Puji dan syukur kita panjatkan ke hadirat Alloh SWT yang telah melimpahkan segala nikmat, rahmat, dan hidayah-Nya. Atas pertolongan-Nya pula kita masih diberi kesempatan dan kekuatan untuk menjalani hidup ini. Saya ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Bapak Rektor dan Ketua Senat UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta yang telah berkenan memberikan kesempatan bagi saya untuk menyampaikan pidato pengukuhan saya sebagai Guru Besar dalam kepakaran Pembelajaran Matematika.
Berkat pertolongan Allah, saya dapat berdiri di majlis yang terhormat ini untuk menyampaikan pidato pengukuhan guru besar. Promosi menjadi guru besar ini sesungguhnya bukan merupakan hasil kerja keras dan cerdas saya, melainkan Berkat dan Rahmat Alloh SWT. Ini membuktikan bahwa saya sangat banyak kelemahan dan kekurangan dan selalu akan banyak kelemahan dan kekurangannya. Dengan segala kelemahan dan kekurangan itu, pada pidato pengukuhan guru besar saya ini maka ijinkan saya untuk menyampaikan kompilasi dari ide-ide yang pernah saya publikasikan, dan saya beri judul: Integrasi Kecerdasan Emosional pada Pembelajaran Matematika Berbasis Masalah.
PENDAHULUAN
Matematika, sebagai ilmu yang dibangun, dibentuk, dan dikembangkan oleh manusia, merupakan bagian integral dari kebudayaan dan bersifat universal. Sejak dini, manusia berkenalan dengan matematika dalam bentuknya yang paling mendasar, seperti menghitung dan mengukur. Melalui pendidikan formal yang dimulai dari taman kanak-kanak hingga perguruan tinggi, potensi matematika oleh manusia terus dikembangkan. Setiap jenjang pendidikan memperkenalkan konsep-konsep yang semakin kompleks, mulai dari aritmatika dasar hingga kalkulus dan statistika. Namun, penguasaan matematika tidak hanya sekadar tentang penguasaan rumus dan prosedur, melainkan juga membentuk kepribadian seseorang (Bertrams et al., 2016; Doz et al., 2024; Li et al., 2023). Dengan belajar matematika, seseorang diharapkan mampu berpikir logis, analitis, sistematis, kritis, dan kreatif, serta mampu bekerja sama (Ibrahim et al., 2024, 2021; Ibrahim & Widodo, 2020). Kepribadian ini berperan dalam kemajuan atau kemunduran individu tersebut dalam kehidupan pribadi maupun professional (Quarles & Davis, 2017). Bahkan dalam konteks yang lebih luas, masyarakat yang buta matematika akan kehilangan kemampuan untuk berpikir secara disipliner dalam menghadapi masalah-masalah nyata, baik masalah yang sederhana maupun kompleks (Ibrahim, 2011).
Di era Revolusi Industri 5.0, teknologi dan manusia semakin terintegrasi secara harmonis, tuntutan terhadap pendidikan matematika semakin kompleks. Revolusi Industri 5.0 tidak hanya menekankan pada kemajuan teknologi, tetapi juga pada keseimbangan antara kecerdasan buatan (artificial intelligence) dan nilai-nilai kemanusiaan (Taj & Jhanjhi, 2022). Era ini menuntut individu untuk tidak hanya menguasai keterampilan teknis, tetapi juga mampu beradaptasi secara emosional dan sosial dalam menghadapi perubahan yang cepat. Adaptasi ini mencakup kemampuan untuk berpikir fleksibel, menghadapi tantangan dengan sikap positif, dan bekerja sama dalam tim lintas disiplin.
Pembelajaran matematika tidak lagi cukup hanya berfokus pada penguasaan rumus dan prosedur, tetapi juga harus mampu memberdayakan siswa untuk mengkreasi pengetahuan matematis (Ibrahim, 2020, 2021). Siswa diharapkan dapat mengembangkan pemahaman yang mendalam dan aplikatif, yang tidak hanya relevan di dalam kelas tetapi juga dalam kehidupan sehari-hari. Ini akan membantu mereka menjadi individu yang tidak hanya cerdas secara akademis, tetapi juga mampu beradaptasi dengan perubahan lingkungan yang dinamis.
Revolusi Industri 5.0 sering disebut sebagai era "Society 5.0" di Jepang, menekankan pada integrasi teknologi canggih seperti artificial intelligence (AI), internet of things (IoT), big data, dan robotika dengan nilai-nilai kemanusiaan. Tujuannya adalah menciptakan masyarakat yang lebih inklusif dan berkelanjutan, teknologi digunakan untuk meningkatkan kualitas hidup manusia, tapi bukan menggantikan peran manusia (Carayannis et al., 2022). Dalam konteks pendidikan, ini berarti bahwa pembelajaran matematika harus dirancang untuk mempersiapkan siswa tidak hanya dengan keterampilan teknis, tetapi juga terkait dengan kemampuan untuk berpikir matematis tingkat tinggi, berkolaborasi, dan beradaptasi dalam lingkungan yang terus berubah.
Salah satu pendekatan yang dianggap efektif untuk mencapai tujuan ini adalah Pembelajaran Matematika Berbasis Masalah (PMBM). PMBM mengedepankan pemecahan masalah matematis dan masalahnya dapat didesain relevan dengan kehidupan sehari-hari, sehingga mampu mendorong siswa untuk berpikir matematis tingkat tinggi dan berkolaborasi (Ibrahim, 2011, 2012). Melalui PMBM, siswa tidak hanya dituntut untuk memahami konsep matematis, tetapi juga difasilitasi untuk dapat menerapkan konsep tersebut dalam situasi yang kompleks. Selain itu, PMBM dapat menumbuhkan rasa tanggung jawab dan kemandirian belajar pada siswa. Dengan menghadapi masalah, siswa belajar untuk merumuskan pertanyaan, mencari informasi yang relevan, dan mengembangkan solusi yang inovatif (Ibrahim, 2011). Pembelajaran ini akan mendorong kolaborasi dan diskusi antar siswa, meningkatkan pemahaman mendalam dan mengembangkan keterampilan sosial.
Meskipun banyak penelitian menunjukkan bahwa PMBM dapat meningkatkan hasil belajar matematika dibandingkan dengan pembelajaran konvensional, beberapa penelitian tersebut menunjukkan juga bahwa hasilnya belum mencapai tingkat optimal (Ibrahim, 2011, 2012). Implementasi PMBM tidak selalu berjalan mulus. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa keberhasilan PMBM dipengaruhi oleh berbagai faktor, termasuk kebiasaan belajar siswa, lingkungan belajar, dan peran guru. Siswa yang terbiasa dengan pembelajaran konvensional mungkin mengalami kesulitan beradaptasi dengan PMBM yang menuntut mereka untuk lebih aktif, dan mandiri (Ibrahim, 2012). Ini mengindikasikan bahwa ada faktor lain yang perlu dipertimbangkan dalam desain PMBM sehingga proses dan hasilnya efektif. Salah satu faktor penting yang seringkali terabaikan dalam implementasi PMBM adalah emotional intelligence/kecerdasan emosional. Faktor kecerdasan emosional sudah saatnya mendapat perhatian dalam pembelajaran matematika.
Kajian ini bertujuan untuk mengeksplorasi secara mendalam PMBM dapat dioptimalkan melalui integrasi kecerdasan emosional. Tujuan utama dari kajian ini adalah untuk memahami peran kecerdasan emosional dalam meningkatkan efektivitas pada PMBM, serta memberikan gambaran pembelajaran matematika dapat diterapkan secara praktis dalam konteks pendidikan di era Revolusi Industri 5.0. Kajian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi signifikan bagi pengembangan pendidikan matematika di Indonesia, khususnya dalam mempersiapkan generasi muda yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga memiliki kecerdasan emosional yang tinggi, sehingga mampu dan percaya diri dalam menghadapi tantangan dan memanfaatkan peluang di era Revolusi Industri 5.0.
KAJIAN TEORI
Kecerdasan Emosional
Abraham Maslow, Eysenck dan Jung di tahun 1923, Carl Rogers di tahun 1951, Perkin di tahun 1974, Atkinson di tahun 1979, Gardner di tahun 1984, MacLean di tahun 1990, McGaugh di tahun 1998 dan Goleman di tahun 1995 (Jensen, 2008; Suharnan, 2015) adalah tokoh-tokoh yang banyak menyumbang dalam perkembangan teori kecerdasan emosional. Selain mereka, tokoh lainnya yang menyumbangkan banyak gagasan tentang kecerdasan emosional adalah Mayer, Salovey dan Caruso melalui sejumlah publikasinya di jurnal internasional sejak tahun 1980-an hingga tahun 2000-an (Alaei et al., 2017). Tokoh-tokoh tersebut mengemukakan banyak hal penting tentang emosi, meskipun di antara mereka ada yang menggunakan istilah dan pendekatan yang berlainan dalam pengkajiannya.
Kecerdasan emosional ini semakin banyak diteliti dan dikaji oleh banyak ahli. Hasilnya menunjukkan bahwa kecerdasan emosional semakin memiliki peranan yang kuat dalam kehidupan seseorang (Fiori & Vesely-Maillefer, 2019; Goleman, 2011, 2016, 2018; Kant, 2019; Labola, 2018). Pengaruhnya yang kuat tersebut tidak terkecuali di dunia pendidikan dan dunia kerja (Nightingale et al., 2018; Yusof, 2014). Oleh karena itu, kecerdasan emosional harus dilibatkan dengan porsi yang cukup dalam dunia pendidikan dan dunia kerja.
Istilah kecerdasan emosional (emotional intelligence), pertama kali dipublikasikan di jurnal ilmiah level internasional pada tahun 1990 oleh psikolog Peter Salovey dari Yale University dan John D. Mayer dari University of New Hampshire dalam kajian yang menerangkan kualitas-kualitas emosional yang tampaknya penting bagi keberhasilan seseorang (Santrock, 2017). Kemudian, emotional intelligence (selanjutnya disingkat EI) ini dipopulerkan oleh Daniel Goleman melalui bukunya yang best seller berjudul Emotional Intelligence dengan cetakan pertamanya di tahun 1995 hingga cetakan revisi di tahun 2016.
Kecerdasan emosional sebenarnya bukan konsep baru dalam dunia psikologi. Jauh sebelum Salovey, Mayer dan Goleman, ada sejumlah nama seperti: (1) E. L. Thorndike di tahun 1920 yang menyampaikan tentang social intelligence; (2) L. L. Thurston di tahun 1928 mengkaji tentang multiple intelligences khususnya mengenai the nature of intelligence; (3) Robert Leeper di tahun 1948 yang mendalami tentang emosi sebagai sumber informasi; (4) Reuven Bar-On di tahun 1983 membuat karya disertasinya tentang emotional intelligence; dan (5) Howard Gardner di tahun 1984 mempublikasikan hasil studinya tentang multiple intelligences (Salim et al., 2018; Shapiro, 1998). Ini menunjukkan bahwa kecerdasan emosional ini masih tetap menjadi isu yang diminati oleh para ahli di bidang psikologi, bahkan bidang lainnya.
Kecerdasan emosional merupakan serangkaian kemampuan pribadi, emosi dan sosial yang memengaruhi kemampuan seseorang untuk berhasil dalam mengatasi tuntutan dan tekanan lingkungan (Goleman, 2011, 2016; Mayer et al., 1999, 2004; Mayer & Salovey, 1993; Petrides et al., 2011). Pengertian kecerdasan emosional ini merupakan sebuah model pelopor tentang kecerdasan emosional yang diajukan oleh Bar-On pada tahun 1992, seorang ahli psikologi Israel (Mayer et al., 2004). Pengertian yang disampaikan oleh ahli lain hadir setelah konsep kecerdasan emosional yang disampaikan Bar-on dalam disertasinya.
Kecerdasan emosional dalam konsep yang dikemukakan Gardner adalah kecerdasan pribadi yang terdiri dari kecerdasan antar pribadi (interpersonal) dan kecerdasan intrapribadi (intrapersonal) (Fiori & Vesely-Maillefer, 2019; Goleman, 2016; Mayer et al., 1999; Salovey & Mayer, 1990; Santrock, 2017). Gardner (Santrock, 2017) mendetailkan tentang kecerdasan antar pribadi (interpersonal) yaitu kemampuan untuk memahami orang lain, kemampuan memotivasi diri sendiri, cara bekerja bahu membahu dengan kecerdasan. Gardner (Santrock, 2017) menjelaskan juga bahwa kecerdasan intrapribadi (intrapersonal) adalah kemampuan yang korelatif, tetapi terarah ke dalam diri, kemampuan membentuk suatu model diri sendiri yang teliti dan mengacu pada diri serta kemampuan untuk menggunakan modal tadi sebagai alat untuk menempuh kehidupan secara efektif. Gardner (Goleman, 2016) menyatakan dalam rumusan lain bahwa inti kecerdasan antar pribadi itu meliputi kemampuan untuk membedakan dan menanggapi dengan tepat suasana hati, temperamen, motivasi dan hasrat orang lain. Ini dapat dimaknai bahwa kecerdasan antar pribadi ini merupakan kunci menuju pengetahuan diri, akses menuju perasaan-perasaan diri seseorang dan kemampuan untuk membedakan perasaan-perasaan tersebut serta memanfaatkannya untuk menuntun tingkah laku.
Berdasarkan kecerdasan yang dinyatakan oleh Gardner dan Salovey (Fiori & Vesely-Maillefer, 2019; Goleman, 2016) menyimpulkan bahwa kecerdasan interpersonal dan kecerdasan intrapersonal sebagai dasar untuk menguraikan kecerdasan emosional pada diri seseorang. Goleman mengadaptasi pendapat dari Mayer dan Salovey di tahun 1990, mendefinisikan kecerdasan emosional sebagai kemampuan seseorang mengatur kehidupan emosinya dengan intelegensi; menjaga keselarasan emosi dan pengungkapannya melalui keterampilan kesadaran diri, pengendalian diri, motivasi diri, empati dan keterampilan sosial (Goleman, 2016). Jadi, disimpulkan bahwa kecerdasan emosional adalah kemampuan individu untuk mengenali emosi diri, mengelola emosi diri, memotivasi diri sendiri, mengenali emosi orang lain, dan membina hubungan.
Pembelajaran Matematika Berbasis Masalah
Kemampuan pemecahan masalah matematis merupakan kemampuan yang penting untuk dikuasai oleh siswa sebagai dampak dari belajar matematika (Rocha et al., 2023; Uegatani et al., 2023; Vishnyakov et al., 2023), bahkan selama beberapa dekade terakhir ini (Chusinkunawut et al., 2018; Hoogland et al., 2018; Losada & Taylor, 2022). Kemampuan ini tidak hanya sebagai jantungnya matematika dalam membantu siswa untuk menyelesaikan masalah matematika (Cavanagh & McMaster, 2017; Favier & Dorier, 2024), tetapi kemampuan ini juga penting untuk menghadapi tantangan di luar kelas, baik dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam karier siswa di masa depan (Chinofunga et al., 2024; Grootenboer et al., 2023). Banyak pekerjaan di berbagai bidang memerlukan kemampuan pemecahan masalah matematis untuk menemukan solusi inovatif, efektif, dan efisien (Cavanagh & McMaster, 2017; Getenet, 2024; Goos et al., 2023; McGunagle & Zizka, 2020). Kemampuan pemecahan masalah matematis juga sangat penting dalam mengembangkan pengetahuan baru (English, 2023; Losada & Taylor, 2022), memecahkan masalah teknis serta membantu dalam pengambilan keputusan (Goos et al., 2023).
Pencapaian kemampuan pemecahan masalah matematis siswa yang tinggi dari dampak belajar matematika berimplikasi pada pembentukan sumber daya manusia yang berkualitas (Chusinkunawut et al., 2018). Pencapaian tersebut menjadi tujuan utama yang terus-menerus diupayakan di berbagai negara, baik negara berkembang maupun negara maju (Klang et al., 2021; Russo et al., 2020). Upaya-upaya untuk meningkatkan capaian kemampuan pemecahan masalah matematis siswa telah banyak dilakukan (Nicolas & Emata, 2018). Upaya tersebut misalnya melalui penerapan strategi, metode, atau model pembelajaran (Lee, 2024; Smith, 2023; Uegatani et al., 2023) serta penggunaan media, buku, atau bahan ajar yang inovatif (Vicente et al., 2022). Namun demikian hasil survei-survei internasional terbaru terkait kemampuan dalam matematika menunjukkan bahwa capaian kemampuan pemecahan masalah matematis siswa dari sebagian besar negara belum sesuai harapan atau target (Mullis et al., 2016, 2020; OECD, 2016, 2019, 2023; Vicente et al., 2022). Hal ini memberikan arahan bahwa pemecahan masalah matematis sudah semestinya merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari proses pembelajaran matematika, sehingga seharusnya tidak dijadikan sebagai bagian yang terpisah dari pembelajaran matematika.
Siswa memecahkan masalah bukan untuk menerapkan matematika, tetapi untuk belajar matematika yang baru. Saat siswa melibatkan diri dalam tugas-tugas berbasis-masalah yang dipilih dengan baik dan memfokuskan pada metode-metode penyelesaiannya, maka akan memberikan hasil berupa pemahaman baru tentang matematika yang disisipkan di dalam masalah tersebut. Ketika siswa sedang aktif mencari hubungan, menganalisis pola, menemukan berbagai metode yang sesuai atau tidak sesuai, menguji hasil, atau menilai dan mengkritisi pemikiran temannya, maka mereka secara optimal sedang melibatkan diri dalam berpikir reflektif tentang ide-ide yang terkait.
Pembelajaran berbasis-masalah (PBM) adalah suatu pembelajaran yang diawali dengan menghadapkan siswa pada suatu masalah (Savery & Duffy, 1996; Tan, 2004; Weissinger, 2004), lahir pada tahun 1960-an di Fakultas Kedokteran Universitas McMaster Kanada (Lynda & Megan, 2002). Dalam konteks pembelajaran matematika, Schoenfeld dan Boaler (Roh, 2003) menyatakan bahwa PBM adalah suatu pembelajaran matematika di dalam kelas dengan aktivitas memecahkan masalah serta memberikan peluang lebih banyak pada siswa untuk berpikir kritis, kreatif, dan berkomunikasi matematis dengan teman sebayanya. Dengan berbekal pengetahuan, kemampuan, dan pengalaman yang dimilikinya, dalam PBM siswa dituntut untuk menyelesaikan masalah yang sengaja diberikan oleh guru.
Merujuk pada pendapat Tsuruda (Walle et al., 2020) bahwa ada tiga fase dalam PMBM, yaitu sebagai berikut.
1. Fase sebelum pembelajaran, ada tiga agenda yang dilakukan, yaitu: (1) memastikan bahwa para siswa memahami masalah sehingga guru tidak perlu menjelaskan lagi ke setiap siswa; (2) menjelaskan hal-hal yang diharapkan dari siswa sebelum mereka menyelesaikan masalah; dan (3) menyiapkan mental siswa untuk menyelesaikan masalah dan memancing pengetahuan yang telah siswa miliki, sehingga pengetahuan tersebut berguna dalam memecahkan masalah.
2. Fase selama pembelajaran, ada empat agenda yang dilakukan guru, yaitu: (1) memberikan kesempatan pada siswa untuk bekerja tanpa petunjuk dari guru atau dengan kata lain guru menghindari bantuan di awal kerja siswa; (2) menggunakan waktu ini untuk mendeteksi perbedaan-perbedaan ide atau gagasan yang dimiliki siswa untuk memecahkan masalah; (3) memberikan bantuan pada saat-saat tertentu yang sesuai, tetapi hanya berdasarkan pada ide siswa dan cara siswa berpikir, namun dengan tidak memberitahukan metode pemecahannya; dan (4) memberikan kegiatan yang bermanfaat atau soal pengayaan bagi siswa yang dapat memecahkan masalah lebih awal.
3. Fase sesudah pembelajaran, agendanya, yaitu: (1) melibatkan siswa dalam diskusi yang produktif dan mengusahakan mereka bekerja sama sebagai sebuah komunitas belajar; (2) menggunakan kesempatan ini untuk mengetahui cara siswa berpikir dan cara mereka mendekati permasalahan; dan (3) membuat ringkasan ide-ide pokok dan mengidentifikasi masalah-masalah untuk kegiatan selanjutnya.
PEMBAHASAN
Kecerdasan Emosional pada Pembelajaran Matematika Berbasis-Masalah
Pembelajaran yang holistik sudah seharusnya tidak hanya memperhatikan aspek kognitif, namun juga aspek lainnya seperti kecerdasan emosional. Pada PMBM, siswa diberikan peluang lebih banyak untuk berpikir kritis, kreatif, dan berkomunikasi matematis dengan teman sebayanya. Dengan bekal pengetahuan, kemampuan, dan pengalaman yang dimilikinya, siswa dituntut untuk menyelesaikan masalah yang diberikan oleh guru. Namun demikian, kegiatan memecahkan masalah tersebut tidak mudah untuk dapat berjalan lancar, jika guru maupun siswa tidak memperhatikan dan mempertimbangkan aspek emosional. Pertimbangan atas kecerdasan emosional membuat guru tidak mudah melontarkan kalimat yang menyinggung siswa, terlalu menekan siswa, menunjukkan sikap yang kesal, dan tidak peduli terhadap kesulitan siswa karena hal itu tampaknya memberikan efek terhadap siswa dalam memecahkan masalah dengan baik. Perilaku guru yang mengesampingkan kecerdasan emosional dapat membuat suasana yang tidak mendukung kegiatan memecahkan masalah dan tidak membantu perkembangan kecerdasan emosional siswa (Shapiro, 1998).
Setiap guru yang menggunakan PMBM sepantasnya menyadari bahwa pada setiap fase pembelajaran perlu memperhatikan kecerdasan emosional dalam setiap kegiatannya. Ketika memberikan masalah matematis di fase pertama PMBM, guru berusaha untuk selalu sadar bahwa pandangan siswa terhadap masalah mungkin berbeda dengan pandangan guru. Untuk itu, guru harus mampu menyelami emosi siswa dalam memahami masalah yang diberikan. Selain itu, guru berusaha mengarahkan atau menyadarkan siswa untuk mengenali dan mengendalikan emosinya dalam menghadapi masalah matematis yang diberikan sehingga siswa dapat berkonsentrasi dalam berpikir dengan lebih baik untuk memahami masalah (Goleman, 2016; Ibrahim, 2011; Shapiro, 1998). Pada fase kedua, apabila siswa sudah siap untuk melakukan kegiatan memecahkan masalah matematis maka guru memotivasi mereka untuk memulai kegiatannya. Kemudian, guru berusaha mengkondisikan siswa untuk memanfaatkan pengetahuan awal dan keyakinan mereka sendiri, dan guru menghindari campur tangan terlalu banyak. Selain itu, guru berusaha menahan diri untuk memberikan bantuan, sehingga mereka tetap berjuang menyelesaikan masalah matematis yang diberikan. Perlu diperhatikan bahwa guru berusaha tidak menilai terlalu rendah atau menyalahkan terhadap ide atau strategi siswa dalam memecahkan masalah. Bahkan, Boaler & Humphies (Walle et al., 2020) menyatakan bahwa kesalahan yang dibuat oleh siswa akan menguntungkan dan memperkaya dalam diskusi, berawal dari respon siswa itulah guru dapat mengarahkannya pada pengetahuan yang diharapkan dapat dikonstruksi siswa. Dengan demikian, usaha guru tersebut menurut Shapiro (1998) dapat mengakibatkan mereka menjadi percaya diri dalam memecahkan masalah serta membuat mereka terlepas dari cemas yang berlebihan.
Tidak menutup kemungkinan ketika siswa sudah memahami masalah yang diberikan, kemudian mereka tidak segera merencanakan dan mempersiapkan untuk kegiatan selanjutnya. Guru perlu memotivasi dan memandu siswa untuk merencanakan, mempersiapkan, melaksanakan kegiatan yang harus siswa lakukan untuk diskusi kelas pada fase ketiga, karena motivasi ini mempunyai hubungan yang tinggi dengan stabilitas emosi siswa (Martin, 2006; Sunandar, 2008). Guru juga perlu memandu siswa untuk menuliskan jawaban yang disertai penjelasan secukupnya sehingga siswa siap untuk berdiskusi dan optimal pada fase ketiga.
Kemungkinan siswa tidak siap menghadapi masalah yang diberikan guru akan selalu ada, dan biasanya siswa tersebut menjadi cemas, bersikap terlalu tegang untuk konsentrasi, tidak tenang, dan muncul emosi negatif lainnya (Goleman, 2016). Pengelolaan emosi menjadi penting pada bagian ini, karena emosi siswa yang terkelola dengan baik maka siswa tidak akan mengalami banyak masalah dalam berinteraksi lingkungannya (Sunandar, 2008; Willis, 2006). Untuk itu, guru perlu memberikan stimulus untuk memanggil kembali pengetahuan awal siswa yang diperlukan sehingga mereka merasa punya bekal untuk menyelesaikan masalah tersebut dan secara simultan emosinya terkelola dengan baik. Jadi, guru harus bertindak seperti sistem pendukung, yaitu menyediakan bantuan seperlunya sehingga emosi siswa stabil (Shapiro, 1998).
Misalnya, guru mengawali pembelajarannya dengan memberikan masalah matematis yang berkaitan dengan konsep kombinasi dan permutasi. Saat siswa asik menyelesaikan masalah ini tiba-tiba ada seorang siswa yang bertanya, kemudian direspon oleh gurunya dengan tidak menyenangkan atau tidak aman serta terdengar dan terlihat oleh siswa lainnya. Dalam kondisi ini, seluruh individu merasa ketakutan dan merasa tidak nyaman dan tidak aman sebagai ekspresi dari terancamnya bagian otak mereka. Secara otomatis bagian otak tersebut memberi sinyal kepada kedua lapisan otak yang lain untuk siap siaga. Pada otak mamalia (limbic system) terjadi rasa takut tidak bergairah untuk belajar, tidak berminat, dan tidak termotivasi untuk terus duduk di tempat. Dalam waktu yang sama otak neokorteks tidak dapat berfungsi untuk berpikir dengan baik, sehingga tugas berupa pemecahan masalah matematis tersebut tidak mungkin dapat diselesaikan pada saat itu dengan baik. Hal ini sejalan dengan pernyataan Kato dan Mc Ewen (Willis, 2006) bahwa apabila seseorang pada saat merasa tidak aman maka akan melepaskan zat kimia Trimethylin ke dalam otak yang akan mengganggu perkembangan sel otak atau kerja otak. Namun sebaliknya, ketika guru dapat mengkondisikan situasi yang aman dan menyenangkan maka akan memicu lapisan otak neokorteks untuk berpikir jernih, bernalar dengan baik, dapat memecahkan masalah, menemukan ide-ide baru, serta dapat mengkomunikasikannya dengan baik. Ikatan dan kerja sama antara emosional dan pikiran ini menimbulkan adanya saling mengisi antara keduanya. Hal ini memberi kekuatan yang luar biasa pada wilayah emosi dalam mempengaruhi berfungsinya pusat-pusat berpikir matematis.
Pada fase kedua, guru biasanya berkeliling memantau siswa yang sedang bekerja. Proses ini merupakan satu kesempatan bagi guru untuk mendengarkan siswa, memahami pemikiran, perasaan, dan perilaku siswa, menempatkan diri dalam situasi siswa, serta melihat sesuatu dari sudut pandang mereka. Selain itu, guru berusaha menciptakan keterbukaan dan kehangatan. Dalam suasana seperti ini, siswa akan merasa aman untuk mengingat dan menggunakan pengetahuan sebelumnya, serta dapat mengembangkan dan mengemukakan ide-idenya (DePorter et al., 2000).
Diskusi di antara siswa merupakan kegiatan yang ada pada fase kedua. Pada kegiatan ini bagi siswa maupun guru memerlukan kemampuan mengenali emosi siswa lain dan kemampuan membina hubungan dengan baik dan efektif dengan siswa lain. Hubungan baik sesama teman untuk bisa memahami kondisi dan keberadaan teman sesuai kenyataannya adalah modal yang besar bagi siswa untuk sukses dalam berkolaborasi menyelesaikan masalah yang dihadapi (Sunandar, 2008). Untuk itu, guru perlu memfasilitasi jalannya diskusi secara hati-hati sehingga tidak ada siswa yang merasa tertekan, dianggap bodoh, dan hal lain yang membuat siswa menjadi tidak berempati pada siswa lain serta memperburuk hubungan antar siswa.
Pada akhir fase, siswa bekerja dalam komunitas belajar. Pada fase inilah banyak hal yang dapat dipelajari siswa maupun guru. Siswa dapat bertukar ide atau pendapat dengan siswa lainnya dalam proses menyelesaikan masalah, sehingga memperoleh pemahaman baru tentang matematika. Selain itu, siswa mencari hubungan, menganalisis pola, menemukan metode yang sesuai atau tidak sesuai, menguji hasil, menilai, mengkritisi pemikiran temannya, dan mengkreasi solusi dari masalah matematis. Perasaan nyaman untuk mengambil resiko, mengungkapkan ide, pendapat, dan alasan matematis merupakan hal yang utama dalam fase ini. Keterlibatan kecerdasan emosional guru maupun siswa pada proses pembelajaran semacam ini berpeluang besar akan memperlancar aktivitas pembelajaran dan akan mengurangi stres akademik di kelas. Menurut Kato dan McEwen (Willis, 2006), apabila stres terjadi di kelas secara berlebihan akan menyebabkan gangguan pada memori jangka pendek dan jangka panjang serta menurunnya kualitas kinerja siswa.
Pada fase akhir, guru mengkondisikan suasana siswa tidak merasa terlalu dinilai oleh orang lain. Pemberian nilai terhadap siswa dengan berlebihan dapat dirasakan sebagai ancaman yang menimbulkan kebutuhan akan pertahanan diri (Ali & Asrori, 2008). Walaupun kenyataannya, pemberian penilaian tidak dapat dihindari dalam situasi sekolah, tetapi sebaiknya diupayakan agar penilaian tidak mencemaskan siswa secara berlebihan, melainkan menjadi sarana yang dapat mengembangkan sikap kompetitif secara sehat. Dengan demikian, saat siswa mengungkapkan secara individual dan bersama-sama dari ide-ide yang telah mereka kerjakan, guru harus berhati-hati dalam merespon ide atau solusi yang disampaikan siswa. Selain itu, hindari paksaan pada siswa untuk menggunakan suatu ide atau solusi serupa di masa yang akan datang. Hal ini akan membuat siswa lebih nyaman dalam mengungkapkan ide atau solusi di masa yang akan datang, sehingga keyakinan diri, keinginan melibatkan diri, keinginan untuk berhasil pada kegiatan berikutnya akan bertambah baik (Goleman, 2016).
Menurut Goleman (2016), Sunandar (2008), dan Shapiro (1998), apabila unsur-unsur yang berkaitan dengan kecerdasan emosional ini diintegrasikan dengan baik selama proses pembelajaran maka membantu siswa dalam mempersiapkan menghadapi masalah belajar serta meningkatkan hasil belajar siswa. Dengan demikian, integrasi kecerdasan emosional pada PMBM diduga akan memacu sikap terbuka siswa dalam bertukar pikiran dan meningkatkan minat terhadap tantangan dari suatu masalah matematis serta diduga siswa tidak mudah putus asa dalam proses memecahkan masalah. Selain itu, integrasi kecerdasan emosional pada PMBM sebenarnya secara langsung telah membina kecerdasan emosional atau bahkan mengembangkan kecerdasan emosional dari siswa itu sendiri (Ali & Asrori, 2008; DePorter et al., 2000; Goleman, 2016; Jensen, 2008; Shapiro, 1998).
Apabila mencermati fase demi fase pada PMBM yang mengintegrasikan kecerdasan emosional maka tidak terbantahkan bahwa guru merupakan faktor yang berpengaruh besar terhadap proses dan hasil pembelajaran matematika siswa di kelas. Guru dituntut memiliki kemampuan-kemampuan yang akomodatif untuk mendukung atau memandu kegiatan-kegiatan yang dilakukan siswa mulai dari fase pertama pembelajaran hingga fase akhir pembelajaran. Keperluan untuk memiliki kecerdasan emosional yang tinggi dari seorang guru menjadi hal yang utama. Hal ini berdasarkan pada penelitian-penelitian para ahli kecerdasan emosional, yang menyatakan bahwa untuk mengembangkan atau mengintegrasikan kecerdasan emosional dalam pola asuh anak harus diawali dari keteladan kecerdasan emosional yang baik dari orang tuanya (Shapiro, 1998; Syah, 2009).
Pandangan lama tentang otak adalah pikiran, tubuh, dan perasaan merupakan entitas-entitas yang terpisah, tetapi ternyata sebenarnya tak ada pemisahan antara fungsi-fungsi ini. Emosi membantu untuk memfokuskan pikiran. Kerja sama yang harmonis antara kecerdasan emosional dan kemampuan berpikir matematis merupakan hal yang dianggap perlu dalam segala hal, termasuk belajar matematika. Dalam kajian ilmu biopsikologi Neokorteks (salah satu lapisan otak) dapat berpikir dengan cemerlang, bilamana ditunjang oleh suasana emosional yang menyenangkan, dan sebaliknya (Jensen, 2008; Martin, 2006; Willis, 2006). Jadi, antara emosi dan pikiran bukan dua hal yang saling bertentangan melainkan keduanya saling mengisi dalam pengambilan suatu keputusan untuk merespon sesuatu (Hakim, 2018; Jensen, 2008; Martin, 2006; Nauli Thaib, 2013; Willis, 2006).
PENUTUP
Integrasi kecerdasan emosional ini berlangsung sepanjang proses pembelajaran matematika berbasis masalah, mulai dari fase awal hingga akhir pembelajaran. Integrasi kecerdasan emosional dalam pembelajaran matematika berbasis masalah menjadi sangat penting untuk mempersiapkan siswa menghadapi berbagai masalah matematis. Pembelajaran ini tidak hanya berfokus pada kemampuan berpikir matematis, tetapi juga pada pengembangan kecerdasan emosional siswa yang dapat mendukung proses belajar mereka secara menyeluruh. Dalam pembelajaran matematika berbasis masalah, kecerdasan emosional berfungsi sebagai jembatan yang menghubungkan kognisi dan emosi siswa, sehingga menciptakan lingkungan belajar yang lebih holistik. Dengan kecerdasan emosional, siswa dapat mengatasi frustasi saat menghadapi kesulitan matematis, meningkatkan motivasi dan ketekunan dalam menyelesaikan tugas, membangun rasa percaya diri terhadap kemampuan mereka, membangun empati dan menjalin kerjasama. Semua aspek ini penting untuk mendukung keberhasilan akademis siswa.
Peran guru dalam integrasi kecerdasan emosional sangatlah krusial. Guru yang memiliki kecerdasan emosional tinggi mampu menciptakan lingkungan belajar yang positif, di mana siswa merasa nyaman dan termotivasi untuk belajar. Selain itu, guru yang mampu mengelola emosi mereka sendiri dan memahami emosi siswa cenderung lebih efektif dalam mendukung proses pembelajaran. Dukungan emosional yang diberikan oleh guru kepada siswa juga membantu mereka mengatasi stres akademik dan meningkatkan kecerdasan emosional secara keseluruhan. Dengan demikian, kecerdasan emosional yang tinggi dari seorang guru menjadi syarat utama bagi berjalannya pembelajaran matematika berbasis masalah yang mengintegrasikan kecerdasan emosional.
Secara keseluruhan, integrasi kecerdasan emosional dalam pembelajaran matematika berbasis masalah memberikan peluang besar untuk mencapai hasil pembelajaran secara optimal. Pendekatan ini tidak hanya membantu siswa memahami konsep matematika tetapi juga membangun fondasi emosional yang kuat untuk menghadapi berbagai tantangan akademis dan kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, penting bagi pendidik untuk terus mengembangkan strategi yang menggabungkan aspek kognitif dan emosional dalam proses pembelajaran agar tercipta pengalaman belajar yang lebih bermakna bagi siswa.
UCAPAN TERIMA KASIH
Perkenankan saya menghaturkan banyak terima kasih kepada berbagai pihak yang telah berjasa, membantu, dan berkontribusi dalam episode hidup saya.
1. Kementerian Agama Republik Indonesia dan Kementerian Pendidikan Tinggi Sains dan Teknologi telah mendukung dan memfasilitasi semua proses pengusulan Guru Besar.
2. Bapak Rektor UIN Sunan Kalijaga, Prof. Noorhaidi, S.Ag., M.A., M.Phil., Ph.D., Wakil Rektor 1, 2, dan 3 beserta jajarannya telah memberikan dukungan penuh dan menfasilitasi seluruh proses pengajuan hingga pengukuhan Guru Besar.
3. Ketua Senat Akademik Prof. Dr. H. Kamsi, M.A., Sekretaris Senat Prof. Dr. H. Maragustam, M.A. beserta seluruh anggota Senat UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta telah menyetujui, mendukung, dan mengusulkan saya untuk menduduki Jabatan Guru Besar dengan Ranting Ilmu/Kepakaran Pembelajaran Matematika.
4. Ketua, Sekretaris, dan Anggota Tim Integritas Akademik telah mendukung proses pengusulan Guru Besar.
5. Para Pimpinan Fakultas, Para Ketua dan Sekretaris Program Studi, dosen, dan tenaga kependidikan di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta terutama Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, telah mengantarkan karier saya hingga pengukuhan guru besar. Terima kasih secara khusus kepada Prof. Dr. Hj. Sri Sumarni, M.Pd., telah memotivasi untuk mengajukan guru besar dan Prof. Dr. Sigit Purnama, S.Pd.I., M.Pd. telah menginspirasi dan mendukung saat proses pengajuan guru besar.
6. Para pimpinan dan kolega di Fakultas Sains dan Teknologi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta yang telah memberi kesempatan untuk mengawali karier saya sejak CPNS hingga Lektor, Gol. IIId sejak tahun 2008 hingga Agustus 2020.
7. Kaprodi, Sekprodi, Dosen, Mahasiswa dan Alumni Prodi Pendidikan Matematika UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Terima kasih secara khusus kepada Bapak Dr. Mulin Nu’man, M.Pd., telah menjadi teman diskusi pendidikan matematika dan nilai-nilai universal kehidupan sosial-beragama.
8. Kolega di Asosiasi Dosen Matematika dan Pendidikan/Tadris Matematika (ADMAPETA) PTKI, Indonesian Mathematics Educators Society (I-MES), dan Indonesian Mathematical Society (IndoMS) telah mendukung dalam perluasan jaringan kerja di bidang pendidikan matematika. Terima kasih secara khusus kepada: Bapak Prof. Edy Tri Baskoro, M.Sc., Ph.D. telah menginspirasi, saat saya pertama kali menjadi anggota IndoMS di Tahun 2003 dan juga banyak menginspirasi saya ketika kuliah dengan beliau di S2 dan S3 Pendidikan Matematika UPI Bandung; Bapak Dr. Sri Adi Widodo, M.Pd., telah menyadarkan saya kembali ke dunia akademik ketika bersama-sama tugas di Simeulue, Aceh; dan Ibu Dr. Nina Fitriyati S.Si., M.Kom., telah setia menjadi sekretaris umum ADMAPETA.
9. Untuk semua guru saya di TK Aisyah Lantai Mas-Bandung 1985, SDN Cimuncang V, Bandung 1985-1991, SMPN 4 Bandung 1991-1994, SMUN 14 Bandung 1994-1997, dan semua dosen saya di S1 Pendidikan Matematika FKIP Uninus 1999-2003, S2 & S3 Pendidikan Matematika UPI Bandung 2004-2011, dan S1 Psikologi UST Yogyakarta 2017-2021. Ijinkan saya secara khusus mengucapkan terima kasih yang setinggi-tingginya kepada Bapak Prof. E.T. Ruseffendi, M.Sc., Ph.D. (Alm.) telah memberikan pencerahan dan bimbingan akademik kepada saya selama studi di S1, S2, dan S3.
10. Bapak dan Ibu Jama’ah Arrohmah telah mendukung penuh dalam pengembangan karier dan menginspirasi dalam sosial-beragama. Secara khusus saya sampaikan terima kasih kepada: Bapak Prof. Dr. K.H. Maksudin, M.Ag., dan Bapak Drs. K.H. Syamsuddin Asrofi, M.M., telah mendukung dan mendoakan secara khusus untuk kelancaran guru besar saya; serta Bapak Prof. Dr. Imam Machali, S.Pd.I., M.Pd., telah mengajak saya untuk bergabung di Jamaah Arrohmah.
11. Teman-teman seperjuangan CPNS UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta 2008 dan teman-teman saya di TK Aisyah Lantai Mas-Bandung 1985, SDN Cimuncang V, Bandung 1985-1991, SMPN 4 Bandung 1991-1994, SMUN 14 Bandung 1994-1997, dan S1 Pendidikan Matematika FKIP Uninus 1999-2003, S2 & S3 Pendidikan Matematika UPI Bandung 2004-2011, dan S1 Psikologi UST Yogyakarta 2017-2021, terimkasih atas kenangan-kenanganya. Secara khusus terima kasih kepada Bapak Dr. Achmad Mudrikah, M.Pd., telah menjadi teman diskusi dan nasehatnya dalam banyak hal di kehidupan ini.
12. Tim Akademik dan OKH PAU UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Bapak Khoirul Anwar, S.Ag., M.A., dan Ibu Ita Puspita, M.Si., dan kawan-kawan, telah mendukung dalam pemenuhan administratif dalam pengajuan guru besar. Secara khusus terima kasih kepada Mas Roger yang selalu siap membantu pemenuhan berkas administratif atau teknis dalam pengajuan guru besar.
Selanjutnya, perkenankan saya secara khusus menghaturkan terima kasih setinggi-tingginya dan istimewa kepada: Bapak dan Ibu saya yang tercinta, Bapak Dakis Padmawinata (Alm) dan Ibu E. Rohanih (Almh.) telah mencintai saya seutuhnya; Kakak saya, Kang H. Aa Tarsono, S.H., M.H., Teh Hj. Neneng Herlina (Almh.), dan Kang K.H. Asep Permana (Alm.) telah mendidik saya dan memotivasi saya untuk sekolah hingga S3; keluarga besar saya, istri (Yulinda, S.E.Par., M.M.) dan anak saya (Arsyafin Muhammad Zaidan dan Arsyifa Bunga Zilan) telah memberikan motivasi untuk terus berjuang dan berkarya dengan penuh tanggungjawab hingga saat ini; Kakak-kakak saya yang telah ikut membesarkan dan mendoakan saya; Bapak dan Ibu mertua saya, Bapak Sudirman Yahim dan Hawa Herlina (Almh.) telah merestui saya untuk menikahi anaknya yang paling besar dan mendukung perjuangan saya dari nol; dan Bapak Prof. Dr. Rully Charitas Indra Prahmana S.Si., M.Pd., telah membimbing saya dengan telaten dalam perjuangan promosi guru besar saya. Semoga Alloh SWT membalas semua kebaikannya dengan kebaikan yang berlipat ganda di dunia dan akhirat, aamiin.
Demikian yang bisa saya sampaikan dalam Pidato Pengukuhan Guru Besar ini. Terima kasih atas kehadiran dan doa restunya. Semoga Alloh SWT selalu memberikan kita rasa syukur dan kesabaran, aamiin.
Wallahul muwaffiq ila aqwamith thoriq.
Wassalamu’alaikum Warahmatullaahi Wabarakaatuh.
DAFTAR PUSTAKA
Alaei, S., Zabihi, R., Ahmadi, A., Doosti, A., & Saberi, S. (2017). Emotional intelligence, spiritual intelligence, self-esteem and self control of substance abuse. International Neuropsychiatric Disease Journal, 9(4), 1–8. https://doi.org/10.9734/INDJ/2017/33461
Ali, M., & Asrori, M. (2008). Psikologi remaja: Perkembangan peserta didik. Bumi Aksara.
Bertrams, A., Baumeister, R. F., & Englert, C. (2016). Higher self-control capacity predicts lower anxiety-impaired cognition during math examinations. Frontiers in Psychology, 7(3). https://doi.org/10.3389/fpsyg.2016.00485
Carayannis, E. G., Christodoulou, K., Christodoulou, P., Chatzichristofis, S. A., & Zinonos, Z. (2022). Known Unknowns in an Era of Technological and Viral Disruptions—Implications for Theory, Policy, and Practice. Journal of the Knowledge Economy, 13(1), 587–610. https://doi.org/10.1007/s13132-020-00719-0
Cavanagh, M., & McMaster, H. (2017). A Specialist Professional Experience Learning Community for Primary Pre-Service Teachers Focussed on Mathematical Problem Solving. Mathematics Teacher Education and Development, 19(1), 47–65.
Chinofunga, M. D., Chigeza, P., & Taylor, S. (2024). How can procedural flowcharts support the development of mathematics problem-solving skills? Mathematics Education Research Journal, 1–39. https://doi.org/10.1007/s13394-024-00483-3
Chusinkunawut, K., Nugultham, K., Wannagatesiri, T., & Fakcharoenphol, W. (2018). Problem solving ability assessment based on design for secondary school students. International Journal of Innovation in Science and Mathematics Education, 26(3), 1–20.
DePorter, B., Reardon, M., & Singer-Nourie, S. (2000). Quantum teaching. Allyn and Bacon.
Doz, E., Cuder, A., Pellizzoni, S., Granello, F., & Passolunghi, M. C. (2024). The interplay between ego-resiliency, math anxiety and working memory in math achievement. Psychological Research, 2401–2415. https://doi.org/10.1007/s00426-024-01995-0
English, L. D. (2023). Ways of thinking in STEM-based problem solving. ZDM - Mathematics Education, 55(7), 1219–1230. https://doi.org/10.1007/s11858-023-01474-7
Favier, S., & Dorier, J. L. (2024). Heuristics and semantic spaces for the analysis of students’ work in mathematical problem solving. Educational Studies in Mathematics. https://doi.org/10.1007/s10649-023-10297-y
Fiori, M., & Vesely-Maillefer, A. K. (2019). Correction to: Emotional intelligence as an ability: Theory, challenges, and new directions (pp. C1–C1). https://doi.org/10.1007/978-3-319-90633-1_17
Getenet, S. (2024). Pre-service teachers and ChatGPT in multistrategy problem-solving: Implications for mathematics teaching in primary schools. International Electronic Journal of Mathematics Education, 19(1), 1–12. https://doi.org/10.29333/iejme/14141
Goleman, D. (2011). The brain and emotional intelligence: New insights. More Than Sound.
Goleman, D. (2016). Emotional Intelligence. Bantam Books.
Goleman, D. (2018). Working with emotional intelligence. Bantam Books.
Goos, M., Carreira, S., & Namukasa, I. K. (2023). Mathematics and interdisciplinary STEM education: Recent developments and future directions. ZDM - Mathematics Education, 55(7), 1199–1217. https://doi.org/10.1007/s11858-023-01533-z
Grootenboer, P., Edwards-Groves, C., & Kemmis, S. (2023). A curriculum of mathematical practices. Pedagogy, Culture and Society, 31(3), 607–625. https://doi.org/10.1080/14681366.2021.1937678
Hakim, N. (2018). Kecerdasan intelektual, emosional, dan spiritual dalam perspektif bidayatul hidayah. Indonesian Journal of Islamic Education Studies (IJIES), 1(2), 218–233. https://doi.org/10.33367/ijies.v1i2.639
Hoogland, K., Pepin, B., de Koning, J., Bakker, A., & Gravemeijer, K. (2018). Word problems versus image-rich problems: an analysis of effects of task characteristics on students’ performance on contextual mathematics problems. Research in Mathematics Education, 20(1), 37–52. https://doi.org/10.1080/14794802.2017.1413414
Ibrahim. (2011). Peningkatan Kemampuan Komunikasi, Penalaran, dan Pemecahan Masalah Matematis serta Kecerdasan Emosional melalui Pembelajaran Berbasis-Masalah pada Siswa SMA [Universitas Pendidikan Indonesia]. https://repository.upi.edu/id/eprint/8389
Ibrahim. (2012). Kebiasaan Belajar Matematika Siswa dan Pembelajaran Matematika Berbasis Masalah. Seminar Nasional Matematika Dan Pendidikan Matemat, 3(November), 1–8. https://eprints.uny.ac.id/id/eprint/8084
Ibrahim. (2020). Desain Penyajian Materi Persamaan Garis Lurus di SMP Berorientasi Keterampilan Berpikir Tingkat Tinggi. Media Pendidikan Matematika, 8(2), 1–15. https://doi.org/10.33394/mpm.v8i2.3145
Ibrahim. (2021). Keterampilan berpikir matematis tingkat tinggi siswa madrasah aliyah ditinjau dari gender dan status sekolah. AKSIOMA: Jurnal Program Studi Pendidikan Matematika, 10(4), 2373–2386. https://doi.org/10.24127/ajpm.v10i4.4171
Ibrahim, I., Sujadi, I., Maarif, S., & Widodo, S. A. (2021). Increasing mathematical critical thinking skills using advocacy learning with mathematical problem solving. Jurnal Didaktik Matematika, 8(1), 1–14. https://doi.org/10.24815/jdm.v8i1.19200
Ibrahim, I., & Widodo, S. A. (2020). Advocacy approach with open-ended problems to mathematical creative thinking ability. Infinity Journal, 9(1), 93. https://doi.org/10.22460/infinity.v9i1.p93-102
Ibrahim, Khalil, I. A., & Prahmana, R. C. I. (2024). Mathematics learning orientation: Mathematical creative thinking ability or creative disposition ? 15(1), 253–276. https://doi.org/https://doi.org/10.22342/jme.v15i1.pp253-276
Jensen, E. (2008). Brain-based learning: The new paradigm of teaching. Corwin Press.
Kant, R. (2019). Emotional intelligence: A study on university students. Journal of Education and Learning (EduLearn), 13(4), 441–446. https://doi.org/10.11591/edulearn.v13i4.13592
Klang, N., Karlsson, N., Kilborn, W., Eriksson, P., & Karlberg, M. (2021). Mathematical problem-solving through cooperative learning—the importance of peer acceptance and friendships. Frontiers in Education, 6(August), 1–10. https://doi.org/10.3389/feduc.2021.710296
Labola, Y. A. (2018). Perpaduan kecerdasan intelektual (IQ), emosional (EQ) dan spiritual (SQ) kunci sukses bagi remaja. Share: Social Work Journal, 8(1), 39. https://doi.org/10.24198/share.v8i1.16168
Lee, Y. J. (2024). The effects of functional moves in teacher questioning on students’ contextualization of mathematical word problem solving. Journal of Mathematics Teacher Education. https://doi.org/10.1007/s10857-023-09616-0
Li, D., Liew, J., Raymond, D., & Hammond, T. (2023). Math anxiety and math motivation in online learning during stress: The role of fearful and avoidance temperament and implications for STEM education. PLoS ONE, 18(12), 1–12. https://doi.org/10.1371/journal.pone.0292844
Losada, M. F. de, & Taylor, P. J. (2022). Perspectives on mathematics competitions and their relationship with mathematics education. ZDM - Mathematics Education, 54(5), 941–959. https://doi.org/10.1007/s11858-022-01404-z
Lynda, W. K. N., & Megan, K. Y. C. (2002). Authentic problem-based learning: Rewriting business education. Pearson Education.
Martin, A. D. (2006). Smart emotion: Membangun kecerdasan emosi. Gramedia Pustaka Utama.
Mayer, J. D., Caruso, D. R., & Salovey, P. (1999). Emotional intelligence meets traditional standards for an intelligence. Intelligence, 27(4), 267–298. https://doi.org/10.1016/S0160-2896(99)00016-1
Mayer, J. D., & Salovey, P. (1993). The intelligence of emotional intelligence. Intelligence, 17(4), 433–442. https://doi.org/10.1016/0160-2896(93)90010-3
Mayer, J. D., Salovey, P., & Caruso, D. R. (2004). Emotional Intelligence: Theory , Findings , and Implications. 15(3), 197–215.
McGunagle, D., & Zizka, L. (2020). Employability skills for 21st-century STEM students: The employers’ perspective. Higher Education, Skills and Work-Based Learning, 10(3), 591–606. https://doi.org/10.1108/HESWBL-10-2019-0148
Mullis, I. V. S., Martin, M. O., Foy, P., & Hooper, M. (2016). TIMSS 2015 international results in mathematics. TIMSS & PIRLS International Study Center. https://timss2015.org/timss-2015/science/student-achievement/distribution-of-science-achievement/
Mullis, I. V. S., Martin, M. O., Foy, P., Kelly, D. L., & Fishbein, B. (2020). TIMSS 2019 international Results in mathematics and science TIMSS & PIRL. TIMSS & PIRLS International Study Center. https://timssandpirls.bc.edu/timss2019/international-results/
Nauli Thaib, E. (2013). Hubungan antara prestasi belajar dengan kecerdasan emosional. Jurnal Ilmiah Didaktika, 13(2), 384–399. https://doi.org/10.22373/jid.v13i2.485
Nicolas, C. A. T., & Emata, C. Y. (2018). An integrative approach through reading comprehension to enhance problem- Solving skills of Grade 7 mathematics students. International Journal of Innovation in Science and Mathematics Education, 26(3), 40–64.
Nightingale, S., Spiby, H., Sheen, K., & Slade, P. (2018). The impact of emotional intelligence in health care professionals on caring behaviour towards patients in clinical and long-term care settings: Findings from an integrative review. International Journal of Nursing Studies, 80, 106–117. https://doi.org/10.1016/j.ijnurstu.2018.01.006
OECD. (2016). PISA 2015 results (Volume I): Excellence and equity in education. OECD Publishing. https://doi.org/10.1787/9789264266490-en
OECD. (2019). PISA 2018 results (Volume I): What students know and can do. OECD Publishing. https://doi.org/10.1787/5f07c754-en
OECD. (2023). PISA 2022 results (Volume I): The state of learning and equity in education. OECD Publishing. https://doi.org/10.1787/53f23881-en
Petrides, K. V, Sangareau, Y., Furnham, A., Frederickson, N., Lopes, P. N., Salovey, P., Straus, R., Palmer, B., Donaldson, C., Stough, C., Boyatzis, R. E., Nelis, D., Quoidbach, J., Mikolajczak, M., Hansenne, M., Ulutaş, İl., Ömeroğlu, E., Krueger, F., Barbey, A. K., … Cherkasskiy, L. (2011). Emotional intelligence. The Cambridge Handbook of Intelligence, 35(1), 528–549.
Quarles, C. L., & Davis, M. (2017). Is learning in developmental math associated with community college outcomes? Community College Review, 45(1), 33–51. https://doi.org/10.1177/0091552116673711
Rocha, H., Viseu, F., & Matos, S. (2023). Problem-solving in a real-life context: An approach during the learning of inequalities. European Journal of Science and Mathematics Education, 12(1), 21–37. https://doi.org/10.30935/scimath/13828
Roh, K. H. (2003). Problem-based learning in mathematics. Erict Digest, 1–7. https://search.proquest.com/docview/62169220?accountid=14771 LA - English
Russo, J., Bobis, J., Downton, A., Hughes, S., Livy, S., McCormick, M., & Sullivan, P. (2020). Students Who Surprise Teachers When Learning Mathematics Through Problem Solving in the Early Primary Years. International Journal of Innovation in Science and Mathematics Education, 28(3), 14–23. https://doi.org/10.30722/IJISME.28.03.002
Salim, S. S. S., Arip, M. A. S. M., Mustafa, M. B., & Yasin, M. H. M. (2018). Construction and validity testing of contents for practitioner encouragement of emotional intelligence module (EeiM). International Journal of Academic Research in Business and Social Sciences, 7(12). https://doi.org/10.6007/IJARBSS/v7-i12/3726
Salovey, P., & Mayer, J. D. (1990). Emotional intelligence. Imagination, Cognition and Personality, 9(3), 185–211. https://doi.org/10.2190/DUGG-P24E-52WK-6CDG
Santrock, J. W. (2017). Educational psychology. In Educational Psychology. McGraw-Hill Company. https://doi.org/10.1017/CBO9781107415324.004
Savery, J. R., & Duffy, T. M. (1996). PBL: An instructional model and is constructivist framework. In B. G. Wilson (Ed.), Constructivist learning environments: Case studies in instructional design. Educational Technology Publications.
Shapiro, L. E. (1998). How to raise a child with a high EQ: A parents’ guide to emotional intelligence. Harper Perennial.
Smith, J. (2023). Supporting metacognitive talk during collaborative problem solving: a case study in Scottish primary school mathematics. Education 3-13, 1–16. https://doi.org/10.1080/03004279.2023.2187670
Suharnan. (2015). Psikologi kognitif. Srikandi.
Sunandar. (2008). Pengaruh penilaian portofolio dan keceedasan emosional terhadap hasil belajar matematika topik dimensi tiga siswa kelas X SMA Negeri 4 Kendari tahun 2006. In Rusgianto (Ed.), Prosiding seminar nasional nasional matematika dan pendidikan matematika. UNY.
Syah, M. (2009). Psikologi belajar. Rajawali Press.
Taj, I., & Jhanjhi, N. (2022). Towards industrial revolution 5.0 and explainable artificial intelligence: Challenges and opportunities. International Journal of Computing and Digital Systems, 12(1), 295–320. https://doi.org/10.12785/ijcds/120128
Tan, O. S. (2004). Cognition, metacognition, and problem based-learning. In O. S. Tan (Ed.), Enhancing thinking through problem-based learning approaches: International perspectives. Cengage Learning Asia.
Uegatani, Y., Otani, H., Shirakawa, S., & Ito, R. (2023). Real and illusionary difficulties in conceptual learning in mathematics: comparison between constructivist and inferentialist perspectives. Mathematics Education Research Journal, 33(3), 161–166. https://doi.org/10.1007/s13394-023-00478-6
Vicente, S., Verschaffel, L., Sánchez, R., & Múñez, D. (2022). Arithmetic word problem solving. Analysis of Singaporean and Spanish textbooks. Educational Studies in Mathematics, 111(3), 375–397. https://doi.org/10.1007/s10649-022-10169-x
Vishnyakov, Y. S., Semenov, A. L., & Shabat, G. B. (2023). The work of a mathematician as a prefiguring of mastering mathematics by students: The role of experiments. Doklady Mathematics, 107(Suppl 1), S78–S91. https://doi.org/10.1134/S1064562423700606
Walle, J. A. V. de, Karp, K. S., & Bay-Williams, J. M. (2020). Elementary and middle school mathematics: Teaching developmentally. In Teaching Children Mathematics (Vol. 10, Issue 5). Pearson Education Limited.
Weissinger, A. P. (2004). Psycological tools in problem-based learning. In O. S. Tan (Ed.), Enhancing thinking through problem-based learning approaches: International perspectivesbased learning approaches. Cengage Learning Asia.
Willis, J. (2006). Research-based strategies to ignite student learning: Insights from a neurologist and classroom teacher. ASCD.
Yusof, M. S. (2014). Peranan EQ dalam bidang pendidikan (Hamid (ed.)). Profesional.
CURRICULUM VITAE
Nama Lengkap |
Ibrahim |
NIP |
197910312008011008 |
NIDN |
2031107901 |
Jenis Kelamin |
Laki-laki |
Tempat/Tanggal Lahir |
Bandung/31 Oktober 1979 |
Agama |
Islam |
Golongan/Pangkat |
IVb/Pembina Tk. 1 |
Jabatan Akademik |
Guru Besar/Profesor |
Kepakaran |
Pembelajaran Matematika |
Nama Perguruan Tinggi |
UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta |
Fakultas |
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan |
Program Studi |
Pendidikan Matematika |
Alamat Kantor |
Jl. Adi Sucipto No. 1 Yogyakarta |
Alamat Rumah (di Bandung) |
Jl. Sindangkasih No. 52, RT 03, RW 07, Antapani, Bandung, Jawa Barat |
Alamat Rumah (Sesuai KTP) |
RT 03, Dusun Mredo, Desa Bagunharjo, Kecamatan Sewon, Bantul, DIY |
No. Telp Kantor/HP-WA |
081321421903 |
|
Deskripsi Profil
Lahir di Bandung, 31 Oktober 1979. Staf pengajar di Program Studi Pendidikan Matematika UIN Sunan Kalijaga. Studi S1 Pendidikan Matematika di Universitas Islam Nusantara, Bandung, lulus tahun 2003; S2 dan S3 Pendidikan Matematika di Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung, berturut-turut lulus tahun 2007 dan 2011; dan S1 Psikologi di Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa, Yogyakarta, lulus tahun 2021. Karya akademik berupa buku yang relevan dengan latarbelakang keilmuan yaitu buku berjudul: (1) Strategi Pembelajaran Matematika, Penerbit Suka Press; (2) Pembelajaran Matematika, Penerbit Suka Press (Teori dan Praktek); dan (3) Pengantar Kombinatorika dan Teori Graf, Penerbit Graha Ilmu. Artikel ilmiah yang terbit di jurnal terakreditasi Sinta 2, 3, 4 dan 5 serta Jurnal Internasional Bereputasi dalam 5 tahun terakhir (2020-2024) lebih dari 31 artikel. Sejak 2012 hingga 2024 hampir setiap tahun mendapatkan hibah penelitian atau pengabdian dari LPM UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta atau Diktis Kemenag RI. Sejak 2015 hingga 2020 menjadi salah satu pengembang modul dan narasumber untuk pelatihan guru-guru inti matematika SMA se-Indonesia di Kemendikbudristek RI serta menjadi narasumber di beberapa seminar nasional dan internasional terkait pembelajaran matematika dan Kurikulum MBKM Perguruan Tinggi. Pengalaman berorganisasi di bidang keilmuan pernah menjabat Wakil Gubernur IndoMS (Himpunan Matematika Indonesia) pada periode tahun 2014-2015, menjabat Koordinator Bidang Pendidikan dan Kurikulum pada Asosiasi Dosen Matematika dan Pendidikan Matematika PTKI periode 2021-2023 serta menjabat Ketua Umum Asosiasi Dosen Matematika dan Pendidikan Matematika PTKI periode November 2023 – Desember 2025. Jabatan struktural yang pernah diemban yaitu Kaprodi Pendidikan Matematika periode 2012-2015, 2019-2020 & 2020-2024, Wakil Dekan Bidang Kemahasiswaan dan Kerjasama FST periode 2015-2016, dan Wakil Dekan Bidang Administrasi Umum, Perencanaan, dan Keuangan FITK periode 2024-2028. Tahun 2022 sebagai penerima Anugerah Dosen Teladan Mutu 2022 di tingkat UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Tahun 2024 sebagai penerima Penghargaan Top Publication in Mathematics 2024 di tingkat UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Adapun indeksasi sinta dapat dilihat pada link berikut: https://sinta.kemdikbud.go.id/authors/profile/6724850