Seminar online Nasional Masa Depan Keilmuan Non Linier di Indonesia

Hari kedua Seminar online Nasional Masa Depan Keilmuan Non Linier di Indonesia yang diselenggarakan Senat UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta di kampus setempat, 26/8/2020, menampilkan Keynote Speech Rektor UIN Suka, Prof. Dr. Phil Al Makin, MA., Narasumber; Guru Besar UIN Suka, Prof. Dr. Machasin, MA., Guru Besar ITB yang juga Direktur Politeknik Pekerjaan Umum, ITB, Prof. Indratmo Soekarno, dan Guru Besar ITB, Prof. Iwan Pranoto, M. Sc.

Prof. Al Makin mengatakan, pada masa bani Ummayah dan Abbasiyah para pemimpinnya bekerjasama dengan siapa saja untuk menggalang kekuatan dari tradisi bangsa lain dengan semangat kritik. Begitu juga Ibnu Rush keilmuannya tidak berasal dari Timur Tengah/Arab saja, tetapi dari ilmu bangsa Yunani, ia punya tafsir Plato.

Peradaban Islam pada masa itu berkembang pesat karena ilmu Islam siap menerima tradisi ilmu dari Yunani, Persia dan tradisi ilmu yang lain. Ilmuan Muslim membaca semua narasumber yang ada dan tidak monodisiplin ilmu.

Sekarang ini bangsa Barat maju karena sudah terbuka dan dikritik dari orang Barat itu sendiri. Begitu juga tradisi Islam jika kita mau maju seperti itu harus mengkritisi budaya kita sendiri dari orang muslim sendiri.

Semangat menerima semua ilmu perlu ditradisikan. Kita harus terbuka dan harus menghasilkan kreativitas, dan menciptakan sesuatu yang baru dengan cara sintesis. Karena Mendikbud sudah deklarasikan tidak menganut monodisiplin ilmu, harus mengambil ilmu dari bidang lain untuk kemajuan bersama, kata Prof. Al Makin.

Prof. Machasin menambahkan, kecakapan dalam memahami masalah pokok keilmuan dan kemampuan menghubungkan pemahaman antar bidang keilmuan akan sangat membantu dalam pengembangan keilmuan. Bagi individu dosen, pengembangan keilmuan nonlinear memperluas cakrawala keilmuan, menyegarkan semangat dan mengobati kesuntukan.

Prof. Iwan Pranoto, M. Sc., Ph.D., dalam makalahnya bertajuk “Pengembangan Keilmuan Non Linier antar Prodi dalam PT” memaparkan, 61 tahun silam banyak masalah tak bisa terselesaikan karena kurangnya komunikasi antara budaya sains dan kemanusiaan. Dan sekarang di abat 21 ini terulang lagi akibat minimnya kontribusi sains untuk kemanusiaan hingga merebak budaya hoax, intoleransi, panatisme kesukuan, rasisme, politik memecah belah, saling membenci, saling mendendam, saling menghujat, tidak menghargai hasil karya/pemikiran orang lain dan seterusnya. Hal ini ditengarai penyebabnya adalah ekslusifitas keilmuan, atau bisa juga ekslusifitas akademisinya (kurang care dengan semua masalah di luar kampus akibat pemahaman keilmuannya terbatas di bidangnya saja).

Selain itu sebelum tahun 1980-an, umumnya sebagian besar masyarakat Indonesia hanya selesai program S1 saja, dan beanggapan sebagai tahap pendidikan terakhir. Sekarang banyak mahasiswa melanjutkan ke program Pasca Sarjana. Trend ini harus disikapi oleh PT dengan memfasilitasi ruang dan peluang dialog yang seluas-luasnya antar akademisi dan antar bidang ilmu. Selain itu juga mendiskusikan pendekatan produksi pengetahuan di masing-masing disiplin, agar dapat melahirkan alumni-alumni yang dapat berkontribusi optimal terhadap semua permasalahan era kini. “Untuk itu mari kita bergandeng tangan untuk merobohkan tembok pembatas antar fakultas, departemen dan disiplin ilmu, dan menggelorakan intradisiplin, multidisiplin, crossdisiplin, interdisiplin, transdisiplin keilmuan,” ajak Iwan Pranoto.

Sementara itu, Prof. Indratmo Soekarno memaparkan apa yang sudah dimulai di kampus ITB. Menurutnya, di ITB sudah berlangsung apa yang dinamakan Liberal Arts. Menitikberatkan mahasiswa agar memiliki ketrampilan (skill) dan pola pikir yang baik dalam menghasilkan gagasan yang inovatif dan kreatif, memecahkan masalah secara logis dan siap menghadapi perubahan zaman yang semakin komplek dan cepat. Obyek materi yang dipelajari: tata bahasa, retorika, logika, geometri, astronomi, musik dan lain lain. Seperti yang juga sudah dilakukan di Yale University. Di ITB juga, mahasiswa tingkat 1 (TPB) diharuskan mengikuti perkuliahan yang sama dari berbagai disiplin sebelum masuk ke program studi masing-masing. Matematika, Fisika, Biologi, Ilmu Sosial, Bahasa, Ilmu Lingkungan dan lain-lain.

Disamping itu, Pengalaman di ITB membentuk kelompok keahlian (KK); Non Linear dalam wadah Interdisiplin, Multidisiplin, Transdisiplin dan seterusnya. Monodisiplin diwujudkan oleh Kelompok Keahlian (KK), dosen dihimpun dalam kelompok dalam satu disiplin dalam Fakultas yang sama. Contoh: KK Sumberdaya air, KK Transportasi, KK Geoteknik; Multidisiplin, Interdisiplin dan Transdisiplin diwujudkan dalam bidang studi antar Fakultas dalam bentuk pusat atau program studi. Interdisiplin diwududkan dengan membentuk; Pusat Sistem Tak Berawak, Pusat Infrastruktur Data Spasial, Program Studi Pembangunan. Transdisiplin diwujudkan dalam Pusat, yang menangani permasalahan bangsa, melibatkan bidang ilmu antar Fakultas dan melibatkan stakeholder. Contoh Pusat Mitigasi Bencana (displin ilmu Sipil, Geologi, Planologi, BNPB); Pusat Rekayasa Industri, Pusat Lingkungan Hidup; Pusat Perubahan Iklim, Pusat Pemberdayaan Masyarakat. Bidang Ilmu Planologi: Ekonomi, Sipil, Arsitek, Teknik Lingkungan, Geodesi, jelas terdiri dari keilmuan non linear, demikian papar Indratmo. (Weni/Khabib)