Sambutan Rektor pada Pengukuhan Guru Besar Prof. Dr. Tasman Hamami, M.A.

Dinamika Mazhab Sapen, Pandangan Lain Atas Isu Postmodernisme

Oleh:Prof. Dr. Phil. Al Makin, M.A. (Rektor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)

وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُوْنَ لِيَنْفِرُوْا كَاۤفَّةًۗ فَلَوْلَا نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِّنْهُمْ طَاۤىِٕفَةٌ لِّيَتَفَقَّهُوْا فِى الدِّيْنِ وَلِيُنْذِرُوْا قَوْمَهُمْ اِذَا رَجَعُوْٓا اِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُوْنَ ࣖ

Dan tidak sepatutnya orang-orang mukmin itu semuanya pergi (ke medan perang, makna baru birokrasi, administrasi, atau peran sosial, masyarakat atau politik semua). Mengapa sebagian dari setiap golongan di antara mereka tidak pergi untuk memperdalam pengetahuan agama mereka (menjadi ilmuwan, peneliti, GB, dan betah dengan buku-buku) dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali, agar mereka dapat menjaga dirinya.

UIN Sunan Kalijaga untuk bangsa, UIN Sunan Kalijaga mendunia,

Mari kita bersyukur ini pengukuhan Guru Besar dari Tarbiyah yang ke empat masa kepemimpinan rektorat saya, Prof. Sangkot Sirait, Prof. Sumarni, Prof. Mahmud Arif kemarin dan Prof Tasman sekarang ini. Luar Biasa dalam masa saya, Tarbiyah sudah menyumbang 4 Guru Besar. Tepuk tangan untuk kepemimpinan Bu Dekan Prof. Sri Sumarni, sudah memprofesorkan diri sendiri, dan tiga rekan-rekannya.

Mari syukuri

Saya akan bercerita persinggungan saya dengan Prof. Tasman. Saya tidak begitu banyak langsung satu tim dalam pingpong, tenis, atau renang, beliau orang baik, khusuk dan serius, kecuali beliau menjadi Wakil Rektor II era Prof. Amin Abdullah. Beliau Tarbiyah di seberang sana, saya di Ushuluddin. Saya lebih mengenal asal usul pesantren dan Madrasah dimana Prof. Tasman tumbuh dan berkembang, Pesantren MWI Madrasah Wathoniyah Islamiyah Kebarongan.

Saya berkunjung pertama kali tahun 1994 menghadiri pernikahan Bu Dekan Inayah Ushuluddin, saya naik mobil bersama rekan-rekan Ushuluddin dan beberapa dosen Ushuluddin merayakan walimah Bu Dekan. Waktu itu saya masih mahasiswa.

Setelah itu saya akhirnya jatuh cinta dan menikah dengan orang Kebarongan, istri saya. Saya berjumpa di Montreal, saya lihat mata bulatnya yang indah. Menyapa saya dengan ramah. Saya dekati. Jadilah istri saya. Saya menikah di sana. Bu Dekan Inayah pun waktu itu sempat menengok saya, dengan Bu Ema, Bu Ruhaini, Pak Chumaidi. Pak Prof. Yudian, adalah wali saya. Bu Prof. Aryani juga.

Setelah itu saya mengenal lebih dekat lagi MWI Kebarongan. Saya pulang dari Montreal dan mengenal kecamatan Kemranjen. Pesantren yang khas klasik, dengan kurikulum agak sedikit beda dengan pesantren saya sendiri di Jawa Timur, baik langgar saya atau pesantren saya belajar dulu. Ada persamaan, tentu, tetapi kitab-kitab Nahwu dan Sarfnya agak beda. Kami menghafal Imriti, Alfiyah, dan fiqh nya Fathul Qarib, dan tafsirnya Jalalayn. Di Kebarongan saya dengar Nahwu al-Wadih, Fathul Majid, dan Kitab Risalah Muhammad Abduh. Sangat modernis, bagi saya, sesuai dengan semangat nasionalisme era abad ke-20 yaitu modernisasi dan menunjukkan jati diri rasionalitas Muslim berlandaskan teks.

Ini lagi bedanya, pesantren saya dan pesantren Kebarongan. Pesantren saya bertumpu pada tradisi, menghafal, berdoa, bersenandung. Membutuhkan waktu lama untuk belajar kitab dan mengenal bahasa Arab. Di MWI Kebarongan tampaknya sudah rasional, dan modern. Mengkaji Nahwu dan Sarf tidak tradisional. Berfikir lebih ringkas. Dasar dan dalilnya tampaknya langsung ke Quran dan Sunnah, tidak berkelok ke tradisi yang Panjang.

Kita juga baca misalnya disertasi Bu Dekan Inayah tentang Kebarongan. Ada dua akhirnya pesantren itu menjadi Karangduwur Petanahan Kebumen dan Kebarongan Kemranjen Banyumas. Keduanya agak berbeda lagi. Karangduwur lebih tegas lagi, kiblatnya lebih ke Timur Tengah. Kebarongan masih mengakar pada masyarakat lokal. Saya sering menyusuri sungai buatan Belanda dan bendungan Untuluwuk. Konon istri saya dulu sering duduk-duduk di situ. Saya sering naik bukit kecil di sebelah pesantren untuk melihat laut selatan berjarak 30 kilo. Saya sering bermain bulutangkis Bersama adik bu Dekan, Mas Wafir atau Mas Heri, atau bermain pingpong.

Disitulah saya kira Prof. Tasman berkembang. Saya juga mengenal beberapa alumni Kebarongan, seperti Alm. Janan, dan kawan bermain saya sekelas juga beberapa alumni Kebarongan dan para aktivis dan pegawai Kementerian agama. Kontribusi Kebarongan tidak diragukan lagi skala Kementerian Agama, PTKI dan bahkan nasional.

Pidato pengukuhan Guru Besar Prof. Tasman saya kira bernada Kebarongan. Judulnya saja “Penting Memikirkan Pendidikan Islam Holistik-Integratif berbasis al-Quran.” Judul sudah menyiratkan Kembali ke dasar sebagaimana M. Abduh, al-Afghani dan tokoh-tokoh modernitas abad dua puluh awal menyerukan.

Setiap pidato Guru Besar coba saya pahami dan lama-lama saya petakan. Prof. Sangkot, Prof. Marni, Prof. Mahmud Arif, semua bernada ushuluddin, Mukti Ali dan Amin Abdullah. Prof. Najib bernada Hasby Asshiddiqy dan Yudian Wahyudi. Prof. Burdah sedikit lain tentang keadaban, Timur Tengah dan relasinya dengan kita. Tapi semuanya tadi tentang keragaman, toleransi, humanisme, dan pentingnya reinterpretasi dan campur tangan ilmu-ilmu lain untuk melihat agama kita. Agama kita perlu didekati dengan ilmu lain. Dan bagaimana kita memahami dan mempraktekkan agama itu berkembang. Melihat agama pun, berupa pendekatan dan teori, apalagi berkembang dan harus dikembangkan dengan sengaja.

Prof. Tasman merupakan partner, atau counter, dari argument itu. Inilah sehatnya dialog. Prof. Tasman berbeda dengan rekan-rekan mereka bertiga dari Tarbiyah itu. Prof. Tasman menawarkan holistic dan integrative Kembali pada teks Quran.

Apa yang dimaksud dengan holistic?

Kita hadirkan kutipan Prof. Tasman: “Semua anak dilahirkan dengan bekal potensi kecerdasan intelektual, emosional dan spiritual” (hlm 13). Lalu dia jelaskan lagi, “Pendidikan holistic meliputi: kognitif, sosial, emosional, pisik, estetis dan spiritual” (hlm 14). Selanjutnya, “aspek lainnya dalam Pendidikan holistic adalah interkoneksi dan spiritualitas sebagai inti kehidupan dan pusat pendidikan serta transformasi dalam proses belajar” (hlm 15).

Jelas sekali Kembali pada spiritual, yaitu agama. Sebagaimana judul diatas, Kembali ke Quran. Walaupun dalam retorika dan teori, Prof. Tasman merujuk pada pemikir non-Quran: Miller, Patel, Gardner, Goleman, Clarken, dan lain-lain. Tetapi mereka itu untuk mengantarkan kepada kemenangan spiritualitas. Manusia itu utuh, tidak terpecah-pecah, maka “Pendidikan ini berfungsi mengembangkan potensi anak secara totalitas untuk membentuk pribadi manusia yang seutuhnya melalui hubungan anak dengan masyarakat, alam, dan nilai-nilai kemanusian, seperti kasih sayang dan perdamaian (hlm 15)”.

Apa itu integrative?

Di sini tampaknya Prof. Tasman menyinggung tradisi Ushuluddin Prof. Amin Abdullah, Kuntowijoyo, namun ramuan ampuhnya sebagai pamungkas adalah al-Faruqi, islamisasi pengetahuan (hlmn 18): Keesaan Allah, kesatuan ciptaan, kesatuan kebenaran, kesatuan kehidupan, dan kesatuan ummat. Tentu ini bernada Muhammad Abduh, seperti ringkasan dan penegasan Risalat Tauhid. Keesaan dan tauhid dijabarkan ulang, sebagaimana mungkin MWI Kebarongan juga mempunyai tradisi seperti itu. Ilmu disatukan jadi satu, pada tauhid. Semuanya satu. Dan Kembali pada Quran. Pendidikan Barat dan Islam disatukan, lalu menegaskan keislmanannya.

“Pemikiran dan Gerakan islamisasi pengetahuan al-Faruqi merupakan salah satu bentuk terobosan baru di tengah-tengah perkembangan ilmu sekuler, ehingga penting diperkenalkan kepada para mahasiswa agar mereka memahami bahaya pandangan sekuler yang menyebabkan runtuhnya peradaban masa lalu, sehingga pengalaman itu tidak terulang di masa depan” (hlmn 19).

Saya kira itu sudah tegas. Bahkan kritik Prof. Tasman, islamisasi dihindari cendikiawan Muslim dengan istilah lain: desekularisasi, dewesternisasi, desakralisasi, resakralisasi dan integrasi holistic pengetahuan (hlm 19). Perlu disinggung juga purifikasi masih berperan di sini. “Purifikasi bermakna pembersihan atau penyucian, yaitu penyesuaian ilmu pengetahuan dengan nilai dan ajaran Islam secara menyeluruh” (hlmn 20).

Jadi senada dengan Muhammad Abduh, saya kira Prof. Tasman mengajak Kembali pada Quran dan Sunnah: “Al-Quran dan Hadits merupakan sumber ide dan pemikiran berbagai aspek kehidupan manusia, termasuk Pendidikan Islam” (hlm 21).

Selanjutnya bisa dinikmati sendiri. “Pendidikan Islam berbasis pada ajaran dan nilai-nilai Islam berkembang sebagai aktivitas Pendidikan yang berbudayakan agama, yaitu menjadikan Al-Quran dan Assunnah sebagai sumber utama” (hlm 27). Kemudian bisa kita lihat penegasan lagi, “Pengembangan pendidikan Islam berbasis paradigma Al-Quran menempatkan Al-Quran sebagai sumber utama Pendidikan Islam” (hlm 31).

Tetapi saya bersyukur pada halaman 33, beliau mengatakan seperti ini: “Tetapi penafsiran terhadap Al-Quran selalu terbuka, sehingga AL-Quran terus menerus akan menghasilkan makna yang luas untuk menyelsaikan problem-problem yang dihadapi oleh umat manusia yang terus berkembang dan berubah” (hlm 33).

Jadi tidak Kembali langsung pada Quran tekstual, tetapi semangat Fazlur Rahman, Nurcholish Madjid, Busya Syafii, Amin Abdullah masih kita tangkap. Itu tafsir, dan tafsir masih bisa didiskusikan.

Kita beruntung dengan melaksanakan pengukuhan Guru Besar satu persatu. Mari kita rayakan tidak hanya seremoninya saja dengan kuantitas dan deretan. Tetapi mari kita apresiasi dan pahami pemikiran Guru Besar satu persatu. Kita lihat sumbangannya pada keilmuan kita, di Sapen mazhab Yogya, dan secara nasional, bahkan internasional. Dimana letak para Guru Besar kita di dunia intelektual ini. Pengukuhan adalah berbicara tentang riset dan pemikiran, tidak administrasi, tidak birokrasi, tetapi pada pengembangan kampus dan intelektualitasnya. Itu inti dari pendidikan.

Di Sapen kita UIN Sunan Kalijaga terdapat dinamika. Selama saya memegang amanah ini, Rektor, kita lihat dinamika penelitian para Guru Besar. pengembangan pemikiran mereka. Kita rayakan. Penggalan-penggalan itu patut kita instagramkan. Tidak hanya semata-mata perayaan dan karangan-karangan bunga. Tetapi bagaimana Guru Besar kita berkiprah dan mewarnai.

Prof. Tasman memang berbeda, bahkan sesama Tarbiyah pun beliau Kembali ke modernitas awal, sementara yang lain menarik ke arah postmodernitas. Diskusi perlu berbeda sehingga sehat. Kita tidak hanya berbicara tentang diskusi Jumat Malam Sabtu Prof. Mukti Ali, atau limited circlenya Dawam Rahardjo, Ahmad Wahib, Nurcholish Madjid dibina beliau. Tidak juga mengulang cerita lama Al-Jamiahnya Taufiq Adnan Amal dan Syamsu Rizal Panggabean dan kawan-kawan. Tetapi pengukuhan Guru Besar tidak hanya seremoni tetapi percikan-percikan, intip-intipan, gagasan-gagasan, dan lompatan-lompatan dari tradisi mazhab Yogya Sapen yang tercinta.

UIN Sunan Kalijaga untuk bangsa, UIN Sunan Kalijaga mendunia