Tarawih UIN Sunan Kalijaga
Oleh: Prof. Dr. Phil Al Makin, M.A., (Rektor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)
Tidak ada yang tahu persis bagaimana dahulu kala, lima atau empat ratus tahun yang lalu Sunan Kalijaga melaksanakan shalat tarawih. Bahkan salah satu Guru Besar dan Rektor UIN Sunan Kalijaga (1992-1996), Prof. Simuh mengindikasikan sisi legendaris, mistologis, dan imajinasi tentang tokoh ini.
Betul, Sunan Kalijaga adalah salah satu dari sembilan wali di tanah Jawa, yang bijak, selaras, dan akomodatif. Tetapi bagaimana dan apakah betul seperti itu Sunan Kalijaga hidup sebagai aktor sejarah, apalagi bagaimana beliau melaksanakan shalat tarawih, masih menjadi bahan debat. Sejarah, arkeologi, historiografi, dan sastra mempunyai tugas menungkap ini.
Di masjid UIN Sunan Kalijaga, diambil dari nama wali ini, yang disebut laboratorium agama, para takmir, imam, khatib dan jamaah kampus mempunyai tafsir tersendiri terhadap shalat tarawih yang sesuai dengan prinsip toleransi Sunan Kalijaga. Shalat dilaksanakan dua, dua, sebanyak delapan rakaat. Kemudian imam berganti melanjutkan dua puluh rakaat.
Yang delapan rekaat melanjutkan shalat witir tiga di selasar masjid, tetap dengan menggunakan pengeras suara. Sedangkan yang dua puluh rekaat tetap di balai utama juga dengan pengeras suara. Satu waktu satu jamaah, kemudian jamaah menjadi dua. Satu selesai pulang, yang lain lanjut hingga purna.
Praktik ini menunjukkan bahwa di masjid ini, dengan dua mazhab berbeda bisa shalat bersama. Mazhab delapan rakaat dan mazhab dua puluh rakaat bisa shalat secara rapi dan tanpa ada debat dan tanpa ada yang menandai mana yang dua puluh dan mana yang delapan. Bahkan dalam beberapa kesempatan, jamaah yang dua puluh bisa bergabung yang delapan. Demikian pula, jamaah yang delapan bisa mencoba yang dua puluh.
Ini dalam bahasa studi agama-agama dan dialog antar iman termasuk praktik toleransi within the wall (di dalam rumah sendiri). Di dalam beragama dalam iman yang sama, dan dalam Nabi dan Kitab Suci yang sama terdapat kelompok yang mempunyai mazhab, tafsir dan pandangan berbeda.
Ketua Umum PBNU, KH Yahya Cholil Staquf menyebut ini sebagai perkauman. Dalam Islam Indonesia ada banyak perkauman. Tentu saja ini sudah kita sadari, karena dua organisasi utama penyangga bangsa dan masyarakat sipil era demokratisasi Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah sudah berdiri sebelum proklamasi Indonesia. Peran dan kiprah dari dua organisasi ini tidak perlu diragukan.
Namun para jamaah bisa saja berbeda dan mungkin mempunyai pandangan politik dan ekonomi yang berbeda. Saat ini, berbeda dengan tafsir Kitab Suci bisa aman-aman saja. Berbeda dalam urusan hukum Islam (fiqh atau ushul fiqh) bisa damai.
Berbeda dalam pandangan kalam (arti tauhid atau sifat, zat, tugas rasul dan ulama) bisa berdampingan. Namun berbeda dalam pilihan politik dan kesenjangan ekonomi bisa berbahaya, jika tidak dikelola dengan baik.
Perbedaan dalam tafsir agama, atau bahkan berbeda agama, saat ini sudah menjadi kesadaran. Pemerintah sejak awal menekankan ini. Kementerian agama dan seluruh Perguruan Tinggi Keagamaan Islam (PTKI) yang berjumlah 59 di seluruh provinsi di Nusantara menawarkan berbagai tafsir, fatwa, ijtihad, dan keterangan yang cukup menenangkan umat. Namun jika perbedaan menyangkut ekonomi dan politik, politik ekonomi, atau ekonomi politik, masalah menjadi rumit, tidak mudah dihadapi.
Di awal Ramadhan kita menghadapi perbedaan mulai puasa: hisab dan rukyat, atau sesama rukyat, atau sesama hisab. Perhitungan hisab seperti kalender Masehi Gregoriana, atau dengan teknologi teleskop untuk rukyat. Apakah tertutup awan, berapa derajat posisi sabitnya itu, bisa dibuktikan, dan lain-lain karena faktor alam, menimbulkan perbedaan.
Dan kita lihat ini tidak ada gejolak. Tidak ada yang mepersoalkan secara serius sahur puasa mulai hari Sabtu tanggal 2 April 2022, sebagai 1 Ramadhan, atau hari Minggunya, tanggal 3 April. InsyaAllah, Indonesia sudah tolerans within the wall.
Sebagaimana praktik dua mazhab tarawih di masjid laboratorium agama UIN Sunan Kalijaga tidak ada masalah, praktek dua mazhab mulai sahur skala nasional pun tidak menimbukan friksi. Semua aman dan terkendali. Kondisi kita damai. Situasi kita aman.
Namun jika itu menyangkut Pemilu 2024, masih banyak tantangan yang kita hadapi, bakal kita hadapi, kebijakan, kejujuran dan integritas yang kita tunggu. Saling memahami, saling mendengar pandangan, saling mempelajari situasi hendaknya melahirkan bijaksana dalam bersikap.
Demokrasi desentralistis dan Pemilu langsung baru kita nikmati semenjak berakhirnya era Orde Baru dua dekade. Kita perlu belajar banyak. Kita perlu hisab diri tentang tata kelola dan praktek. Kita perlu berfikir jernih.
Puasa Ramadhan pasca-pandemi ini saatnya untuk mawas diri semua skala dan tingkatan. Yang dipercaya dan yang mempercayai, keduanya hendaknya bertambah saling mendengar dan mengakomodasi, seperti Sunan Kalijaga, dan seperti praktek shalat tarawih menurut tafsir para jamaah UIN Sunan Kalijaga. Mungkin.
Kembali ke tokoh Sunan Kalijaga, sepertinya serat Lokajaya sudah banyak dibahas di karya ilmiah, skripsi, tesis dan disertasi. Bahkan tiga film sekaligus sudah menyingung narasi dari kisah berandal yang bertobat lalu menjadi wali tanah Jawa.
Film berjudul Sunan Kalijaga dirilis tahun 1983 disutradari oleh Sofyan Sharna dan dibintangi oleh Deddy Mizwar. Tahun 1985 Djun Saptohadi menjadi sutradara film berjudul Wali Songo.
Sunan Kalijaga diperankan oleh Sardono W. Kusumo. Tahun 1985 Sofyan Sharna dan Ackyl Anwari menjadi sutradara film Sunan Kalijaga dan Sech Siti Jenar. Deddy Mizwar tetap menjadi Sunan Kalijaga, sedangkan Ratno Timoer sebagai Seykh Siti Jenar. Sedikit banyak tiga dekade yang lalu telah membentuk siapa itu Sunan Kalijaga.
Pagelaran tradisional ketoprak, wayang, ludruk, drama radio, sinetron dan pementasan-pementasan juga sudah menampilkan sosok bijak, selaras, tolerans, akomodatif, dan nyeni itu.
Semoga kita menjadi Sunan Kalijaga menurut idealisme kita.
Artikel ini telah tayang pada laman publika.rmol.id dengan judul Tarawih UIN Sunan Kalijaga, edisi Jumat, 08/04/2022, 18:28 WIB
Baca juga: Kesadaran Berbangsa Pendidikan, Penelitian, dan Kebangsaan