Sambutan Rektor pada Pengukuhan Guru Besar Prof. Casmini

Assalamualaikum wr. wb.

وَابْتَغِ فِيْمَآ اٰتٰىكَ اللّٰهُ الدَّارَ الْاٰخِرَةَ وَلَا تَنْسَ نَصِيْبَكَ مِنَ الدُّنْيَا وَاَحْسِنْ كَمَآ اَحْسَنَ اللّٰهُ اِلَيْكَ وَلَا تَبْغِ الْفَسَادَ فِى الْاَرْضۗ اِنَّ اللّٰهَ لَا يُحِبُّ الْمُفْسِدِيْنَ

Ketua Senat dan Sekretaris,

Para Warek,

Para Dekan,

Direktur Pascasarjana,

Dua Kabiro,

Para Wadek, asisten direktur pasca

Para Ketua Lembaga, Kepala Unit

Para Kaprodi-Sekprodi,

Para Kabag, Kasubag,

Para Dosen, Tendik, Mahasiswa

Mari syukuri nikmat Allah pada UIN Sunan Kalijaga. Mari syukuri pandemi sudah menurun. Mari syukuri pengukuhan Guru Besar Prof. Dr. Casmini, tetangga saya di Purwomartani. Mari syukuri akreditasi unggul, BLU terbaik, perpustakaan terbaik, mahasiswa-mahasiswi berprestasi, dan para alumni yang handarbeni. Mari syukuri team Sunan Kalijaga yang Tangguh.

Saya senang membaca pidato pengukuhan itu, yang intinya membahas tentang kebahagiaan, dan ketahanan keluarga Jawa. Tema keluarga memang sering muncul dalam diskusi orang Timur, terutama orang Indonesia dan Jawa. Keluarga merupakan andalan Orde Baru Pak Suharto, yang dulu menganut faham, kurang lebih, ala Konfusionisme. Dalam tradisi konfusionisme China negara harus bertumpu pada unit terkecil dalam masyarakat, yaitu keluarga. Keluarga solid, negara kokoh. Keluarga retak, negara gonjang. Begitu kira-kira logikanya. Keluarga menjadi andalan banyak program selama Orde Baru: keluarga berencana, keluarga mandiri, keluarga sejahtera, dan PKK. Ibu, atau wanita, menjadi tulang punggung, dan DWP kita di UIN Sunan Kalijaga masih berjalan hingga kini.

Inilah perbedaan Timur dan Barat, di Barat mereka sudah realistis, bahwa keluarga bukan segala-galanya. Jika individu merasa gagal dalam berkeluarga, kebahagiaan bisa diraih secara individu. Dan pengorbanan individu atas keluarga dihindari. Di Timur individu sering dalam banyak narasi dikorbankan demi keutuhan keluarga. Barat sering tidak bersikap dan tidak bereaksi atas masyarakat, yaitu sikap dalam filsafat disebut indifference, sedangkan Timur sangat peduli, apalagi orang Jawa, para orang lain. Masyarakat mengatur keluarga dan individu, terutama dalam sistem masyarakat komunal kita. Penilaian orang lain sangat penting, maka orang kita sering didikte oleh komunitas. Mungkin itu juga perlu disinggung oleh beliau Prof. Casimini.

Baiklah kita buka pidato Prof. Casmini pada halaman 9. “Keluarga merupakan unit sosial fundamental, terdiri atas para anggota dan proses pengalaman hidup intersubjektif.” Begitu definisi yang diambil Prof. Casmini.

Kemudian Prof. Casmini dalam halaman yang sama memberi arti kebahagiaan: Kebahagiaan adalah “emosi positif” atau “kesenangan, ketenteraman, keberuntungan, kemujuran yang bersifat lahir dan batin” (p. 9).

Tentu ini mengingatkan kita pada inti dari filsafat itu sendiri, dalam tradisi Stoic Yunani dan Latin, yang akhirnya masuk dalam dunia Arab dan Islam, kebahagiaan adalah tujuan filsafat dalam mencari kebajikan. Dalam hal ini saya perlu menggarisbawahi bahwa saat ini sedikit sekali yang membahas Bahagia di masyarakat kita, apalagi masyarakat ilmiah. Semua nasehat berisi tentang sukses. Semua nasehat tentang pencapaian atau prestasi. Kita sering lupa, tidak memberi perhatian pada arti dan hakekat kebahagiaan.

Ada dua tokoh utama, kemarin sudah saya sebut dalam pembukaan mitra MBKM, yang perlu mendapat perhatian, 2500 tahun yang lalu. Epicurus dan Diogenes dari Yunani, mereka benar-benar mencari kebahagiaan dan hakekat secara ekstrem, seperti sufi dalam tradisi Islam dan pertapa dalam tradisi Jawa.

Epicurus menjadi bahan disertasi Karl Marx, seorang yang sangat matrealis dalam teori tetapi sangat miskin dalam kehidupan. Marx tidak punya apapun, kecuali buku-buku, itupun dia baca hanya perpustakaan. Sangat ironis bukan. Marx mempunyai teori materi, teori pasar, teori kapital. Tetapi Marx adalah orang miskin, yang bahkan ketika meninggal pun ditanggung sahabatnya Friedrich Engels, yang mengubur. Bahkan di masa hidupnya yang menanggung semua biaya kehidupannya adalah sahabatnya itu. Marx adalah seorang sufi yang bahagia mungkin dalam kesederhanaan atau kesengsaraan.

Epicurus mendirikan komunitas atau toriqat ala Yunani 2500 tahun lalu, dan menyendiri, tanpa materi. Epicurus memilih pantai atau pulau kecil Bersama pengikutnya dia mengurangi materi, sex, dan kehidupan senang. Kesenangan adalah menyendiri dan merenung dan merasa cukup dengan dirinya sendiri. Ini mirip dengan pertapa India dan mungkin Jawa.

Diogenes, pemikir Yunani lain, bahkan tidak mempunyai rumah. Dia hidup di pasar. Tetapi pandangannya sangat kritis dan berani. Pernah menantang Aristoteles, yang mendefiniskan manusia sebagai burung tanpa bulu. Kemudian Diogenes mencabuti ayam, lalu dia bilang di depan Aristoteles inilah manusia. Diaogenes mencari kebahagiaan dengan dirinya sendiri, tidak dengan keluarga. Sedangkan Epicurus mencari kebagiaan dengan kelompoknya tidak dengan keluarga.

Sementara itu menurut Bu Prof. Casmini, Eudamonia, atau hedonistic, adalah:

“(1) sikap positif seorang individu terhadap dirinya dan orang lain; (2) kemampuan membuat keputusan secara mandiri dan otonom, (3) kapasitas memenuhi tujuan hidup; (4) cara seorang individu meningkatkan kebermaknaan hidupnya; (5) upaya seorang individu mengeksplorasi dan mengembangkan dirinya supaya memiliki kualitas hubungan interpersonal yang bermakna” (p. 10).

Bu Prof. Casmini menggarisbawai 6 keutamaan:

1. Kebijaksanaan dan pengetahuan

2. Memiliki semangat dan gairah (virtue of courage) menghadapi tantangan dan hambatan secara berani,

3. Cinta dan kemanusiaan (virtue of humanity and love)

4. Moderasi

5. Keadilan (virtue of justice) moderasi (virtue of temperance)

6. Kebajikan transendensi (virtue of trancendence) (pp. 10-11)

Pendiri Stoic adalah Zeno, dia seorang pedagang yang bankrut, karena kapalnya mengalami kecelakaan di laut. Lalu dia abdikan hidupnya untuk filsafat. Kebahagiaan dan bagaimana caranya meraih melalui filasafat yang dia cari. Lahirlah Stoic yang mempunyai prinsip jauh lebih sederhana, yang sudah disinggung Plato dalam Republik: 1) Wisdom/kebijakan atau hikmat; 2) Temperance atau moderasi atau tawasut; 3 courage/atau keberanian; dan 4 Justice/keadilan atau tawazun. Jadi ini bersambung sanad kebagaiaan ini ke 2500 tahun yang lalu.

Bu Prof. Casimin lebih perhatian pada konsep Jawa, yang lebih mutaakhir, kira-kira 1000 tahun yang lalu, atau 500 tahun yang lalu:

“Ada tiga kualitas kematangan kepribadian yang menopang kebahagiaan orang Jawa yakni, sepuh, wutuh dan tangguh. Pribadi sepuh adalah pribadi yang senantiasa mengoptimalkan fungsinya sebagai makhluk ciptaan Tuhan. Pribadi wutuh adalah pribadi yang utuh tanpa kesengajaan melenceng. Pribadi tangguh adalah pribadi yang mampu melaksanakan kehidupan dengan rasa suka cita meski berada di tengah ujian, duka dan nestapa.” (p. 14)

Kalau dihubungkan dengan Stoic, karena banyak yang menganggap bahwa filsafat Jawa cenderung Stoic, saya kira menarik. Stoic dan Jawa banyak kemiripan. Stoic benar-benar berkembang menjadi filsafat yang dijalani tokoh-tokoh penting dan hingga kini menjadi pedoman orang-orang besar dalam politik dan bisnis seperti: Thomas Jefferson, Nelson Mandela, Bill Gate, Warren Buffet, dan banyak orang sukses lainnya.

Filsafat Jawa juga sudah dibahas banyak antropolog dan sejarahwan. Pemimpin besar seperti Sukarno dan Suharto penuh dengan nilai filsafat Jawa, bahkan Habibie dan SBY pun masih mengikuti teladan Pak Harto. Buku-buku tentang Suharto semua penuh dengan laku Jawa, mental Jawa, etika Jawa. Saya kira para penghayat aliran kepercayaan, banyak berjasa dalam melanggengkan filsafat Jawa. Banyak serat, babad, dan tulisan-tulisan kuno Jawa yang perlu kita kaji lagi.

Saya tertarik pada table halaman 15-16 Prof. Casmini:

Laku Pribadi Sehat Menuju Kebahagiaan: 1. Interaksi sosial, yaitu: Kesamaan posisi orang lain dalam interaksi sosial 2. Jalan kebahagiaan, yaitu: Membahagiaan diri dengan membahagiakan orang lain 3. Pemecahan masalah, yaitu: Dilakukan dengan perasaan dan hati senang 4. Kepribadian yaitu: Sederhana, punya integritas, dekat dengan semua golongan, tidak adigang adigung adiguna, mampu mengatur posisi diri dan sikap terbaik pada kondisi tertentu 5. Mata bathin, yaitu: Tidak terpengaruh atau terhalangi oleh berbagai rekaman dan catatan yang memenuhi ruang rasanya 6. Keyakinan, yaitu: Keyakinan akan muncul dari pengalaman.

Pengamatan yang baik dari Prof. Casmini pada halaman 17. Menurutnya sebagai berikut dari lelaku orang Jawa: Menyatunya hamba dan Tuhan “(manunggaling kawula gusti), menyandarkan kehidupan pada Tuhan (sangkan paraning dumadi), manusia sekedar menjalani titahNya (sakdermo ngelakoni), serta kehidupan sesuai dengan kodrat Tuhan untuk dijalani (ngerteni kodrat, ukum pinesti).”

Tentu saja kita punya sanad, rawi, atau chain of transmission dalam mempelajari kejawen di UIN Sunan Kalijaga, dimulai dari Prof. Simuh tentang Serat Wirid Hidayat Jati. Murid beliau Dr. Romdon membahas tentang mistik Jawa. Lalu Dr. Damami meneruskan tentang studi penghayat. Maka perlu penerus kita dalam membahas tradisi Jawa, dan tradisi Nusantara pada umumnya, tidak hanya bersifat antropologis, tapi juga filosofis dan psikologis.

Akhirnya penghujung yang baik pada halaman 18: “Prinsip hidup orang Jawa adalah sabutuhe, saperlune, sacukupe, sakpenake, samesthine lan sabenere yang berarti hidup tidak perlu nggaya dan atau grangsang,”

UIN Sunan Kalijaga untuk bangsa, UIN Sunan Kalijaga mendunia.

Wasaslamualaikum wr. wb.

Rektor UIN Sunan Kalijaga, Prof. Dr. Phil. Al Makin, S.Ag., M.A.