Moral Bangsa: Sejarah dan Kesepakatan

Oleh: Prof. Al Makin (Rektor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)

Jika bangsa ini tengah galau, atau ingin sejenak merenung, tiada tempat lain untuk kembali kecuali melihat langkah awal dari perjalanan menuju bangsa. Pada saat pembentukan jiwa patriotisme, saat lahirnya cinta tanah air, dan sentimen kemerdekaan disatukan yang melahirkan bangsa ini, sumber moral bangsa menjadi bahan debat lama dan pelik.

Kemana kembali dan atas dasar apa fondasi moral itu didasarkan. Moral sebagai landasan berbangsa dan acuan berkebangsaan. Selain tokoh-tokoh kemerdekaan yang tiada pernah berhenti memikirkan ini, seperti Sukarno yang selalu menulis dan berdiskusi, ada banyak kolega-kolega dalam berbagai lingkaran yang juga ikut memikirkan.

Apa yang dilakukan Muhammad Yamin menarik. Sama dengan Sukarno, Muhammad Yamin menggali masa lalu, sejarah dan peninggalan pra-kolonial Nusantara. Yamin memilih Majapahit, kerajaan yang tepatnya adalah emporium di Jawa Timur.

Inilah sumber moral, sumber kekuatan untuk menjadi bangsa yang besar, dan simbol persatuan pulau-pulau itu dengan patihnya Gajah Mada. Sumpah Palapa yang diucapkannya, walaupun sempat dicemooh oleh pejabat yang lain waktu itu, menjadi bahan dasar penyatuan dan inspirasi bagi persatuan berbagai perbedaan.

Dua buku utama era Majapahit Negara Kertagama dan Sutasoma dikaji dalam banyak kesempatan oleh kaum cerdik cendikia. Salah satu buktinya adalah mantra Bhinneka Tunggal Ika yang ada di pita di cengekeraman burung Garuda berasal dari kitab era Majapahit itu.

Ijtihad para tokoh kemerdekaan untuk memberi dasar moral adalah sejarah bangsa, perjalanan jauh ke belakang, sebelum bangsa Eropa menapakkan kaki di Nusantara. Bagaimana dan keemasan apa yang telah dicapai ketika bangsa-bangsa Eropa belum mengatur para sultan, sebelum turut campur dalam banyak urusan politik kerajaan, dan sebelum menjadikan para penguasa lokal tradisional sebagai agen kekuasaan bagi kolonialisme. Menurut semangat patriotisme para pendiri bangsa ini, kepulauan ini pernah jaya, bahkan pulau-pulaunya pernah bersatu dalam satu komando emperium Majapahit.

Indonesia pasca Perang Dunia II, sebagai negara Republik yang mengadopsi dan mengadaptasi demokrasi modern, adalah kelahiran kembali Majapahit. Begitu kira-kira alur pikiran yang ditawarkan.

Sumber moral bangsa kedua adalah kesepakatan-kesepakatan para penggagas bangsa. Kesepakatan itu banyak didasarkan pada rasionalitas dan belajar dari bangsa lain, terutama gerakan nasionalisme Eropa.

Dalam banyak kesempatan Sukarno mengutip gagasan nasionalisme Eropa dengan lancarnya. Sukarno sering menghadirkan contoh Turki, sebagai negara besar bahkan kekhalifahan, yang bertransformasi menjadi negara republik modern. Khalifah sebagai simbol lama pemerintahan era agama dan tafsirnya dianggap sudah tidak lagi relevan. Negara modern berdasar moralitas rasionalisme, empirisme, dan kesepakatan-kesepakatan bersama merupakan satu-satunya pilihan yang mungkin.

Betul, bangsa Indonesia tidak semata-mata mendasarkan moralnya pada agama, tetapi menyepakati adanya banyak agama dalam naungan kesepakatan-kesepakatan manusia biasa. Kesepakatan itu bisa dilihat ulang, direvisi, difahami ulang, ditafsir ulang, bahkan diamandemen.

Moralitas, etika, dan akhlaq adalah bentuk kesepakatan yang rasional. Tingkah laku, ketaatan hukum, kelurusan administrasi dan birokrasi adalah buah moralitas rasional yang tidak selamanya termaktub dalam Kitab Suci agama-agama, tetapi ruhnya ada di sana. Moralitas bangsa Indonesia adalah moralitas rasional dengan ukuran-ukuran yang jelas pula. Itu idealnya, dan mungkin begitulah yang dibayangkan oleh para pendiri bangsa.

Debat diantara para pemimpin tidak pernah mulus dan mudah. Selalu saja ada pro dan kontra sebagaimana juga saat ini. Semua diskusi melahirkan sikap setuju, tidak setuju, netral, sedikit setuju, alternatif lain, dan berbagai dinamikanya. Selanjutnya para pemimpin melahirkan kesepakatan-kesepakatan yang didiskusikan secara rutin, kadangkala alot, sering bersitegang, dan akhirnya mencapai kompromi.

Inilah acuan moral, kesepakatan dengan cara memberi ruang kepada yang lain, dan menempatkan diri pada hal-hal yang berbeda. Dalam sejarahnya di era Sukarno, banyak kesepakatan-kesepakatan berbangsa itu terjadi pergeseran, bahkan pertentangan. Pemberontakan, kerusuhan, dan konflik internal bangsa sudah kita lalui. Akhirnya kembali lagi pada kesepakatan rasional dan perhitungan empiris nyata, apa yang bisa diperbuat, dan apa yang bisa menyembuhkan luka.

Tidak ada yang merasa menang mutlak, tidak ada pula yang merasa dikalahkan total. Semua mempunyai andil, sekaligus memberi andil bagi kelompok lain. Tidak ada yang mengambil semuanya, sekaligus tidak ada yang merasa kehilangan segalanya. Setiap kepentingan menyisakan ruang kepentingan lainnya. Itulah moral berbangsa yang sudah teruji dari satu pemerintahan ke pemerintahan yang lain.

Sekali memaksakan kehendak harganya adalah pertentangan. Sekali memaksakan kepentingan konsekwensinya adalah gesekan. Semua bisa diredam dengan cara melihat kembali kesepakatan itu. Kesepakatan bersama, dan bisa dipilah mana yang mutlak harus disepakati dan mana yang bisa ditafsir ulang.

Semangat ini tertuang dalam sila ke-empat Pancasila: “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan.” Hikmat sekaligus kebijaksanaan, ini sudah sesuai dengan prinsip-prinsip filsafat lama dari Yunani, India, China hingga Nusantara.

Dalam segala sesuatu kita ambil hikmahnya, bukan mudharatnya, tetapi sisi positifnya. Permusyawaratan adalah lancarnya komunikasi dari satu masa ke masa lain, dari satu golongan dengan golongan lainnya. Tidak ada yang ditinggal, tidak pula ada yang terlalu mendominasi. Semua berhak berbahagia dalam republik ini dengan caranya masing-masing.

Artikel ini telah dimuat di RMOL.ID, 19/4/2022

Kolom Terkait

Kolom Terpopuler