Sambutan Rektor pada Pengukuhan Guru Besar Prof. Dr. Mahmud Arif, M.Ag.

Pendidikan Karakter dan Etika Manusia

Oleh: Prof. Dr. Phil. Al Makin, M.A. (Rektor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)

وَاِنْ تَدْعُوْهُمْ اِلَى الْهُدٰى لَا يَسْمَعُوْاۗ وَتَرٰىهُمْ يَنْظُرُوْنَ اِلَيْكَ وَهُمْ لَا يُبْصِرُوْنَ - ١٩٨

خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَاَعْرِضْ عَنِ الْجَاهِلِيْنَ - ١٩٩

وَاِمَّا يَنْزَغَنَّكَ مِنَ الشَّيْطٰنِ نَزْغٌ فَاسْتَعِذْ بِاللّٰهِ ۗاِنَّهٗ سَمِيْعٌ عَلِيْمٌ - ٢٠٠

Dan jika kamu mengajak mereka pada hal-hal yang yang terarah, mereka tidak dapat memperhatikan. Dan kamu lihat mereka memandangmu padahal mereka tidak perduli.

Jadilah pemaaf dan suruhlah mengerjakan yang baik, serta jangan perdulikan orang-orang yang tidak perduli.

Dan jika setan datang menggodamu, maka berlindunglah kepada Allah. Sungguh, Dia Maha Mendengar, Maha Mengetahui. QS. Al A'raf: 198-200

Mari ucapkan syukur kehadirat Allah atas nafas kita hari ini, masih bisa hidup dan diberi kesempatan untuk mengikuti pengukuhan ini.

Saya mengenal Prof. Mahmud Arif orang yang ramah, telaten dan rajin. Maka mari syukuri anugerah Guru Besar beliau. Ini adalah pengukuhan Guru Besar pertama tahun 2022. Saya senang membaca dan mendengar pidato yang berjudul “Pendidikan akhlak profetik, penguatan paradigma akhlak dalam Pendidikan Islam”. Prof. Mahmud Arif mengangkat pentingnya akhlak. Dalam hal ini menekankan tentang adanya akhlak profetik.

Prof. Mahmud Arif dalam pidato itu adalah benar-benar produk kita dan mewakili pergulatan pemikiran Sapen. Beliau dibesarkan dan ditumbuhkan dalam lingkungan Sapen, mazhab Yogyakarta. Pendapat-pendapat beliau berisi kritik wacana umum dan publik dan dukungan terhadap pemahaman agama versi mazhab Sapen yang sudah lama dirintis sejak Prof. Mukti Ali di sisi Timur dan Prof. Hasbi Ash-Shiddiqiey di sisi Barat.

Isinya, pendapat yang moderat, toleransi, humanis yang menekankan pemaknaan ulang atas ajaran agama, kritik terhadap praktik ritualistik dan fiqhiyyah. Kita lihat pada pengukuhan Prof. Agus Najib tentang pentingnya Ushul Fiqh baru, dan kita lihat sekarang ini tentang pentinya mengulang kritik itu dalam konteks pendidikan kita. Mari kita lihat satu persatu.

Berikut kritik yang umum bisa dijumpai menurut Prof. Mahmud Arif (hlmn 7). “Salah satu faktor penyebab Islam banyak disalahpahami adalah keberagamaan umat yang kurang menampilkan wajah humanis, toleran, dan moderat.” Kemudian lanjutnya, pada halaman yang sama, “Islam kemudian menjadi agama yang paling disalahpahami karena sikap dan perilaku umatnya seringkali kontradiktif dengan tuntutan akhlak islami, seperti jujur, sabar, adil dan toleran. Kenyataan ini tentu mengundang keprihatinan banyak pihak.”

Prof. Mahmud Arif juga menyoroti media sosial secara khusus, pada halaman 8.:

“Hal ini terlihat, misalnya, dari penggunaan sosial media untuk mem-bully, menyebarluaskan berita hoax, memprovokasi, menebar kebencian, mencari korban penipuan, mengakses konteks “sekwilda”, dan sejenisnya. Pendek kata, penggunaan sosial media pun banyak menabrak norma, melanggar aturan, mengumbar aurat, dan pelbagai Tindakan tidak bertanggungjawab lainnya.”

Prof. Mahmud Arif mengajak kembali pada dasar Al Quran, Hadits dan pendapat para ulama tentang ini, dari Quraish Shihab, an-Nahlawi, al-Qaradawi, al-Kilani, Nashif, al-Utsaimin. Akhlak itu diingatkan seperti ketakwaan, moderat, kebaikan. Dia juga mengingatkan bahwa misi agama adalah akhlak (hlmn. 10). Banyak simbolik dan ritual tidak dibarengi akhlak, hlmn. 11: “akan tetapi tak jarang sebagian penganut agama kemudian menganggap aktivitas formal-simbolik itu sebagai ‘tujuan’ dan abai terhadap maksud sejatinya”.

Prof. Mahmud Arif mengingatkan bahwa Quran adalah kitab akhlak. Di halaman 18 dalam naskah pidato itu, dia menyimpulkan bahwa Kitab Suci itu berisi dua hal: pengetahuan dan akhlak. Ia juga mengingatkan landasan tentang akhlak nabi.

Pada halaman 23, Prof. Mahmud Arif mengaitkan pendidikan dan akhlak. Kritik yang tajam bisa dijumpai pada halaman 24 tentang Syariah, bukan fiqh semata. “Fiqih jelas tidak sama dengan syariat”. Ini mengingatkan kritik para cendikiawan dan sesepuh IAIN Sunan Kalijaga yang selalu mengingatkan kembalinya pada esensi bukan pada kulit. Dan juga kritik modernisme awal dari para pemimpian bangsa seperti Sukarno. Hingga kini banyak pesoalan tidak inti menjadi inti: jenggot, cadar, sorban sebagai parameter kesalahan (hlmn 24).

Saya kira cukup berani lantaran di hlmn 25 bahwa “meninggalkan fiqih untuk persaudaraan”. Prof. Mahmud Arif memberi contoh tentang membaca basmalah tidak perlu keras. Ini mengingatkan polemiktentang penggunaan pengeras suara di kalangan publik dan Kementerian Agama. Bahwa suara keras tidak selamanya benar. Saya juga ikut terlibat dalam polemikitu.

Pada hlmn 27 kita lihat kritik terhadap ritual, bahwa agama justru terletak pada muamalah. Akhlak sebagai pondasinya. Dalam hal ini Mahmud Arif kembali pada Arkoun tentang ideologi perang, hitam putih, kawan atau lawan. Banyak permusuhan antar bangsa. Mahmud Arif juga kembali pada Erich Fromm tentang authoritarian religion dan humanitarian religion (hlmn 29). Radikalisme adalah melupakan pondasi kemanusiaan ini.

Prof. Mahmud Arif juga menyitir pada kritik populer tentang takfir (hlm 33). Dan juga melihat kembali Konbes NU di PP. Miftahul Huda al-Azhar, Banjar Barat Maret 2019 yang merekomendasikan istilah kafir tidak tepat pada system kewarganegaraan kita. Istilah kafir lebih keras, non-Muslim lebih halus.

Mahmud Arif juga mengingatkan tentang konsep kebhinekaan (hlmn 38). Juga pentingnya toleransi (hlmn 40). “Toleransi sangat dibutuhkan dalam kehidupan yang majemuk, baik pada level individu maupun level masyarakat, sebagai sikap menerima, menghargai dan mengapresiasi keragaman”.

Thesis utamanya adalah akhlak profetik (hlmn 40). “…pendidikan Islam dirumuskan sebagai kegiatan memelihara fitrah insan didik, mengembangkan potensi, dan mengarahkannya secara bertahap (hlmn 41). Kata kunci rahmah (kasih sayang) beliau tekankan. “Penegasan ini mengkonfirmasi bahwa rahmat menjadi salah satu nilai inti misi profetik menyempurnakan akhlak (hlmn 45). Selanjutnya: “Tercakup didalamnya banyak nilai karakter seperti: toleransi, cinta damai, peduli sosial, peduli lingkungan, menghargai prestasi, dan bersahabat” (hlmn 45).

Beberapa kesempatan dalam pidato saya mengulang Pendidikan yang terdiri dari empat hal: yaitu, 1.) Etika, 2.) Estetika, 3.) Kognitif/pengetahuan, 4.) Olahraga.

Tentu Prof. Mahmud Arif menekankan tentang aspek yang pertama.

Etika sudah menjadi bahan pembicaraan filsafat era Plato dan Aristoteles, dua ribu lima ratus tahun yang lalu. Nabi Muhammad 1500 tahun lalu menjadi model akhlak mulia. Marcus Aurelius 2000 tahun lalu juga dianggap sebagai figur raja filsuf yang sempurna.

Begitu juga para filosof Muslim dari mulai al-Kindi hingga al-Suhrawardi, membaca Kitab Suci Quran yang lebih kemudian, dan kembali pada masa kuno Yunani dan Romawi. Kalau mengikuti pengajian Ihya’ Ulumuddin, banyak sekali disinggung tentang etika. Al-Ghazali sangat popular di Indonesia, sebagai tokoh sunni tasawuf dan versi ringan filsafat.

Jika Prof. Mahmud Arif mengajak kembali pada Kitab Suci dan bagaimana tafsirnya, dan menafsirkan ulang, perlu diingat bahwa etika itu berkembang dari zaman ke zaman. Saat ini etika jauh berkembang, dan tidak sama lagi dengan ribuan tahun lalu. Seperti Prof. Mahmud Arif tekankan: toleransi, hak asasi manusia, gender, lingkungan. Zaman dahulu era kerajaan, dinasti, khilafah, raja dan penguasa pemegang kekuasaan tertinggi. Oposisi dengan mudah dibunuh. Sekarang sudah ada demokrasi modern sudah tidak bisa lagi.

Akhlak era android tidak sama dengan era seribu lima ratus tahun lalu. Akhlak bisa digali dimana saja, bahkan era sebelum itu, dari berbagai tradisi. Plus saat ini mendapat keuntungan media dan ekpos yang tinggi terhadap berbagai temuan. Akhlak harus diperbaharui. Akhlak lama sudah perlu ditafsir ulang. Akhlak baru perlu ditemukan dan dirumuskan ulang.

Seperti kata demokrasi itu sendiri yang berusia 2500 tahun. Etika lebih tua lagi, tetapi praktiknya demokrasi modern sudah ramuan manusia modern, tidak sama dengan demokrasi di Athena, republic di Roma, atau khilafah di Baghdad, atau praktik kerajaan Majapahit. Demokrasi modern itu sudah ciptaan dan temuan serta pandangan baru. Pemilu adalah barang baru dengan sentuhan teknologi dan keterbukaan baru, media dan media sosial menjadi alat baru dalam mengontrol demokrasi. Dua ribu tahun, seribu tahun lalu tidak ada itu.

Demikian juga etika, seperti akhlak. Akhlak saat ini sudah berbeda dan sudah berkembang tidak sama lagi dengan akhlak seribu lima ratus tahun lalu. Akhlak mengamati perkembangan dan evolusi. Maka pilihan kita adalah memperbaharuinya. Betul kita kembali pada dasar kita agama kita. Tetapi hanya kembali tidak cukup. Perlu kreativitas. Dulu tidak ada HP, pesawat, internet, instagram, twitter. Saat ini bully, humanism makna baru.

Prof. Mahmud Arif masih menekankan hubungan antar manusia. Hubungan antar manusia sekarang jauh lebih kompleks, zaman kompetisi global, tidak sama dengan masa seratus tahun, atau seribu tahun, atau seribu lima ratus tahun di Hijaz, Makkah dan Madinah. Maka hubungan antar manusia perlu definisi ulang. Banyak tema dan isu baru muncul dalam jangka 50 tahun terakhir.

Yang perlu mendapat perhatian ada dua hal akhlak: 1.) Hubungan manusia dengan makhluk lain, binatang dan tumbuhan; 2.) Hubungan manusia dengan alam raya. Dua hal ini baru. Tentu dasar-dasar ada dalam Kitab Suci dan pendapat para ulama pendahulu. Tapi zaman itu belum ada Nebula, exoplanet, hubble space, James Watt, genetic, rekayasa tanaman, big bang, galaksi, alien, bahkan jumlah planet saja baru berusaha seratus tahun.

Galaksi saja baru abad terakhir. Apalagi kluster galaksi. Kerusakan lingkungan, berubahnya udara, panasnya temperature, mencairnya es di kutub, hilangnya banyak spesies dan tanaman juga tidak ada. Semua baru, manusia memang manusia yang baru, juga pemikiran dan apa yang dipercaya dan diyakininya. Semua barang baru, semua perlu diperbarui.