Pakar Hermeneutika UIN Yogyakarta Kenalkan Pendekatan Tafsir Kontemporer, Ma'na cum Maghza
Dr. Sahiron Syamsuddin saat mempresentasikan pemikirannya, 22/11/2021.
Wakil Rektor II, bidang Administrasi Umum, Perencanaan dan Keuangan, yang juga Dosen Fakultas Ushuluddin dan pemikiran Islam, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Dr. Sahiron Syamsuddin, menawarkan pendekatan tafsir Al-Qur’an di era kekinian. Dia menyebut tawarannya sebagai Ma'na cum Maghza (McM). Pendekatan tafsir ini dibahas dalam forum Annual Conference on Research Proposal (ARCP) yang digelar Ditjen Pendidikan Islam di Kota Tangerang.
Dr. Sahiron yang merupakan pakar hermeneutik Indonesia menjelaskan, McM merupakan hasil racikan sejumlah pemikiran mufassir modern kontemporer sebelumnya. Ia menggarisbawahi ada tiga hal yang harus digali dalam menggunakan pendekatan ini. Pertama, seseorang harus menangkap al-ma'na al-tarikhi atau makna historis.
Al-ma'na al-tarikhi adalah apa yang mungkin dimaksudkan oleh Allah ketika Allah menurunkan ayat-ayat tertentu kepada Nabi Muhammad sebagai audiens pertama. Atau kalau menafsirkan hadits, kita akan mencari al-ma'na al-tarikhi-nya, yaitu sesuatu yang dimaksud Nabi Muhammad ketika menyampaikanya kepada sahabat," terang Dr. Sahiron dalam seminar Parallel Session 1 ACRP bertema 'Pendekatan Ma'na-cum- Maghza dalam Penafsiran Al-Qur’an', Senin (22/11/2021).
Kedua, kata Dr. Sahiron, seorang mufassir berusaha menggali signifikansi atau teks pesan utama historisnya (al-maghza al-tarikhi). Ketiga, mufassir mengembangkan signifikansi teks tersebut ke dalam situasi kekinian, atau sesuai waktu yang tempat. "Inilah yang disebut al-maghza al-mutaharrik al-mu'asir, atau signifikansi dinamis yang kekinian," ucapnya.
Menurut Dr. Sahiron, untuk menggunakan pendekatan McM ini, mufassir perlu memiliki paradigma, di antaranya meyakini bahwa Al-Qur’an merupakan Wahyu Allah yang fungsinya sebagai rahmat bagi semesta alam.
"Dalam menafsirkan Al-Qur’an atau hadist Nabi, kita harus yakin fungsinya sebagai rahmatan lil alamin, bukan sebaliknya. Maka apabila ada satu pemahaman atau penafsiran tertentu terhadap ayat Al-Qur’an yang tidak mencerminkan kasih sayang terhadap manusia atau alam semsta, maka hampir dipastikan itu bukan Al-Qur’an yang berbicara, tetapi otak manusia yang mempunyai kepentingan tertentu, dan berupaya menuju kepentingan tersebut. Misalnya, membolehkan aksi pengeboman, dengan mengutip ayat Al-Qur’an yang menunjukkan bahwa boleh membunuh orang-orang Musyrik di manapun berada," terang Pengasuh PP. Baitul Hikmah Krapyak Yogyakarta ini.
Selain itu, lanjutnya, mufassir juga harus meyakini pesan dalam Al-Qur’an itu bersifat universal. Menurutnya, universalitas Al-Qur’an itu membutuhkan penafsiran, reaktualisasi, dan implementasi. Kemudian tidak ada pertentangan antara wahyu dan akal sehat, serta tidak ada nash yang bertentangan, melainkan setiap ayat memiliki konteksnya sendiri.
Ada prinsip utama yang harus dijalankan mufassir. Dijelaskan Dr. Sahiron, ketika seseorang menafsirkan ayat Al-Qur’an harus selalu berdasarkan pada ilmu pengetahuan dan tidak boleh sembarangan melihat konteksnya.
Dalam menggunakan pendekatan McM, para peneliti harus menjalankan prosedur yang tepat, di antaranya cermat dalam menganalisa bahasa Al-Qur’an. "Yang harus kita lakukan yaitu menganalisa bahasa Al-Qur’an secara cermat. Kita tahu bahwa bahasa Al-Qur’an yang dipakai yakni Bahasa Arab abad ke 7 Masehi atau 1 hijriah," tuturnya.
Selanjutnya, peneliti juga harus memperhatikan intratekstualitas. Yaitu, penafsiran dengan merujuk pada Al-Qur’an itu sendiri dengan tetap memerhatikan kontekstual masing-masing atau munasabat.
"Jika analisa bahasa sudah dilakukan, maka lanjut ke intratekstual. Dalam kajian Ulumul Qur'an, ini harus teliti, bukan sekadar mengumpulkan ayat-ayat ke dalam satu tema. Misalnya, dalam konteks surat Al-Maidah ayat 51 yang artinya “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menjadikan orang-orang Yahudi dan Nasrani sebagai auliya". Nah, kata ‘auliya’ di sini disebutkan sebagai pemimpin ataukah sebagai orang-orang yang dekat dengan Allah. Ini harus diteliti sehingga bisa dipahami," ujar Dr. Sahiron.
Kemudian aspek intertekstualitas harus dipertimbangkan, yaitu penasiran dengan cara membandingkan dengan teks-teks di luar Al-Qur’an, seperti hadist nabi dan teks lainnya. Peneliti juga diharap memerhatikan konteks sejarah, baik mikro yaitu asbaabun nuzul dan makro atau situasi bangsa Arab dan sekitarnya.
Lebih jauh, Dr. Sahiron meminta peserta agar tidak terburu-buru menafsirkan Al-Qur’an tanpa menafsirkan terlebih dahulu al-ma'na al-tarikhi. Signifikansi harus dilakukan mulai dari memperhatikan kategori ayat, pengembangan maqsad atau maghza ayat Al-Quraniyah, membedakan ma'na isy'ari atau simbolik berdasarkan pola pikir kekinian. Lalu memperhatikan situasi dan waktu tempat, dan menafsirkan ayat dari sudut pandang keilmuan lain mulai dari psikologi, sosiologi, antropologi dan menyesuaikan pesan ayat tersebut.
Seminar Parallel ini merupakan rangkaian dari ARCP. Ada sepuluh seminar parallel yang digelar dalam rentang 22 - 24 November 2021. Seminar membahas sejumlah persoalan, baik terkait isu kontemporer hingga publikasi karya ilmiah PTKI. Sebelumnya, rangkaian seminar ini diawali Plenary Session bertema 'Agenda Dunia PTKI: Merumuskan Metodologi Moderasi Beragama dalam Memahami Teks Keagamaan'. (Tim Humas)