UIN Sunan Kalijaga dan Spirit Berkesenian
Oleh: Dr. Fathorrahman Ghufron (Wakil Dekan bidang Kemahasiswaan dan Kerjasama, Fakultas Sains dan Teknologi UIN Sunan Kalijaga)
Dewasa ini, wajah keindonesiaan kita kerap dihiasi oleh reportoir kekerasan dengan mengatasnamakan agama dan politik identitas. Kasus bom bunuh diri yang terjadi di Gereja Katedral Hati Kudus Yesus, Makasar (28/3/2021) dan penyerangan yang dilakukan seorang perempuan dengan metode lone wolf di Mabes Polri (31/3/2021) adalah beberapa contoh nyata yang mempertontonkan aksi terorisme yang sangat memilukan.
Di lain kesempatan, sekelompok orang melakukan aksi vigilantisme dengan dalih nahi munkar. Dengan berbekal dalil-dalil kitab suci yang dianggap paling benar oleh dirinya, mereka menyalahkan praktek keberagamaan pihak lain. Yang lebih ironis lagi, sikap paling benar sendiri ini dikapitalisasi sebagai transaksi oligarkhis untuk menyuburkan politik identitas yang bisa dijajakan kepada para komprador politik yang berkepentingan dengan ajang kekuasaan seperti Pilkada atau pemilu.
Dampaknya, masyarakat mulai terkotak-kotak dan mudah diadudomba oleh oknum tak bertanggung jawab. Persatuan dan kesatuan yang menjadi permadani kebangsaan terkoyak hingga mengalami titik nadir yang menyedihkan. Keragaman atau kebhinekaan yang menjadi semboyan bernegara diekslusi sedemikian rupa hingga berubah menjadi praktik penyeragaman yang meresahkan.
Melukis “Wajah Agama” yang Toleran
Mencermati situasi kehidupan yang diterpa oleh badai terorisme, vigilantisme, dan sektarianisme, Rektor UIN Sunan Kalijaga (UIN Suka), prof. Al Makin terpanggil untuk mereaktualisasi wajah agama yang menentramkan dan mendamaikan melalui pameran seni rupa yang bertajuk “Bersama dalam Beda, Berbeda dalam Sama”. Berbagai simpul pelaku kesenian diundang ke kampus UIN Suka untuk mengekspresikan nilai-nilai keindahan yang bisa ditransformasi ke dalam praktik keberagamaan masyarakat.
Di samping itu, melalui pameran seni rupa yang dibuka oleh Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas (15-22 Desember 2021), UIN Suka ingin mengeksplorasi nilai-nilai kedamaian dan kesejukan beragama yang bisa diaktualisasi dalam kehidupan. Dengan dihadiri beberapa figur yang konsisten menjalani hidup berkesenian seperti Djoko Pekik, Nasirun, Butet Kartaredjasa, M. Agus Burhan, Kartika Afandi, Kuss Indarto, dan lain-lain, pameran ini menjadi sebuah jejaring keilmuan dan persembahan akademik kepada bangsa Indonesia, bahwa melalui kesenian kita harus menampilkan wajah agama yang inklusif dan toleran.
Dalam kaitan ini, apa yang diinisiasi oleh pimpinan UIN Suka yang menaruh kepedulian besar terhadap kesenian, menjadi catatan sejarah tersendiri, di mana sejak berdirinya kampus IAIN yang kemudian bertransformasi ke UIN, baru kali ini menggelar sebuah hajatan berkesenian yang dikemas dalam acara pameran seni rupa. Apalagi, kegiatan ini menghadirkan para kurator, pelukis, dan seniman lintas iman, lintas etnis, dan lintas profesi.
Secara sosiologis, melalui kegiatan ini UIN Suka ingin menegaskan sebuah pesan kemanusiaan terkait pentingnya toleransi lintas aliran dan kepercayaan. Hal ini tentu menyambungkan kembali warisan para pendahulu UIN Suka seperti Prof. Mukti Ali, Prof. Hasbi Ash-Shiddiqi, Prof. Amien Abdullah, Prof, Yudian Wahyudi, dan lain lain yang sudah berhasil meletakkan dasar-dasar ilmu keislamaan yang inklusif dan progresif.
Kesenian Sebagai Pilar Pendidikan
Di samping itu, pameran seni rupa ini menjadi salah satu cara efektif untuk mempromosikan kesenian di lingkungan perguruan tinggi keagamaan Islam. Setidaknya, keterlibatan civitas akademik dalam kesenian, bisa menggairahkan iklim akademik yang santun dan bisa mengembangkan corak pembelajaran yang tidak sekedar menekankan aspek kognitif-normatif seperti hafalan. Akan tetapi, melalui kesenian, mahasiswa diajak berimajinasi dan bereksplorasi untuk menemukan kebenaran dengan berbagai sudut pandang dan pendekatan.
Dengan demikian, ketika kesenian menjadi salah satu pengembangan akademik yang melempangkan jalan keindahan, maka mahasiswa bisa berlatih dan berproses menjadi ilmuan yang kritis namun juga arif ketika menyikapi berbagai persoalan. Bahkan, dengan berbekal paradigma keilmuan yang integratif-interkonektif yang diusung UIN Suka, mahasiswa bisa menjadikan kesenian salah satu tiang pancang peradaban yang menghadirkan agama sebagai sumber keselamatan dan kedamaian.