions, dan civil skill—merujuk pada pemikiran Diana Owen Teaching Civic Engagement Through Immersive Experience: Students’ Acquisition of Civic Knowledge, Skills, and Dispositions—mahasiswa berupaya mentransformasikan nilai-nilai kebajikan dan keadaban sebagaimana yang ditegaskan dalam Pancasila dan UUD 45.
Pertama, melalui civic knowledge, mahasiswa berupaya memanifestasikan kemampuan akademiknya dalam menjelaskan dan memahami prinsip-prinsip dan proses demokrasi maupun berkonstitusi yang adil dan benar. Berbagai kejanggalan penerapan hukum yang dilakukan oleh pemangku kuasa tetapi bertentangan dengan prinsip berdemokrasi dan berkonstitusi menjadi eksperimentasi berpikir untuk menguji dan menggugat agar hukum yang diterapkan sesuai dengan koridor yang benar.
Kedua, melalui civic disposition, mahasiswa berupaya mendorong pemerintah dan berbagai elemen sosial politik agar menjalankan sistem politik yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dan keindonesiaan (hight politic). Dengan cara ini, setiap pemangku kuasa agar terdorong merancang dan melahirkan keputusan dan kebijakan yang berpihak pada kemaslahatan umum (summun bonum).
Ketiga, melalui civic skill, mahasiswa terdorong menguji keterampilannya dalam menghadapi dan menyikapi masalah. Sebagai director of change, mahasiswa dituntut untuk berpikir analitis dan kritis agar bisa mencermati masalah secara komprehensif. Dengan cara demikian, mahasiswa selalu berupaya menjadi problem solver di setiap masalah yang dihadapi oleh bangsa dan negara.
Dalam kaitan ini, ketiga aspek kewarganegaraan yang transformatif menjadi modal sosial dalam menyelamatkan Indonesia dari gurita plutokrasi, vetokrasi, dan aksi pembegalan demokrasi lainnya yang tengah diperjuangkan oleh mahasiswa. Semoga berbagai ijtihad dan jihad konstitusi yang dilakukan oleh mahasiswa menjadi tapak kebajikan yang bisa menginspirasi semua lapisan masyarakat sekaligus bisa saling siuman dari kemuslihatan oligarki. (Tulisan ini sdh terbit di Kompas.id tg 13 Januari 2025)
* Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga, Wakil Katib PWNU Yogyakarta.