Membesarkan Guru Besar

Oleh Prof. Dr. Iswandi Syahputra, S.Ag., M.Si., Wakil Rektor I Bidang Akademik Dan Pengembangan Lembaga UIN Sunan Kalijaga

‘Lebih mudah masuk surga daripada menjadi guru besar di Indonesia’. Ungkapan ini tentu bukan maksud yang sesungguhnya, tetapi hanya refleksi betapa sulitnya jadi guru besar (GB) di Indonesia.

Memang tidak mudah dan tidak murah untuk dapat menjadi seorang guru besar. Kesulitan itu kemudian di kalangan perguruan tinggi (PT), khususnya Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri (PTKIN), memunculkan ungkapan, ‘Lebih mudah masuk surga daripada menjadi guru besar di Indonesia’. Ungkapan ini tentu bukan maksud yang sesungguhnya, tetapi hanya refleksi betapa sulitnya jadi guru besar (GB) di Indonesia. Kesulitan itu saat ini banyak dirasakan pengusul calon GB.

Ada pengusul calon GB yang sudah menulis banyak buku ilmiah, memiliki banyak artikel ilmiah, dan sejumlah Hak Kekayaan Intelektual (HAKI), namun tetap saja ditolak jadi GB. Ada pula calon pengusul GB, tak memiliki banyak buku ilmiah dan hanya memiliki beberapa publikasi karya ilmiah dapat diterima menjadi GB. Dalam dua kategori kasus ini, biasanya diterima atau tidaknya usulan calon GB terkait dengan terpenuhinya syarat kum (angka kredit) dan syarat khusus sebagai GB.

Artinya, walaupun ada pengusul calon GB produktif dalam menulis buku atau publikasi artikel di jurnal ilmiah, sehingga kum yang dikumpulkan berlimpah, namun tetap ditolak menjadi GB karena tak memenuhi syarat khusus yang ditentukan. Demikian pula sebaliknya, ada pengusul calon GB kurang produktif menulis buku atau publikasi artikel di jurnal ilmiah, tapi cukup sekadar mencapai kum 850 yang disyaratkan dan memenuhi syarat khusus, bisa diterima sebagai GB.

Usulan calon GB seperti ini juga kerap ditolak karena alasan berakhirnya masa kerja pengusul calon GB sebagai dosen aktif.

Namun ada juga kategori lain, pengusul calon GB yang produktif dalam menulis, meneliti dan publikasi karya ilmiah, kum cukup, syarat khusus terpenuhi, tetapi usulan GB diajukan beberapa minggu menjelang pensiun. Padahal, seharusnya usulan GB paling lambat satu tahun sebelum dosen pengusul memasuki masa pensiun. Usulan calon GB seperti ini juga kerap ditolak karena alasan berakhirnya masa kerja pengusul calon GB sebagai dosen aktif.

Atau sering terjadi usulan GB ditolak karena karya ilmiah mereka teridentifikasi publikasi di jurnal internasional bereputasi tapi masuk kategori jurnal predator, atau karya ilmiah sebagai syarat khusus di publikasi di jurnal yang tak linear dengan rumpun keilmuannya.

Selain tiga kategori pengusul calon GB itu, masih banyak kategori lain berdasarkan kasus yang berbeda dari setiap pengusul calon GB. Namun pada intinya, tampaknya syarat khusus jadi GB, merupakan hal tersulit yang harus dipenuhi pengusul jika ingin diterima jadi GB.

Syarat Khusus Guru Besar

Mengacu pada Pedoman Operasional Penilaian Angka Kredit (PO/PAK), untuk pengusul GB dalam rumpun ilmu non agama yang diurus Kemendikbud Ristek, syarat khusus menjadi GB adalah memiliki artikel ilmiah yang dipublikasi di jurnal internasional bereputasi.

Selain itu, dipersyaratkan pernah mendapatkan hibah penelitian kompetitif nasional/kementerian/internasional sebagai ketua, atau kompetitif internal PT sebagai ketua, atau pernah membimbing/membantu membimbing program doktor, atau pernah menguji sekurang-kurangnya tiga mahasiswa program doktor, atau sebagai reviewer sekurang-kurangnya pada dua jurnal internasional bereputasi yang berbeda. Sementara hampir mirip dengan syarat itu, mengacu pada Keputusan Menteri Agama No 856 Tahun 2021 untuk pengusul GB dalam rumpun ilmu agama diurus Kementerian Agama (Kemenag).

Pada fase ini memang tak mudah artikel karya ilmiah dosen dapat dipublikasi di jurnal internasional bereputasi. Kata-kata bereputasi ini penting, karena tak semua jurnal ilmiah internasional bereputasi. Bahkan, jurnal internasional yang masuk kategori bereputasi pun masih banyak yang melakukan praktik predatory journals. Menerima dan mempublikasi artikel ilmiah tanpa proses blind review, bahkan tak sedikit yang berbayar mahal jika artikel ilmiah akan dipublikasi dengan cepat tanpa melalui blind review.

Pada bagian inilah pemerintah (dalam hal ini Kemdikbud Ristek dan Kemenag) menjadi penjaga gawang terakhir untuk menjamin seorang GB memang teruji memiliki keahlian di bidang ilmunya dan memiliki integritas intelektual sebagai GB. Dua kementerian yang berwenang menerima usulan GB ini memiliki mekanisme ketat dalam memeriksa berkas, terutama karya ilmiah dosen dengan membentuk tim reviewer internal.

Tim reviewer internal inilah yang akan memeriksa dengan ketat seluruh isi karya ilmiah. Pemeriksaan itu terkait dengan temuan penelitian, kebaruan penelitian, kontribusi ilmiah, reputasi jurnal bahkan sampai pada meneliti penggunaan bahasa pada karya ilmiah dosen yang mengajukan GB. Tim reviewer (baik reviewer jurnal, reviewer internal PT maupun reviewer internal kementerian) ini semacam metode obyektif yang digunakan berlapis untuk menilai kelayakan karya ilmiah seorang calon GB.

Saya menilai proses tersebut sangat penting untuk menjaga linearitas, kualitas, integritas dan keahlian GB. Proses inilah yang ingin saya sebut sebagai membesarkan guru besar. Kebesaran gelar guru besar harus disertai dengan tanggung jawab terhadap konsistensi meneliti, menulis dan publikasi karya ilmiah serta terjaga moral-integritas akademiknya sebagai ilmuwan.

Sebab, dosen itu pada hakikatnya adalah seorang peneliti yang diberi tugas mengajar dan melakukan pengabdian pada masyarakat. Kalau dosen tak meneliti, apa yang mau diajarkan pada mahasiswa? Itu pula sebabnya, semakin tinggi pangkat dosen, semakin besar komponen kum menelitinya dan semakin rendah komponen kum bidang pelaksanaan pendidikannya. Sebaliknya, semakin rendah pangkat dosen maka semakin tinggi kum bidang pelaksanaan pendidikannya dan semakin rendah komponen kum penelitiannya.

Dari sini, mau tak mau atau mampu tidak mampu, dosen yang akan mengusulkan GB dipaksa dan dituntut untuk dapat memenuhi semua syarat khusus tersebut. Syarat khusus ini semakin sulit bagi dosen yang berasal dari PT medioker yang tak memiliki Pascasarjana atau tak memiliki akses pada dunia internasional untuk riset kolaborasi atau menjadi reviewer di jurnal internasional. Sampai di sini, memang sulit, berat, tak mudah dan tak murah untuk jadi GB.

Perguruan Tinggi Jangan Lepas Tangan

Karena tuntutan syarat khusus GB tersebut suatu hal yang harus dipenuhi, mau tak mau, dosen dituntut untuk meneliti, menulis dan publikasi pada jurnal internasional bereputasi, benar-benar bereputasi. Akibatnya, dosen sebagai akademisi memang seperti berlomba-lomba menerbitkan artikel ilmiah di jurnal internasional bereputasi.

Perlombaan ini memang dapat menjebak dosen masuk pada perangkap budaya artifisial akademik. Apalagi beberapa perguruan tinggi memberi insentif pada dosen yang karya ilmiahnya dipublikasi di jurnal internasional bereputasi. Kebijakan memberi insentif itu sebenarnya bisa saja dimaksudkan agar dosen lebih produktif dalam meneliti, menulis dan publikasi atau dalam rangka memberikan penghormatan untuk membesarkan calon GB.

Namun demikian, dosen kemudian dapat terjebak pada berbagai godaan jalan pintas untuk publikasi karya ilmiah yang dipublikasi di jurnal internasional bereputasi. Akibatnya, beberapa jasa penawaran publikasi cepat karya ilmiah di jurnal internasional bereputasi atau jasa calo penulisan karya ilmiah bermunculan. Padahal, tak semua jurnal internasional bereputasi, memang benar-benar bereputasi. Banyak jurnal bereputasi juga merupakan jurnal predator.

Sayangnya, PT juga sering luput mencermati fenomena munculnya jalan pintas publikasi karya ilmiah di jurnal internasional sebagai syarat khusus menjadi GB.

Sayangnya, PT juga sering luput mencermati fenomena munculnya jalan pintas publikasi karya ilmiah di jurnal internasional sebagai syarat khusus menjadi GB. Akibatnya banyak dosen pengusul GB jadi korban, usulannya ditolak karena karya ilmiahnya dipublikasi di jurnal predator. Atau karya ilmiahnya dinilai buruk oleh reviewer. PT sendiri dirugikan karena gagal menambah GB yang sangat bermanfaat untuk pengembangan keilmuan dan kelembagaan.

Kerugian tersebut sebenarnya tak perlu terjadi dan dapat dihindari jika PT memberikan perhatian khusus pada hal-hal yang terkait dengan kemampuan academic writing dosen. Sebab, tampaknya tak sedikit pula dosen pengusul GB yang tak memiliki kemampuan meneliti dan menulis sesuai standar ilmiah jurnal internasional bereputasi, yang benar-benar bereputasi. Masih banyak dosen yang belum menyadari saat ini karier akademik mereka berada di bawah rezim jurnal internasional bereputasi.

Oleh karena itu, semangat dosen menjadi GB dan keinginan PT menambah GB tak boleh dipatahkan dengan berbagai klaim dan tudingan seperti kemunafikan dan prostitusi akademik. Untuk itu, PT sebaiknya memiliki rencana yang sistematis dan menyediakan anggaran yang besar. Rencana tersebut dapat dirancang dengan memulai membidik dosen potensial menjadi GB.

Agar lebih aspiratif dan akomodatif, dapat pula dimulai dengan membuka pendaftaran calon GB. Para calon GB yang dibidik atau yang sadar untuk mendaftar menjadi GB itu kemudian dimasukkan dalam program khusus. Program khusus akselerasi ini kemudian dirancang secara lebih detail lagi terkait dengan program, kegiatan, indikator, pemantauan, pendampingan dan evaluasinya secara berkala.

Tentu saja proses ini membutuhkan dana yang tak sedikit. Pada aspek ini, PT dapat merancang skema anggaran khusus untuk melahirkan GB. Sementara Kemdikbud Ristek dan Kemenag juga mendukung dengan membuat program hibah institusi kompetitif pada berbagai program akselerasi GB untuk PT.

Sedangkan dosen potensial yang ingin menjadi GB akan benar-benar berpeluang besar menjadi GB yang berkualitas dan berintegritas. Tetap meneliti, menulis dan publikasi karya ilmiah kendati mereka telah meraih GB. Bukan memilih berhenti meneliti, menulis dan publikasi karya ilmiah karena sudah merasa nyaman, tenang mendapat tunjangan gaji, terhormat menyandang gelar GB, dan merasa senang disapa oleh kolega dengan sebutan, Prof (Profesor).

(Artikel ini telah dimuat di kolom Opini Kompas.id edisi Jumat, 4 Februari 2022 oleh Kompas.id dengan judul "Membesarkan Guru Besar")