Tantangan Mitigasi Covid-19 di Tengah Masyarakat Komunal, Agamis, Namun Pragmatis
Demi efektivitas mitigasi pencegahan penyebaran virus corona, pemerintah dan pihak yang berwenang hendaknya mempertimbangkan karakter masyarakat Indonesia: komunal, agamis, namun pragmatis. Kebijakan dan langkah di luar sana, jika diterapkan di sini, mungkin memerlukan beberapa penyelerasan. Catatan ini mencoba menyinggung ketiga istilah tersebut dan konsekuensinya dalam tindakan apa saja yang mungkin lebih jitu.
Masyarakat komunal
Dasar masyarakat tradisional Indonesia rata-rata adalah komunal, yaitu kebersamaan dalam kelompok. Suku dominan di pulau paling terpadat penduduknya adalah Jawa, Sunda, dan Madura. Mereka ini masih memandang pentingnya berkelompok dalam bentuk perkumpulan kecil atas dasar bahasa dan tradisi daerah. Satu dekade terakhir bahkan kita saksikan menjamurnya perkumpulan trah (garis keturunan), yang diisi arisan, pengajian, atau sekadar bercerita bersama dalam satu ikatan keluarga besar. Mudik kampung hari Lebaran sehabis Ramadan bisa menjadi ukuran. Berkumpul dengan saudara dan tetangga sudah mentradisi. Bagi masyarakat kita, kebersamaan adalah bentuk kebahagiaan. Reuni tidak hanya sebatas pertemuan kembali alumni sekolah, tetapi juga termasuk reuni keluarga. Sanak kadang yang sudah berpencar mencari karir dan kehidupan di kota-kota lain berharap untuk berbagi cerita bersama kembali tentang nenek moyang masa lalu dan melipatgandakan anak cucu sekarang.
Suku-suku lain di Nusantara juga menunjukkan sifat komunalnya, seperti Batak, Minang, Aceh, Bugis, Banjar, dan lain-lain. Masyarakat tradisional semacam itu konon dahulu kala berbasis cocok tanam dalam mengolah tanah. Wajar, ikatan antara alam dan manusia terbukti masih kokoh. Daerah kelahiran menjadi dasar utama dalam ikatan hati dan pikiran. Sifat komunalitas ini merupakan tantangan utama dalam ajakan menjaga jarak, pemerintah dan petugas hendaknya mempertimbangkan solusi bagaimana berkomunikasi dengan kelompok tidak hanya dengan individu. Jika berbicara tentang keselamatan dari ancaman virus corona, hendaknya menyinggung esensi komunitas. Jika masyarakat yang sudah migrasi ke kota besar seperti Jakarta, tentu jati diri individu berlaku dan individualisme sudah sedikit banyak merasuk. Namun, saat hari tenang sepekan ini, beberapa warga Jakarta ada yang pulang kampung ke daerah masing-masing. Keamanan komunitas kampung asal hendaknya disinggung dalam upaya mitigasi. Komunitas terkecil di desa seperti RT, RW, atau level kelurahan perlu mitigasi terstruktur dan berulang-ulang. Bahaya penularan virus corona baru ini dalam pertemuan di berbagai level di masyarakat hendaknya mulai dijelaskan secara proporsional dan mudah dimengerti.
Di masyarakat yang lebih tradisional di luar Jawa, kepala suku dan kepala adat tentu menjadi penting perannya dalam upaya penerangan perlunya menjaga jarak. Bulan-bulan ke depan ada banyak hajatan, dan itu melibatkan perkumpulan karena melibatkan undangan tamu hingga ratusan. Ada satu dua kasus pesta pernikahan di Jawa Tengah yang telah dihentikan aparat, namun kampanye berulang-ulang masih perlu digalakkan. Jika penyebaran virus di desa-desa yang minim fasilitas kesehatan terjadi, bisa dibayangkan betapa sulitnya mendeteksi dan mengobati. Di level kota kabupaten pun sudah mengalami kekurangan sumber daya ahli medis, apalagi level kecamatan dan kelurahan terpelosok. Mereka juga kekurangan alat pelindung diri (APD). Masyarakat agamis Dalam menghadapi arus globalisasi, masyarakat komunal Indonesia ternyata tidak memegangi identitas lokal kesukuan. Dalam konteks nasional, agama menjadi pilihan dalam penampilan dan jati diri. Kenyataannya, agama menyatukan banyak kelompok yang berbeda dan sekaligus wahana solidaritas global.
Agama menjadi identitas dan sangat kental dalam sektor politik dan ekonomi akhir-akhir ini. Era keterbukaan Reformasi justru ditandai dengan naiknya pamor sentimen keagamaan di ruang publik. Di lapangan nyata, baik partai nasionalis ataupun partai dengan sokongan kelompok keagamaan merapat ke sentimen itu. Secara sadar atau tidak, relasi agama dan politik telah diperkuat oleh para politisi dan tokoh masyarakat. Melambungnya sentimen ketaatan simbolis di masyarakat kita bisa dilihat dari penampilan di depan khalayak, dan giatnya pembangunan tempat ibadah. Perbincangan publik selalu mengarah pada ketaatan.
Sejauh mata memandang terlihat pembangunan fisik tempat ibadah bermunculan di mana-mana, terlepas apakah sebenarnya dimanfaatkan untuk ibadah atau belum sempat digunakan. Media elektronik dan media sosial dipenuhi dengan acara keagamaan, dari sinetron, drama, talk-show, pengajian, dan ceramah. Ini semua menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia menempatkan agama pada level tertinggi. Perkumpulan keagamaan menjadi kebutuhan. Doa bersama dan ibadah massal sedang menuai musimnya.
Mitigasi pencegahan penyebaran virus corona hendaknya melihat faktor keagamaan, dan mungkin menjadikan para tokoh agama sebagai mitra dalam penyadaran masyarakat. Para pemimpin agama hendaknya diajak bersama untuk berbicara dalam bahasa kesalehan yang mudah dimengerti. Mereka kita harapkan mengajak umat untuk menghindari ritual massal dan perkumpulan-perkumpulan.
NU (Nahdlatul Ulama) dan Muhammadiyah sudah memberi contoh, menunda muktamar besar mereka. Namun, banyak organisasi keagamaan di luar arus utama itu dan banyak kelompok di luar kendali kekuatan besar. Buktinya, masjid-masjid masih banyak yang beroperasi tanpa mempertimbangkan protokoler jarak antar jemaah. Seruan lebih intensif mungkin diperlukan. MUI (Majelis Ulama Indonesia) diperlukan dalam memberi dalil agamis dengan isi peringatan agar menjaga jarak antarindividu. Gereja, kapel, pura, wihara, dan tempat-tempat ibadah lain hendaknya juga dilibatkan dalam seruan ini.
Masyarakat pragmatis
Disamping komunalitas dan agamisnya, masyarakat Indonesia juga ditengarai pragmatis. Karakter itu bisa dijumpai dalam dimensi agama dan politik. Pragmatisme ditandai dengan mengutamakan nilai guna daripada idealitas. Dalam politik kita, terutama setelah demokrasi langsung dalam banyak gawe politik, para pemilih terkesan pragmatis, tidak idealis. Pemilu dan pilkada berjalan dengan memegang pragmatisme massa. Sudah menjadi rahasia umum, karena diperbincangkan tidak hanya di forum ilmiah, tetapi juga di warung-warung kopi, gardu-gardu ronda, dan tongkrongan lain.
Masyarakat kita mudah tergoda untuk menerima amplop dari para kandidat peserta laga pilihan lokal dan nasional, baik eksekutif maupun legislatif. Bahkan diskusi terbuka rata-rata menghitung berapa jumlah per amplop yang diterima dari para pemilih sebelum pergi ke bilik pencoblosan. Pragmatisme ini terlihat juga dalam banyak keputusan politis skala kecil dan besar, tidak hanya dalam hal memilih kandidat pemimpin. Watak pragmatisme lain bisa dilihat pada perkawinan antara agama dan konsumerisme. Ini tentu menguntungkan pasar ekonomi bagi yang menangkap itu sebagai peluang.
Banyak usaha bisnis sukses karena dikaitkan dengan faktor sentimen keimanan: biro perjalanan ziarah ke tempat suci, pemasaran pakaian simbol ketaatan, obat-obatan dan mantra-mantra penyembuhan, dan lain-lain. Toko laris di kota-kota besar terlihat pada produk fashion ke arah kesalehan. Di bandara-bandara seluruh negeri penuh sesak dengan penumpang tujuan ziarah ke Tanah Suci. Ini adalah perkawinan baru di era global, agama dan pasar ekonomi. Pragmatisme melahirkan kelenturan dan ini kesempatan bagi mitigasi penyebaran virus corona.
Pertimbangan-pertimbangan ekonomi jangka pendek dan panjang bisa diterangkan kepada masyarakat, bahwa jika virus ini mengamuk dan menjangkiti warga, siapa yang akan menggerakkan roda ekonomi kita? Efek ekonomi dari berbagai sektor, swasta maupun negeri hendaknya dijelaskan dengan mudah. Jika pemerintah China menerapkan total lockdown dalam melawan virus corona, negara-negara Eropa dengan caranya sesuai dengan struktur dan disiplin warganya, Amerika juga sesuai pilihan politis Donald Trump, Indonesia hendaknya bijak tetapi tegas. Kita pasti bisa. Lebih baik mencegah daripada mengobati.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Tantangan Mitigasi Covid-19 di Tengah Masyarakat Komunal, Agamis, Namun Pragmatis", edisi 01/04/2020, 10:14 WIB
Baca juga: Idulfitri Penyembuhan Bangsa