EFEK KOBRA PUBLIKASI ILMIAH (PROF. DR. ISWANDI SYAHPUTRA)

Riset dan publikasi karya ilmiah merupakan tolok ukur paling penting untuk menilai produktivitas dosen. Bahkan, semakin tinggi jabatan akademik dosen, semakin besar pula bobot persentase untuk penelitian dan publikasi karya ilmiahnya. Sehingga, tidak jarang ada dosen yang terhambat karirnya karena tidak dapat memenuhi syarat riset dan publikasi untuk kenaikan jabatan akademiknya. Namun, jika dalam setahun ada dosen yang mampu menghasilkan puluhan hingga ratusan riset yang terpublikasi, secara metodologis dan prosedur penerbitan jurnal bereputasi, ini sangat meragukan. Bagaimana menjelaskan dosen yang dalam setahun mampu memproduksi ratusan artikel terpublikasi di jurnal?
Jawaban sederhananya, dapat menggunakan berbagai aplikasi kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI) yang banyak dan beragam saat ini. Dapat pula menggunakan ghost writer yang marak berhamburan menawarkan jasanya, baik personal maupun institusional. Selain itu, dapat juga dengan memanfaatkan karya tugas akhir mahasiswa bimbingan skripsi, tesis atau disertasi untuk publikasi. Lainnya bisa menempuh jalan arisan artikel untuk publikasi ilmiah di jurnal internasional bereputasi, khususnya yang terindeks Scopus.
Beberapa di antaranya berkedok pelatihan, pendampingan atau memang terang-terangan memasang tarif terbuka untuk sebuah artikel agar dapat dipublikasi. Ini sebenarnya fenomena gunung es dalam dunia akademik yang sangat mengerikan sekali. Hal ini menyangkut moralitas, integritas dan kualitas akademik pada pendidikan tinggi. Karena itu, untuk memahaminya tidak sesederhana jawaban tersebut. Beberapa penyebabnya terkait dengan regulasi, iklim akademik perguruan tinggi, mentalitas dan kemampuan riset serta kemampuan academic writing dosen yang masih sangat rendah.
Efek Kobra
Efek Kobra merupakan tindakan yang bertujuan baik untuk mengatasi masalah. Namun sering kali justru tindakan tersebut menjadi bumerang karena mempunyai efek sebaliknya. Efek Kobra dicetuskan oleh ekonom Horst Siebert berdasarkan kejadian anekdotal di India pada masa pemerintahan Inggris. Awalnya, pemerintah Inggris khawatir dengan tingginya populasi ular Kobra beracun di kota Delhi. Kemudian menawarkan hadiah bagi siapa saja yang menyerahkan Kobra mati. Semula strategi ini sukses, banyak warga menyerahkan Kobra yang dibunuh untuk mendapatkan hadiah. Namun akhirnya banyak orang justru berternak Kobra untuk mendapatkan hadiah.
Sepertinya, anekdot ini cocok untuk menggambarkan sebagian potret publikasi ilmiah dosen di Indonesia. Awalnya, ada keresahan dari Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi terhadap rendahnya jumlah riset yang terpublikasi di jurnal internasional bereputasi, khususnya jurnal yang terindeks Scopus. Kemudian dirancang kebijakan dan tindakan strategis untuk mendongkrak jumlah publikasi di jurnal internasional bereputasi. Salah satu kebijakan tersebut adalah menetapkan syarat khusus publikasi riset di jurnal internasional bereputasi terindeks Scopus untuk kenaikan pangkat, jabatan dosen dan syarat lulus mahasiswa Doktoral. Dengan intervensi kebijakan, pemerintah yakin saat itu bisa mengalahkan jumlah publikasi internasional Malaysia dalam dua tahun.
Benar saja, pada tahun 2016 jumlah publikasi ilmiah dosen Indonesia di jurnal terindeks Scopus mencapai 9.457 karya. Capaian tersebut melewati target Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi yang mematok angka 6.229 pada saat itu. Capaian kuantitas itu juga naik dibandingkan dengan tahun 2015 sebanyak 7.639 karya (Kompas, 29 Desember 2016).
Sementara itu, internal Perguruan Tinggi juga melakukan penyesuaian kebijakan untuk menggenjot peningkatan jumlah riset yang dipublikasikan di jurnal internasional bereputasi. Selain menerapkan syarat khusus publikasi di jurnal internasional bereputasi bagi mahasiswa Doktoral, beberapa perguruan tinggi menyediakan penghargaan dengan jumlah besar bagi dosen yang berhasil mempublikasikan riset mereka di jurnal internasional bereputasi terindek Scopus. Bahkan hingga diberi intensif persitasi setelah artikel diterbitkan.
Akibatnya, banyak dosen tergoda mengambil jalan pintas agar dapat cepat dan mudah publikasi di jurnal internasional bereputasi. Godaan itu muncul karena pada saat bersamaan banyak muncul calo penjual jasa pembuatan artikel untuk publikasi di jurnal internasional. Awalnya jumlahnya tidak banyak dalam menawarkan jasa pembuatan artikel dan publikasi secara diam-diam. Namun saat ini, kondisinya sudah sangat brutal sekali karena jumlahnya berkembang biak dengan pesat. Bahkan calo artikel dan publikasi ilmiah ini mulai melakukan promosi aktif secara terbuka memasang iklan resmi melalui berbagai saluran media sosial.
Pada konteks yang lebih luas di waktu yang sama, banyak jurnal internasional terindeks Scopus yang masuk dalam lis predatory Journal. Jurnal berbayar, tanpa proses blind peer review yang baik, artikel dapat dengan cepat dan mudah langsung terbit. Fenomena ini menjadi perjumpaan antara peternak artikel, peternak jurnal terindeks Scopus dengan dosen yang keimanan akademiknya lemah, gampang goyah dan mudah tergoda oleh jalan pintas publikasi karya ilmiah. Bagaimana tidak goyah jika diberi penawaran satu hari dapat memproduksi satu artikel yang siap terbit di jurnal Scopus? Dengan bantuan berbagai aplikasi artificial intelligence, mereka dilatih menulis cepat tanpa prosedur riset yang mendalam dan metode yang dapat dipertanggungjawabkan secara akademik.
Beberapa di antara dosen dan mahasiswa doktoral ada yang diam-diam memilih jalan pintas menggunakan jasa peternak artikel yang berkolaborasi dengan peternak jurnal Scopus. Saya harus menyamar menjadi salah satu konsumen untuk memahami sisi bagian dalam praktik hitam seperti ini. Sebagian lain, mungkin tergoda dengan hadiah yang menggiurkan atau sekedar meningkatkan performa akademik. Untuk meningkatkan publikasi ilmiah di jurnal terindeks Scopus, memanfaatkan riset mahasiswa bimbingan tesis atau disertasi untuk publikasi. Akibatnya tidak mengherankan jika ada dosen yang produktif dalam publikasi karya ilmiah di jurnal internasional bereputasi. Bahkan ada dosen yang jumlah publikasinya bisa mencapai 160 lebih publikasi dalam setahun.
Dengan demikian, kuantitas publikasi meningkat pesat di luar kewajaran, tapi kualitas prosedur publikasi sangat meragukan. Studi yang dilakukan para peneliti Charles University Praha berjudul Predatory Publishing in Scopus: Evidence on Cross-Country Differences yang diterbit di jurnal Quantitative Science Studies tahun 2022 menunjukkan Indonesia merupakan negara kedua yang paling banyak menerbitkan karya ilmiah di jurnal predator terindeks Scopus pada tahun 2015-2017.
Kembali ke jalan yang benar
Dosen pada hakikatnya adalah peneliti yang diberi tugas tambahan mengajar dan sedikit mengabdi pada masyarakat. Jika dosen tidak meneliti, lantas apa yang akan diajarkan pada mahasiswa dan apa yang akan menjadi bahan pengabdian bagi masyarakat? Esensi ini yang tampaknya mulai meluntur dalam karakter dosen. Alih-alih melakukan riset dan publikasi dengan kualitas baik dan benar, banyak dosen justru malah memilih menjadi pejabat struktural, Youtuber, penceramah, pembicara atau motivator. Tampaknya, eksistensi lebih dicari dari pada esensi dosen sebagai peneliti.
Sebagai tenaga organik, Dosen juga dituntut untuk memenuhi berbagai syarat khusus publikasi riset di jurnal ilmiah. Sistem akreditasi program studi dan SISTER (Sistem Informasi dan Sumber Daya Terintegrasi) dari Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi misalnya, menjadikan publikasi ilmiah dosen sebagai hal penting untuk akreditasi dan karir akademik dosen. Sistem ini mau tidak mau menjadi tekanan kerja bagi dosen untuk melakukan publikasi karya ilmiah mereka di berbagai jurnal sesuai syarat khusus jenjang pangkat dan jabatan akademiknya.
Niat baik pemerintah untuk meningkatkan mutu pendidikan melalui produktivitas publikasi riset di jurnal telah memunculkan budaya jalan pintas yang dibuka oleh peternak artikel dan peternak jurnal terindeks Scopus. Fenomena ini dapat membawa dosen semakin dekat dengan eksistensi karena memiliki banyak publikasi, tapi justru semakin menjauh dari esensi sebagai peneliti yang bereputasi. Setidaknya ada tiga hal yang perlu dilakukan agar perjalanan akademik dosen ini tidak tersesat di jalan yang salah.
Pertama, perlu dikaji ulang berbagai regulasi dan kebijakan di tingkat pemerintah dan perguruan tinggi. Misalnya, mengubah skema wajib publikasi di jurnal Scopus sebagai syarat lulus Doktoral menjadi syarat khusus meraih drajat cum laude. Atau mengubah publikasi ilmiah di jurnal internasional bereputasi sebagai syarat khusus kenaikan jabatan akademik menjadi konsorsium keilmuan. Hal ini mengandaikan keterlibatan rekan sejawat dalam rumpun ilmu yang sama untuk menilai secara objektif sebuah karya ilmiah untuk syarat kenaikan jabatan akademik. Termasuk dalam golongan pertama ini mengkaji ulang berbagai bentuk pemberian penghargaan bagi dosen yang mampu publikasi riset mereka di jurnal internasional bereputasi berbasis konsorsium keilmuan terkait.
Kedua, perlu academic writing clinic di setiap perguruan tinggi yang berfungsi sebagai tempat rehabilitasi bagi dosen yang sudah terlanjur masuk perangkap efek Kobra. Pendampingan dan sosialisasi intensif dapat dilakukan untuk menjelaskan kultur baru dunia akademik di era digital saat ini. Termasuk di dalamnya memberikan pelatihan intensif tentang riset, publikasi dan literasi jurnal. Pada bagian ini dosen perlu diberi pemahaman baru iklim riset dan publikasi internasional yang mengacu pada standar etik internasional seperti Cope (Commite on Publication Ethics). Perlu dipahami bahwa riset untuk skripsi, tesis atau disertasi berbeda dengan riset untuk publikasi di jurnal internasional bereputasi yang benar.
Ketiga, membangun kesadaran baru dalam diri setiap dosen dalam perspektif karir akademik. Esensi dosen adalah peneliti yang diberi tugas tambahan mengajar dan mengabdi pada masyarakat. Ini bukan berarti dosen yang banyak meneliti dan publikasi memiliki performa akademik yang baik. Bukan pula dosen yang sedikit meneliti dan publikasi memiliki performa akademik yang buruk. Namun sistem data raya saat ini dengan mudah dapat menemukan potret kewajaran etik dan integritas dosen. Berbagai sistem penghimpun data publikasi ilmiah saat ini dapat ditelisik untuk menilai dosen memiliki banyak atau sedikit publikasi ilmiah dengan standar etik dan integritas yang tinggi atau rendah.
______________________________________________
*Guru Besar UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta,
Direktur Eksekutif JAWAB (Jogja Academic Writing and Reading Bootcamp)