Pengajian Kitab Marah Labid li Kasyf Ma’na al-Qur’an al-Majid 1 Ramadhan 1445 H Tafsir QS. al-Baqarah ayat 1-2 [Halaman 9] (PP Baitul Hikmah, diasuh oleh Prof. Dr. Phil. K. Sahiron Syamsuddin, M.A.)

Pengantar Singkat

Kitab Marah Labid merupakan kitab tafsir karya ulama Nusantara, Syekh Muhammad bin Umar Nawawi al-Jawi atau yang lebih dikenal sebagai Syekh Nawawi al-Bantani (1813-1897 M). Syekh Nawawi, selain masyhur di Indonesia, juga terkenal secara global. Beliau menghabiskan masa mudanya untuk memperdalam ilmu agama hingga pada usia remajanya, Beliau belajar ke Mekah. Karena kesalehan dan kedalaman ilmunya, Imam Nawawi juga ditunjuk sebagai Imam Masjidilharam. Dua di antara karamah-karamah kewaliannya yang terkenal ialah jarinya yang dapat memancarkan cahaya dan jasadnya yang tetap utuh setelah terkubur sekian lama.

Tafsir Surah al-Baqarah 1-2

Surah al-Baqarah adalah surat madaniyyah, yakni surat yang diturunkan setelah Nabi saw hijrah ke Madinah dengan total 286 ayat, 6144 kata, dan 26.251 huruf.

[Ayat 1: الۤمّۤ] Mengutip pendapat seorang tabi’in bernama Imam asy-Sya’bi, kata الم dan huruf-huruf hijaiyah yang terletak di awal surah (huruf muqaththa’ah), termasuk kata-kata yang sulit diketahui maksudnya. Ulama berbeda pendapat terkait penafsirannya. Ada yang menyebut huruf alif merepresentasikan Allah, lam merepresentasikan Malaikat Jibril, dan mim merujuk pada Nabi Muhammad saw. Ada pula pendapat yang menyebutkan penulis wahyu di masa lampau (kuttab al-wahyi) memberikan kode-kode tertentu yang diletakkan di awal beberapa surah al-Qur’an. Syekh Nawawi sendiri cenderung menganggap kata الم sebagai rahasia al-Qur’an, sebagaimana pendapat Sahabat Abu Bakar r.a., dan maknanya hanya diketahui oleh Allah. Beliau meyakini bahwa ada banyak ilmu yang hanya diketahui oleh Allah, yang bahkan para Nabi pun tidak memahami. Ada ilmu yang hanya bisa diterima oleh Nabi, yang ulama pun tidak mampu menerimanya. Ada pula ilmu yang bisa dipahami oleh ulama, namun tidak bisa dipahami masyarakat awam. Dengan tingkatan ilmu ini, Syekh Nawawi menyebut bahwa meyakini الم sebagai bagian dari al-Qur’an itu sudah cukup. Karena sisi unik ini, huruf muqaththa’ah menjadi topik yang riuh dikaji dan melahirkan banyak penafsiran. Menurut Pak Sahiron, di Indonesia, selain makna zahir, batin, dan etis/hukum (had), sebagian kyai juga meyakini adanya dimensi makna sufi (mathla’) dengan menjadikan huruf muqaththa’ah sebagai amalan perlindungan diri.

[Ayat 2: ذٰلِكَ الْكِتٰبُ لَا رَيْبَ فِيْه] Syekh Nawawi menafsirkan ayat ini sebagai penegasan bahwa al-Qur’an, yang dibacakan oleh Nabi Muhammad saw. untuk orang-orang di Arab saat itu, memang benar-benar datang dari Allah Swt. Pak Sahiron menambahkan keterangan, sebagai berikut: terkait bagaimana diturunkannya Al-Qur'an, pendapat paling masyhur adalah bahwa al-Qur’an turun dari al-Lauh al-Mahfuzh ke Baitul ‘Izzah secara sekaligus untuk diperkenalkan kepada Malaikat, dengan bentuk hanya diketahui Allah. Setelah itu, Malaikat Jibril menyampaikannya kepada Nabi Muhammad saw. secara berangsur-angsur selama hampir 23 tahun. Syekh Nawawi selanjutnya mengatakan bahwa ketika telah dinyatakan demikian tegas bahwa Al-Qur'an itu wahyu Allah, sebagian manusia saat itu mempercayainya dan sebagian yang lain menyangkal kewahyuan al-Qur’an. Kedua pilihan tersebut memiliki konsekuensi. Orang-orang yang beriman pada al-Qur’an akan menerima petunjuk hidup melalui al-Qur’an. Sebaliknya, orang yang tidak beriman akan menerima konsekuensinya, berupa siksa.

[Ayat 2: هُدًى لِّلْمُتَّقِيْنَ] Syekh Nawawi, dalam hal ini, mengkhususkan kata umum menjadi kata khusus, yakni menafsirkan orang-orang bertakwa sebagai umat Nabi Muhammad saw.

di ringkasa oleh : Anisa Dwi Lestari

Kolom Terpopuler