Mengapa Nama Ibu Tidak Teritulis di Ijazah? (Prof. Alimatul Qibtiyah, M.Si., MA. Ph.D)
"Bu nama Ibu kok tidak ditulis di ijazahku, kenapa hanya nama Bapak yang dituliskan? kenapa Bu? Sekolahku rasis ya Bu? “Masak sih Nak, coba Ibu lihat, iya ya ternyata memang benar hanya nama Bapak yang tertulis. Itu bukan rasialis Nak, tapi bias gender”. Celoteh kritis dari anak kami sepulang dari pelepasan kelas enam di sekolahnya awal juni 2024. Saat tiba di rumah saya juga langsung melihat ijazah SD, SMP dan SMA saya. Ternyata tidak jauh beda, saya menemukan hal yang sama, hanya nama Bapak saya yang tertulis. Artinya penulisan hanya nama Bapak tanpa ada nama Ibu di ijazah sudah berlangsung puluhan tahun di negri ini. Negri yang mengakui bahwa “Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu.” (Pasal 28I ayat (2) UUD 1945).
Perlakuan Diskriminatif
Diskriminasi adalah perlakuan yang tidak adil atau merugikan terhadap orang atau kelompok berdasarkan karakteristik seperti ras, jenis kelamin, usia, agama dan lain-lain. Diskriminasi gender adalah perlakuan yang tidak adil atau merugikan terhadap seseorang karena jenis kelaminnya. Tidak adanya penyebutan dan penulisan nama Ibu pada saat acara pelepasan kelulusan dan juga tidak dituliskannya nama Ibu di dokumen ijazah anak adalah salah satu bentuk diskriminasi gender. Berdasarkan pengamatan dan juga kebiasaan yang ada di masyarakat, kontribusi Ibu dalam mendidik putra-putrinya pada banyak keluarga justru lebih banyak porsinya. Penelitian Komnas Perempuan menunjukkan bahwa saat pandemi, Ibu mengalami hampir tiga kali lipat daripada ayah dalam hal tanggungjawab pengasuhan dan pekerjaan rumah tangga. Saat itu banyak Ibu yang dituntut mampu menjadi guru semua mata pelajaran, ketika sekolah pindah ke rumah.
Berdasarkan data Direktorat Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini, Pendidikan Dasar, dan Pendidikan Menengah Kemendikbudristek, pada semester ganjil Tahun Ajaran (TA) 2022/2023 terdapat 3,3 juta guru di seluruh Indonesia. Dari total populasi guru nasional, sebanyak 2,36 juta orang atau 70,84% adalah perempuan. Sementara jumlah guru laki-laki sebanyak 972,05 ribu orangatau 29,16%. Kondisi ini mungkin dapat menjadi indikasi yang baik dengan makin terbukanya akses perempuan di dunia kerja dan peran publik. Namun, bila dilihat lebih dalam, angka tersebut merupakan sebuah refleksi bahwa perempuan secara kultur cenderung diposisikan sebagai penanggung jawab dalam bidang kependidikan baik di ranah publik ataupun di ranah domestik. Ironisnya pada saat panen hasil jerih payah Pendidikan saat kelulusan, pada saat pengakuan dalam acara yang penting dan disaksikan banyak orang, Ibu tidak disebut dan atau dituliskan namanya. Padahal Negara sudah meratifikasi Convention Elimination Discrimination against Women (CEDAW) melalui UU Republik Indonesia No. 7 tahun 1984 dan juga sudah mempunyai aturan Instruksi Presiden No 9 Tahun 2000 tentang pengarusutamaan gender dalam pembangunan, termasuk di dunia Pendidikan. Pengakuan partisipasi perempuan yang bermakna (meaningful participation) dalam semua aspek kehidupan bagian dari penegakan Hak asasi manusia.
Regulasi yang Belum Tuntas
Saya mengapresiasi Surat Edaran Sekretaris Jendral Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) No. 28 tahun 2021 yang membolehkan penulisan nama Ayah, Ibu, atau wali dalam Ijazah. Surat edaran ini muncul karena adanya petisi yang diajukan oleh seorang ibu tunggal, bernama Poppy R. Diharjo, pada platform change.org yang ditujukan pada Mendikbudristek Nadiem Makarim. Artinya dari pihak kementrian berusaha mengakomodir keluhan yang dirasakan oleh seorang ibu tunggal. Surat edaran itu dipahami sebagai cara penulisan salah satu nama orang tua atau walinya bukan penulisan kedua orang tua. Nah, bagaimana dengan penulisan nama kedua orang tua di ijazah?
Tahun 2024 ini dua anak kami lulus, satu lulus SD dan yang satu lulus SMA. Hasil pencermatan kami, yang SMA nama Ibu tidak disebut dan tidak ditulis saat anak dipanggil ke panggung dan diberikan selamat oleh kepala sekolah. Sedangkan yang SD, nama ayah dan Ibu dituliskan namun hanya nama ayah yang disebutkan saat anak dipanggil ke panggung untuk diberikan ijazahnya. Dalam hati bertanya-tanya, “kenapa ya giliran bersusah payah, masyarakat banyak yang menyerahkan pengasuhan, pendidikan itu sebagai tugas perempuan atau ibu, giliran perayaan (celebration), saat pelepasan kelulusan disebut saja tidak namanya. Setega itukah negara ini memperlakukan perempuan?” Sekali lagi pertanyaannya, kenapa hanya nama ayah yang dituliskan dalam ijazah? Apakah tidak boleh jika dituliskan nama kedua orang tuanya? Kenapa? Apakah karena template ijazahnya tidak ada tempat untuk menuliskan nama keduanya? Atau karena memang masih ada persoalan di mental model yang meyakini bahwa nama Ibu tidak penting dituliskan di dokumen ijazah anak?
Jika menggunakan teori Otto Scharmer, The Essentials of Theory U: Core Principles and Applications (2018) pertanyaan-pertanyaan tersebut dapat dilacak dari trend yang tampak terlihat, lalu dilihat kebijakan yang ada, kemudian dilihat mental modelnya. Langkah pertama adalah dengan memahami secara detail fenomena dan persoalan yang ada, lalu melihat dari dekat kebijakan, system masyarakat, lalu merasakan dan menemukan mental model baik yang berasal dari keyakinan, paradigma dan juga mitos-mitos yang ada di masyarakat. Dari mental model masa lalu itulah selanjutnya diperlukan cara berfikir baru (rethingking) yang diwujudkan dalam bentuk kebijakan, program dan kegiatan dan selanjutkan dimasifkan dan berdampak pada perubahan atau pola trend ke arah yang lebih baik. Agar menjadi perubahan yang berdampak secara masif penting untuk mengubah kesadaran personal menjadi kesadaran komunal, mengubah kesadaran pribadi (ego-system) menjadi kesadaran kolektif (eco-system), sehingga terjadi perubahan ke arah yang lebih baik di masyarakat. Perubahan itu akan dapat berjalan dengan baik jika ada open mind, open heart, dan open will dari semua pihak, utamanya pembuat kebijakan. Selanjutnya penting menggunakan teori ini untuk menganalisis pola trend, struktur penyebab dan mental model terkait dengan persoalan penulisan nama kedua orang tua di acara pelepasan dan ijazah anak dengan menggunakan teori U proses.
Pola trend dilihat dari perilaku, kebiasaan, sikap yeng terlihat, yaitu setiap acara pelepasan siswa/i hanya nama ayah yang disebutkan ketika anak dipanggil di panggung saat menerima ijazah, di ijazah hanya dituliskan nama ayah tidak ada nama ibu dan mungkin anak bingung serta ibu merasa tidak diakui kontribusinya dalam pengasuhan anak. Mengapa pola tersebut terjadi? Hal ini dapat dilihat dari struktur penyebab yang terdiri dari tradisi, budaya, kebijakan pemerintah, system yang ada. Dalam hal ini, struktur penyebabnya dimungkinkan karena kebijakan yang ada mengatur penulisan nama ayah atau ibu atau wali jadi tidak ada kebijakan yang bisa menuliskan nama ayah dan ibu di ijazah. Mengapa kebijakan seperti itu terjadi? Penting untuk melihat mental model berupa paradigma, perspektif dan keyakinan para pembuat kebijakan, seperti perempuan tidak penting dituliskan di ijazah dan disebutkan saat pelepasan kelululusan, karena Ibu bukan kepala keluarga.
Tambahkan kata “dan”
Jika sudah ditemukan mental modelnya, maka segera dilakukan perubahan dengan Rethingking berupa keyakinan bahwa ayah dan ibu sama-sama berkontribusi dalam Pendidikan anak, sehinga sudah seharusnya disebutkan dan dituliskan di acara pelepasan kelulusan dan juga dituliskan di dokumen ijazah. Agar perubahan semakin terukur maka penting untuk melakukan Redesigning, yaitu membuat kebijakan mengakomodir nama ayah dan ibu di acara pelepasan kelulusan dan juga di dokumen Ijazah. Berdasarkan blangko ijazah yang ada, sebenarnya tinggal menambahkan 3 huruf “dan” pada kolom nama orang tua/wali. Dengan upaya-upaya sitematis ini diharapkan aka nada perubahan trend baru berupa setiap acara pelepasan siswa/i nama ayah dan ibu disebutkan saat anak dipanggil di panggung saat menerima ijazah dan di ijazah dituliskan nama ayah dan ibu sehingga anak tidak bingung, ibu merasa diakui kontribusinya dalam pengasuhan anak, dan ayahpun juga merasa nyaman.
Perubahan yang diharapkan akan dapat berjalan dengan baik jika ada open mind yaitu terbuka terhadap kritik dan masukan masyarakat, utamanya para ibu yang menghendaki kontribusinya diakui oleh negara dengan cara dituliskan nama ibu di acara pelepasan kelulusan dan juga di ijazah putra atau putrinya, open heart-membuka hati dan tidak ada sinis atau nyinyir terhadap perasaan para orang tua, utamanya para ibu dan juga anak yang ingin nama kedua orang tuanya dituliskan di acara pelepasan kelulusan dan juga di ijazah, open will-kemauan para pembuat kebijakan dan tidak ada rasa takut untuk membuat kebijakan untuk menuliskan nama ayah dan ibu di dokumen ijazah dan juga menyebutkan dan menuliskan nama keduanya saat pelepasan. Saya yakin, jika perubahan ini terjadi bukan hanya ibu saja yang merasa terhargai, tetapi anak dan juga ayah akan merasa nyaman. Semoga segera ada perubahan kebijakan dan saya yakin perubahan yang ada juga akan mempercepat pencapaian Indonesia emas 2045, aamin.
Prof. Alimatul Qibtiyah, M.Si.,MA., Ph.D. Guru Besar Kajian Gender UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Sekretaris LPPA Pimpinan Pusat Aisyiah, anggota Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah,
Komisioner Komnas Perempuan RI
(Tulisan ini sudah terbit di Media Indonesia 3 Juli 2024)