Risalah Sahabat: Kontribusi Prof. Syihabuddin Qalyubi dalam Studi Islam dan Arab
Oleh Kepala BPIP dan Rektor UIN Sunan Kalijaga periode 2016-2020, Prof. Drs. K.H. Yudian Wahyudi, M.A., Ph.D.
Prof. Drs. K.H. Yudian Wahyudi, M.A., Ph.D.
Prof. Syihab (panggilan akrab Prof. KH. Syihabuddin Qalyubi, BA, Dr. s, Lc, M.Ag, Dr.) adalah kakak kelas saya di Fakultas Syariah Institut Agama Islam Negeri Sunan Kalijaga (IAIN Suka), Yogyakarta. Prof. Syihab adalah angkatan 1972, sedangkan saya angkatan 1979. Prof. Syihab meraih BA (Sarjana Muda) pada 1975, sedangkan saya 1982.
Prof. Syihab meraih Drs. (Doktorandus di Belanda setara dengan MA di Barat seperti Inggris, Amerika Serikat/AS, Kanada dan Australia). Prof. Syihab termasuk salah satu lulusan Fakultas Syariah yang tepat waktu, tidak seperti saya yang tertunda 2 (dua) tahun.
Saya baru wisuda Sarjana Lengkap (sebagai terjemahan doktorandus) 1987, padahal seharusnya , seperti Akh Minhaji, 1985.
Prof. Syihab melanjutkan ke Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir, hingga meraih gelar Lc (Licence, gelar akademik Perancis, yang setingkat dengan BA). Di sisi lain, keinginan saya untuk kuliah di Al-Azhar kandas: tidak diijinkan oleh ayah karena Mesir sedang perang melawan Israel karena khawatir kena peluru nyasar.
Dengan perspektif maqashid syariah, Prof. Syihab mendahulukan akal (ilmu) dan kehormatan atas nyawa. Di sisi lain, ayah saya lebih memprioritaskan keselamatan jiwa saya daripada akal dan kehormatan (gelar Lc).
Sebagai mahasiswa Indonesia di Mesir, Prof. Syihab tentu memiliki banyak keunggulan. Pertama, bahasa Arabnya lebih mahir dan fasih. Empat tahun (1978-1982) di Mesir merupakan masa yang lebih dari cukup untuk ‘mengaktifkan’ kemampuan bahasa Arab yang beliau bawa sejak dari pesantren.
Kedua, keislamannya semakin absah karena dididik ulama, khususnya kaum Sunni tingkat dunia. Ketiga, memiliki kesempatan untuk berlibur musim panas ke Eropa (Jerman, Luxembourg dan Belanda), dengan biaya pribadi.
Keempat, keunggulan lain, yang tidak dimiliki oleh banyak mahasiswa yang kuliah di luar negeri, Prof. Syihab adalah Sekretaris Jenderal Perhimpunan Pelajar Indonesia (Sekjen PPI) Mesir 1980-1982. Seperti Prof. Syihab, saya pernah menjadi Ketua PERMIKA-Montreal (Persatuan Mahasiswa Indonesia Kanada di Montreal, 1994) dan The Founding President of Indonesian Academic Society, Montreal, Kanada (1998-1999).
Pengalaman memimpin yang diraih sama-sama setelah Sarjana Lengkap, tetapi beda level di luar negeri. Prof. Syihab meraih jabatan itu sebagai mahasiswa Sarjana Muda (Lc), sedangkan saya sebagai mahasiswa S3 (PhD student).
Sepulang dari Mesir dengan gelar tambahan Lc, Prof. Syihab tidak langsung menjadi dosen di Fakultas Adab UIN Suka, tetapi harus merangkak dari karyawan, sebagai staf administrasi Lembaga Bahasa IAIN Suka (1984) kemudian Kepala Departemen Perpustakaan dan Laboratorium Bahasa, Lembaga Bahasa IAIN Suka (1988-1989).
Setelah berjuang 5 (lima) tahun sebagai pegawai barulah Prof. Syihab diangkat menjadi dosen. Dengan bahasa maqashid syariah, Prof. Syihab, ternyata, mengalami keterbalikan prioritas gelar Lc., yang sebenarnya, tidak beliau butuhkan untuk mendapatkan jabatan (kehormatan atau al-‘irdu) dosen.
Untuk menjadi dosen di IAIN Suka waktu itu harus, minimal, doktorandus, sedangkan Lc hanyalah nafilah (nilai tambah, nilai plus). Di sinilah terlihat hikmah saya tidak diperbolehkan ayah untuk kuliah di Al-Azhar, Mesir, tetapi diterima di Program Pembibitan Calon Dosen IAIN se-Indonesia, suatu program unggulan yang dicanangkan Menteri Agama Munawir Sjadzali, MA. (yang kemudian Prof. Dr. ) dengan ‘tangan kanannya’ Dr. .Zamakhsyari Dhofier (Pak Zam) guna memperbaiki nasib dan mutu alumni IAIN, khususnya Sarjana Lengkap. Di sini, BA saya dari Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada, seperti Lc Prof. Syihab, hanyalah unsur penguat. Di sisi lain, B.A. IAIN diterima di Australia (Fachry Ali) dan Sarjana Lengkap IAIN diterima di S3 di Turki (Amin Abdullah dan Komaruddin Hidayat), di AS (Nurcholish Madjid, Cak Nur) dan di Jerman (Masykuri Abdillah), tanpa harus MA terlebih Pak Mun (panggilan akrab Menag Prof. Munawir Sjadzali) risau melihat dosen IAIN pincang yaitu sayap ulamanya, yang merupakan alumni pesantren sebelum kuliah di IAIN, bisa bahasa Arab, tetapi tidak bisa bahasa Inggris.
Sebaliknya, sayap plus alias dosen yang SLTP dan SLTA-nya bukan dari pesantren bisa bahasa Inggris, tetapi tidak bisa bahasa Arab. Mereka harus dijembatani agar menjadi ulama plus, dengan diberi kursus Arab dan Inggris selama 9 (Sembilan) bulan di Program Pembibitan.
Si ulama mendapat plus bahasa Inggris, sedangkan sayap plus mendapat plus bahasa Arab. Mereka dikirim ke Barat, bukan ke Timur Tengah, dengan, pertama, mereka (Sarjana Lengkap IAIN, apalagi yang sudah ‘di bibit’) diterima di program master (S2), bahkan program doktor (S3, seperti Cak Nur dan Masykuri Abdillah). Ini lebih baik dan sesuai dengan kebutuhan sebagai dosen, bukan Lc yang berarti menurunkan Sarjana Lengkap ke tingkat aliyah.
Kedua, meningkatkan budaya presentasi dan tulis. Ketiga, terhubung dengan dunia kontemporer di luar Dunia Islam, sehingga menambah relasi. Keempat, memperkaya pendekatan dan metodologi.
Saya kemudian dikirim ke McGill University, 1991 dan meraih MA 1993. Di sisi lain, Prof. Syihab meraih gelar M.Ag dari Program Pascasarjana (PPs) IAIN Suka, 1995, pada tahun saya kembali ke McGill untuk melanjutkan ke S3. Tiga tahun kemudian, karier struktural akademik Prof. Syihab meningkat diangkat menjadi Sekretaris Program D3 Ilmu Perpustakaan dan Informasi Islam (IPII), 1998-2000, kemudian menjadi Ketua Jurusan Ilmu Perpustakaan dan Informasi (IPI) di Fakultas Adab (2000-2004). Karir struktural akademiknya terus meningkat, sehingga diangkat menjadi Pembantu (sekarang wakil) Dekan I Bidang Akademik Fakultas Adab (2004-2007).
Upacara pelepasan masa jabatan Prof KH Syihabuddin Qalyubi (ketiga dari kanan)
Di tahun terakhir jabatannya sebagai Pembantu Dekan I itulah Prof. Syihab meraih merampungkan program S3-nya, meraih gelar Doktor dari PPs IAIN Suka. Hebatnya lagi, Prof. Syihab terpilih menjadi Dekan Fakultas Adab UIN (sejak 2004) Suka 2007, dua tahun setelah saya kembali ke kampus dari Kanada dan Amerika Serikat, dengan gelar PhD.
Di sinilah saya berteman lebih akrab lagi dengan Prof. Syihab karena pada tahun yang sama, saya terpilih menjadi Dekan Fakultas Syariah UIN Suka. Salah satu prestasi utama Prof. Syihab adalah membuka Prodi IPI (sekarang sudah meluluskan S3) dan Prodi Bahasa Inggris. Di sisi lain, saya mendirikan Prodi IH (Ilmu Hukum). Prof. Syihab mentransformasi Fakultas Adab menjadi Fakultas Adab Dan Ilmu Budaya (FADIB), saya mengembangkan Fakultas Syariah menjadi Fakultas Syariah dan Hukum (FSH).
Kami mengakhiri jabatan sebagai dekan pada 2011. Prof. Syihab tidak menjabat struktural, sedangkan saya menjadi pejabat eselon II di Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat Republik Indonesia (Kemenkokesra RI) di Jakarta, jabatan yang sudah saya dapat 3 (tiga) jam sebelum saya kalah dalam pemilihan Direktur PPs (26 Januari 2011).
Di sisi lain, Prof. Syihab ikut gigit jari. Prof. Syihab mendukung saya, tetapi harus menerima kenyataan bahwa saya kalah 5 (lima) suara untuk menjadi DirPPs. Di sinilah terbukti pernyataan Prof. Maragustam Siregar bahwa “Ora enak melu wong kalah/Ikut orang kalah itu tidak enak”. Prof. Syihab, sebagai pendukung jago yang kalah, iku memikul beban ini di kampus UIN Suka. Di sisi lain, saya berangkat ke Jakarta untuk mengemban tugas struktural baru di Kemenko Kesra (sekarang Kementerian Koordinator Bidang Kemanusiaan dan Kebudayaan, Kemenko PMK) RI. Namun demikian, beban ini semakin berat bagi Prof. Syihab karena di luar dugaannya, saya (yang baru tiga belas bulan setengah di Jakarta sudah dicalonkan untuk menjadi Sekjen Kemenag RI) justru dicopot dari jabatan saya. Saya dikembalikan ke kampus per 1 Maret 2014. Di sinilah saya merasakan kesetiakawanan Prof. Syihab. Di saat saya “terkapar”, Prof. Syihab tetap mendukung saya.
Di sisi lain, Prof. Akh Minhaji, terpilih menjadi Rektor UIN Suka 9 Oktober 2014. Prof. Syihab, juga saya, tetap tidak menjabat karena kami tidak ikut lelang jabatan Wakil Rektor (I, II maupun III), 8 (delapan) Dekan dan 1 (satu) Dir.PPs, yang dibuka oleh Rektor UIN Suka. Namun di luar dugaan, tiba-tiba Prof. Minhaji mengundurkan diri per 1 Agustus 2015, setelah menjabat kurang dari 8 (delapan) bulan sejak dilantik 6 Januari 2015.
Muncullah berbagai spekulasi tentang siapa pengganti Prof. Minhaji sebagai Rektor UIN Suka. Spekulasi-spekulasi itu belum berakhir dengan Menteri Agama Lukman Saifuddin Zuhri (Menag LHS) menerbitkan Peraturan Menteri Agama (PMA) No. 68 Tahun 2015, yang mengubah mekanisme pemilihan Rektor/Ketua Perguruan Tinggi Keagamaan Negeri (PTKN). Pemilihan Rektor tidak lagi ditentukan oleh Senat Universitas/Sekolah Tinggi, tetapi oleh Menag. Senat hanya memberi pertimbangan kualitatif yang dikirim ke Menag.
Menag kemudian membentuk Komite Seleksi yang bertugas menyeleksi 3 (tiga) besar. Menag menetapkan dan melantik salah satu dari 3 besar itu pada 12 Mei 2016, Menag LHS menetapkan dan melantik saya menjadi Rektor UIN Suka menggantikan Prof. Minhaji sehingga, dengan demikian, spekulasi pun berakhir.
Saya mempromosikan Prof. Maragustam menjadi Sekretaris KOPERTAIS (Koordinator Perguruan Tinggi Islam Swasta) Wilayah III Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Namun dua tahun kemudian, dipromosikan Prof. Maragustam menjadi Ketua Prodi S3 di Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK). Sebagai penggantinya, Prof. Maragustam mengusulkan agar saya mengangkat Wakil Koordinator (Wakor) dan Sekretaris KOPERTAIS Wilayah III DIY.
Untuk Wakor, Prof. Maragustam mengusulkan agar saya mengangkat Prof. Syihab, yang dalam ketentuannya tidak ada batasan usia maksimalnya. Prof. Syihab, yang sudah di atas usia 60 (enam puluh) tahun, enggan. Saya telpon berkali-kali, tetapi tetap menolak, hingga akhirnya Prof. Maragustam mendorong saya agar “sowan ke Prof. Syihab”.
Alhamdulillah, Prof. Syihab akhirnya berkenan setelah kami berdua menghadap di kediaman beliau, sehingga beliau menjadi Wakor KOPERTAIS Wilayah III DIY (2018-2020). Prof. Syihab merupakan satu-satunya pejabat UIN Suka yang saya “sowani” untuk saya minta kesediaannya. Prof. Syihab menjabat hingga Prof. Al Makin dilantik 10 Juli menjadi Rektor UIN Suka pengganti saya (yang dilantik Presiden Jokowi menjadi Kepala BPIP 5 Februari 2020).
Dengan demikian, Prof. Syihab telah mencapai puncak “kejadugan kontemporernya”. Prof. Syihab muda, seperti saya waktu masih di pesantren, sangat ingin memiliki kejadugan. Ilmu-ilmu gaib ini kemudian saya tinggalkan sejak saya semester pertama di Fakultas Syariah IAIN Suka.
Di sisi lain, Prof. Syihab diingatkan ayahnya agar tidak mendalami ilmu kejadugan karena ilmu ini tidak terlalu memberikan kemanfaatan bagi kehidupan duniawi maupun ukhrawi. Bisa-bisa malah salah jalan. Dari sini Prof. Syihab menapaki kejadugan versi lain, yang saya sebut “kejadugan kontemporer”.
Kejadugan versi baru ini merupakan perpaduan tiga hal sekaligus, yaitu memiliki ilmu sehingga memiliki nama-nama seperti Nabi Adam. Prof. Syihab memiliki nama-nama, yaitu gelar-gelar akademik mulai dari BA, Dr. s, Lc, MAg, Dr. hingga Prof. , bahkan KH, sehingga beliau “jadug”: “menang tanding” sehingga diamanahi memegang sejumlah jabatan di IAIN+UIN Suka.
Tentu saja, sebagai Profesor, beliau juga memiliki kejadugan ekonomi (mal). Tercapailah semua kemaslahatan daruri maqashid syariah: agama, jiwa, akal, kehormatan, harta dan keturunan. Alhamdulillah, gelar kiai sebagai salah satu simbol kepahlawan ulama sudah diterima Muhammadiyah, dengan Ketua Pengurus Pusat Muhammadiyah Prof. Chaidar Nasir, menambahkan gelar K di depan H sehingga terbaca Prof. Dr. KH Chaidar Nasir, MSc. Begitulah kira-kira peran dan kontribusi Prof. Syihab dalam lintasan perkembangan otoritas keulamaan dan pendidikan Islam.
Alhamdulillah, setelah pencarian panjang ini, sekarang pesantren dan PTKIN sudah setara dengan lembaga pendidikan di dalam maupun luar negeri. Tamatan aliyah dari pesantren sudah bisa masuk langsung ke S1 di Timur Tengah (dengan gelar Lc) maupun di Indonesia (dengan gelar Sarjana).
S1 PTKIN juga sudah bisa langsung ke S2 di luar negeri (Barat: AS, Kanada, Inggris, Perancis, Belanda, Rusia dan Australia, juga ke Timur Tengah, dengan gelar M.A. dan yang setara), apalagi di Indonesia. Bahkan, lulusan S2 PTKIN sudah bisa langsung menempuh S3 di Barat sekalipun.
Di sisi lain, sudah banyak alumni Timur Tengah bergelar Lc melanjutkan ke S2, bahkan kemudian S3, di PTKIN. Ini semua terjadi setelah Pemerintah Indonesia, khususnya Kemenag, berhasil ‘memahami’ dan ‘menerapkan’ lisan + akal + nama kaum ke dalam nama, jenjang, standar, kriteria dan gelar pendidikan Islam.
Pendidikan Islam berhasil setelah Kemenag menggunakan urf pendidikan Indonesia menyesuaikan nama, jenjang, kriteria dan gelar pendidikan Islam dengan nama, jenjang, kriteria/standar dan gelar konstitusional. Match and link dengan peraturan-perundangan yang berlaku di Indonesia, sehingga Kemenag berhasil mem-“Pancasila”-kan pendidikan Islam.
Artikel ini telah diterbitkan pada laman republika.co.id edisi Jumat, 23/09/2022 dan dimuat dalam Buku Kajian Sastra & Budaya diterbitkan Fakultas Adab dan Ilmu Budaya UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta