Bermain Layang-layang

Oleh : Rektor UIN Suka, Prof. Dr. Phil Al Makin, M.A.

Penggemar layar kaca saat ini mungkin sedang terpana oleh drama TV Layangan Putus. Serial ini boleh jadi meluapkan emosi para penonton yang selama ini terpendam.

Dalam istilah Freudian, emosi-emosi yang tidak selesai akan muncul lagi pada masa yang tidak disangka-sangka dengan cara yang buruk. Misalnya ketidakpuasan kita pada situasi politik, ekonomi, dan sosial yang tidak sempat terungkap sebelumnya. Emosi juga muncul saat kita merasa dikhianati orang lain, atau ada orang yang sepertinya tidak loyal pada kita.

Serial Layangan Putus mungkin tepat meluapkan kegalauan kita. Drama berseri inimungkin mewakili perasaan gundah gulana dalam diri kita.

Dalam teater Yunani kuno, peperangan, konflik dan pertikaian dalam drama tragedi dan komedi merupakan terapi untuk menghaluskan atau mengurangi akibat ketidakpuasan dalam kehidupan ini. Kita butuh sarana untuk meluapkan perasaan.

Di dunia nyata, di desa saya di Yogyakarta, tepat di pematang sawah-sawah di Kecamatan Kalasan, layangan bukan hanya sebagai judul serial TV. Melainkan jenis mainan yang banyak digemari masyarakat.

Banyak anak kecil, anak muda dan bapak-bapak bahkan, menerbangkan layangan dalam berbagai bentuk. Tempat untuk menerbangkannya di berbagai medan. Di tanah datar yang akan dibangun jalan tol salah satunya. Mereka bermain layangan untuk menghibur diri. Maka, jadilah kerumunan kecil-kecil outdoor di era pandemi. Tujuannya sama, melihat layangan yang biasanya diterbangkan di sore hari. Sabtu dan Minggu biasanya lebih banyak yang menonton sehingga para penerbang layang-layang terlihat lebih bersemangat.

Layangan tradisional di Indonesia terbatas pada layangan aduan dan layangan suwangan atau sendaren. Layangan aduan bentuknya sederhana seperti ketupat. Benangnya biasanya diberi senjata pecahan kaca, atau disebut gelasan. Benang akan diadu dengan cara tarik ulur. Pecahan kaca yang tajam di benang gelasan akan mengiris benang lain. Layangan yang menang akan tetap terbang dengan jumawa. Sementara layangan yang kalah akan putus. Kepuasan terlihat pada yang menang. Yang kalah biasanya mempersiapkan aduan yang lain.

Adapun layangan sendaren atau suwangan di setiap daerah mempunyai berbagai bentuk berbeda. Ada yang berupa bulan penuh, bulan sabit, matahari, burung, daun, kotak, dan bentuk-bentuk lain. Suwangan diletakkan di depan layangan dan berbunyi keras tertiup angin saat terbang. Suwangan yang terbuat dari bahan bagus dari dahan aren digodog terdengar sampai dua kilometer. Dulu pita kaset juga bisa dijadikan bahan untuk itu. Saat ini tentu banyak bahan plastik yang ditiup angin akan berbunyi.

Yang mengejutkan adalah inovasi dan adaptasi layangan naga di Kalasan, Yogyakarta. Di tempat ini, satu layangan terdiri atas 120 bulatan dan bendera, atau lebih, dengan panjang kurang lebih 60 meter.

Dari atas berkibar bagai ekor naga, di tengah adalah badan naga yang panjang meliuk-liuk terterpa angin, dan bawah adalah kepala naga dihiasi dengan taring dan rambut yang mengerikan. Layangan ini seperti dalam tradisi China. Di pematang sawah Kalasan, ada beberapa naga dengan warna dan warni yang berbeda.

Permainan layangan cukup menghibur. Yang membuat dan menerbangkan dengan bangga memegang layanganannya. Yang menonton dari jauh terkesima kemudian mendekat. Saya sendiri melihat beralama-lama dan mendekat yang menerbangkan. Saya bertanya proses pembuatan dan cara menerbangkannya.

Komunitas layangan sudah terbentuk sendiri di Yogyakarta. Tak terbatas di tanah lapang di dataran tinggi, di pantai atau tempat rekreasi juga seringkali ditemukan. Kehadirannya yang cukup menghibur inilah yang mungkin memerlukan ruang apresiasi untuk layangan.

Layangan dalam konteks sosial ini telah menyatukan kepentingan kita sebagai bangsa. Yang menerbangkan, melihat, dan menikmati sudah tidak lagi memperhitungkan agama, etnis, budaya, tradisi. Semua setara dan sejajar dalam menikmati layangan ini. Tidak ada yang mengamati bentuk mata, warna kulit, atau agama apa dalam menikmati layangan ini. Tidak ada yang bertanya mazhab keagamaan, partai politik, pilihan pemimpin 2024, atau hal-lain yang serius. Cukup menghibur dan menyamakan persepsi dalam kepentingan yang sama, menikmati layangan terbang.

Berbicara soal politik, agama, dan bahkan ekonomi kadangkala membuat perbedaan menajam. Terutama menyinggung tentang agama, itu sangatlah sensitif di masyarakat kita. Jika kita tidak tepat berpendapat, atau berbeda dengan kelompok tertentu, bisa saja dengan mudah dipojokkan, dijauhi, atau bahkan ada undang-undang ITE atau penodaan agama di ruang publik yang bisa menjerat.

Kita harus hati-hati. Apalagi menjelang persiapan hajatan politik 2024. Kita saksikan banyak yang sudah menggunakan momentum keagamaan, atau sengaja menyinggung identitas keagamaan sebagai jalan meraup simpati.

Mungkin masyarakat kita butuh rileksasi, perlu memperhatikan permainan seperti layangan, agar mengurangi ketersinggungan. Saat ini di Australia sedang ada kompetisi tenis Australian Open. Tetapi kita sudah kadung gandrung dengan bola kaki, tetapi kita belum berhasil juara bahkan di tingkat regional Asia Tenggara. Yang menjadi andalan kita adalah bulutangkis yang sifatnya kemampuan individu. Namun, meski prestasi olahraga kita belum merata di semua cabang, tetap harus ada porsi di ruang publik. Karena, permainan dan olahraga banyak mencairkan suasana.

Seperti serial layangan putus di TV tadi, kita memerlukan permainan yang sama-sama kita nikmati. Manusia hakekatnya adalah homo luden, yaitu suka permainan. Mungkin sisi ini yang harus kita garap bersama-sama. Jangan lah kita terlalu serius dan ketat memperhatikan kesalahan-kesalahan kawan-kawan sendiri dalam politik, agama, dan sosial. Kita membutuhkan hal-hal yang membuat relasi antar kita santai.

Nabi Muhammad sendiri pada suatu ketika mendapati Aisyah, istrinya yang bermain dengan boneka. Tentu terjadi perbincangan menarik tentang permainan ini. Memanah, berkuda, berenang adalah cabang waktu itu yang masih dilestarikan dari era Yunani, Romawi, dan Persia. China, India, dan bahkan Nusantara mempunyai perhatian khusus pada cabang ini. Mari bermain atau melihat layangan, mari menghibur diri.

Artikel ini telah diterbitkan di halaman SINDOnews.com pada Sabtu, 29 Januari 2022 - 10:07 WIB oleh Koran SINDO dengan judul "Bermain Layang-layang".

Kolom Terkait

Kolom Terpopuler