Berdoa Enam Iman
DI TELINGA mungkin asing, dan tidak biasa, lima tokoh agama saling bergantian di podium, terlihat di daring dan luring. Lima pemuka agama maju ke podium berdoa menurut agama masing-masing. Pemuka Islam, seorang kyai maju mengucapkan syukur dan melantunkan shalawat: Berdoa demi keselamatan bangsa dan negara dan berdoa agar covid-19 segera berlalu. Pemuka Kristiani, atas nama Bapa di Surga dan Ruh Kudus, memperkuat segera. Damai di dunia ini dan damailah bangsa Indonesia. Hati dingin, dan damialah semua.
Pemuka Hindu melafazkan mantra kesucian, berdoa untuk alam dan manusia. Memperkuat pemuka Kristiani dan Muslim terdahulu. Sanskrit kuno pun terucap di pembuka dan penutup, sebagaimana pemuka Islam mengucap bahasa Arab untuk puji Tuhan dan puji Utusan. Syukur Alhamdulillah, tentu berkorelasi dengan Om Swastiastu. Rabbana atina fi dunya hasanah, sama-sama sucinya dengan Om Santi Om bagi yang mengimaninya masing-masing. Bapa di Surga bagi Kristiani, dan shalawat dan salam bagi Muslim.
Pemuka Buddha memperkuat dengan keselamatan dan kebahagiaan universal bagi semua makhluk dan alam semesta. Pemuka Konghucu mendukung keselamatan dan perdamaian dengan ucapan tidak kalah syahdu dan khusuknya. Itu idealnya dalam kehidupan beragama, semua berdoa menurut ajaran masing-masing. Satu imam membahasakan imannya. Imam yang lain memperkuat dengan bahasa yang berbeda.
Dari salam pun, sejak era ini, sudah menunjukkan toleransi, keragaman dan kebhinekaan. Assalamualaikum, Berkah Dalem, Om Swastiastu, Namo Buddhaya, Salam Kebajikan, Shalom dan lain-lain. Pemandangan dan penampilan 5 iman itu cukup menyejukkan. Itulah yang diharapkan dari Indonesia negeri penuh agama, penuh iman, beragam doa, berbeda-beda ibadah, dan harapan-harapan sesuai dengan keyakinan. Lima pemuka agama di podium yang sama cukup menyejukkan. Seharusnya begitu dalam kehidupan nyata.
Pemandangan seperti ini tampak dalam Rakernas (Rapat Kerja Nasional) Kementrian Agama RI 2022, yang dilaksanakan di Surabaya. Dibuka oleh Mentri Agama, sambutan oleh Ketua komisi VIII DPRI RI, dan ringkasan kinerja dari Sekretaris Jendral Kementrian Agama. Kementrian Agama sekarang ini menitikberatkan pada program istimewa moderasi beragama. Praktek moderasi beragama yang paling nyata bukan pada tataran konsep, bukan pula pada perdebatan, presentasi, dan diskusi-diskusi di ruang seminar.
Praktik moderasi beragama adalah tampilan dan sikap nyata sebagaimana dalam Rakernas tersebut. Toleransi bukan untuk dipikirkan dan diucapkan saja. Toleransi adalah praktek dan sikap yang terasa dan dialami. Lima pemuka agama dan doa bersama sangat menggema. Belajar tanpa harus serius dengan materi dan teori, tetapi praktik sesungguhnya.
UIN Sunan Kalijaga, kampus yang kebetulan saya diberi amanah untuk momong sebagai Rektor, sangat sejalan dengan praktek pada raker Kemenag tadi. UIN Sunan Kalijaga sangat bangga bersama Kementrian Agama bahwa moderasi beragama selalu terkait erat dengan dialog dan persahabatan antar agama. Bukan satu agama saja, bukan satu kelompok saja, bukan satu ummat, saja tetapi beragam, berbeda, dan berbilang.
Dialog mungkin terasa elite dan memang begitu. Kesannya sangat tempo masa lalu, dimana para insan kampus atau aktivis LSM mengadakan seminar atau workshop dengan tema akademis dan masing-masing narasumber berbicara dengan bahasa filosofis, teologis, sosiologis, atau ilmu-ilmu murni dan terapan lainnya. Dialog mendorong para pemimpin atas tetapi agak sulit difahami akar rumput. Dialog selama masa lalu dilaksanakan di kelas, ruang seminar, hotel, dan tempat-tempat yang kurang menjangkau.
Dalam Rakernas itu kebetulan KH Yahya Cholil Staquf, Ketua Umum PBNU, hadir dan menyejukkan hati. Menurut beliau, Indonesia memerlukan kearifan dan kebijakan seperti ini. Hemat beliau, tidak hanya antar umat beragama, harmoni dan kerukunan juga harus hadir dalam agama yang sama.
Istilah Kiai Staquf adalah perkauman dalam satu agama, seperti NU dan Muhammadiyah dalam Islam. Faktanya dalam satu agama ada banyak kelompok. Kemenag adalah representasi nyata dari banyaknya perkauman dalam agama. Tantangan tidak hanya rukun antar ummat beragama, tetapi juga internal agama dengan adanya perkauman tadi.
Kita punya agenda membangun kerukunan umat beragama, tegas Kiai Staquf. Kerukunan penting dalam masyarakat heterogen. Setiap kelompok merupakan bagian dari satu kesatuan masyarakat. Masing-masing harus merasa aman dari ancaman. Rukun artinya tidak saling mengancam dan memberi rasa aman. Semua harus adil dan transparan.
KH Staquf memberi contoh hari suci Nyepi di Bali yang jatuh di hari jumat. Muslim harus harus Shalat Jumat, sementara ummat Hindu menghendaki suasana nyepi yang kondusif. Inilah harmonisasi yang sudah terjadi. KH Staquf memberi petuah bahwa dalam satu agama ada keragaman yang kadangkala sudah problematis. Misalnya, dalam Islam masih terjadi diskusi saat menjelang penentuan melalui Hisab dan Rukyat.
Kita hendaknya melepas beban masa lalu. Kita harus meninggalkan politik aliran. Dalam politik identitas keagamaan bisa berbahaya. Petuah dan nasehat KH Staquf sangat jujur, elegan, faktual, dan mendinginkan. Penampilan yang tenang, jernih, rasional, dan menjadi panutan ummat.
(Artikel ini telah diterbitkan di halaman RMOL.ID, 15/2/2022)