Mewaspadai Bahaya Ekstremisme dan Radikalisme di Kampus

Ditemukannya bom di UNRI pada 3 Juni 2018 lalu telah menghenyak banyak pihak bahwa radikalisme sudah masuk di lingkungan kampus. Kampus yang selama ini dipandang sebagai wilayah yang relatifsteril radikalisme ternyata mudah disusupi ideologi radikal. Asumsi banyak pihak bahwa radikalisme disebabkan oleh rendahnya tingkat pendidikan terpatahkan dengan kasus UNRI di atas. Justru mahasiswa yang melek informasi dan kritis ini yang rentan terhadap ideologi ekstremis dan radikal. Tulisan ini akan melihat sejarah ektremisme dan radikalisme di kampus serta bagaimana penanganannya.

Sejarah Radikalisme di Kampus

Secara historis, radikalisme di kampus sudah ada sejak akhir 1970-an. Walaupun Negara Islam Indonesia (NII) atau lebih dikenal sebagai Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) terpecah-belah sejak S.M. Kartosuwiryo dihukum mati (1962), gerakan NII bangkit setelah pertemuan Situaksan di Bandung (1971). Sejak itu, gerakan NII muncul kembali termasuk sebagian di lingkungan kampus.

Kampus di Yogyakarta dan Solo adalah daerah yang subur gerakan NII. Diawali beberapa mahasiswa IAIN Sunan Kalijaga bergabung, kemudian diikuti oleh beberapa mahasiswa dari UII, UGM, dan IKIP (sekarang UNY). Karena banyaknya anggota NII di Yogyakarta, NII membuat struktur NII Yogyakarta tersendiri. Walaupun tidak sekuat di Yogyakarta, gerakan NII juga cukup mendapatkan pengikut di kampus UNS. Beberapa tokoh gerakan yang dikenaldengan usroh ini adalah Muchliansyah, Fihiruddin, Irfan Suryahardi dll.

Penangkapan Abdullah Sungkar dan Abu bakar Ba'asyir (1979) membuat marah kelompok ini dan berujung pada tindakan radikalisme. Beberapa orang yang dianggap membocorkan gerakan NII akhirnya dibunuh, yaitu Parmanto, MA wakil rektor UNS dan Hasan Bauw, ketua Dewan Mahasiswa IAIN Sunan Kalijaga oleh kelompok Warman. Pada tahun yang sama (1979) gaji dosen dan karyawan IAIN Sunan Kalijaga juga dirampok oleh gerakan Warman ini. Kelompok ini juga merencanakan merampok IKIP Malang, namun gagal. Perampokan atau dikenal dengan doktrin fa’i ini dilakukan karena NII sedang membutuhkan dana untuk operasional kegiatannya. Radikalisme yang terjadi di beberapa daerah itu kemudian dikenal dengan Teror Warman.

Selanjutnya, pada periode 1980-an, gerakan NII banyak berkembang di kampus terutama di Yogyakarta. Masjid Sudirman di sekitar wilayah Kolombo Yogyakarta dikenal sebagai pusat kegiatan mahasiswa Islam konservatif sekaligus kantor redaksi bulletin NII, Ar-Risalah dan Al-Ikhwan, sebuah bulletin yang secara provokatif resisten terhadap pemerintah.Tidak sedikit mahasiswa di IAIN, IKIP (sekarang UNY), dan UGM yang terpapar radikalisme. Buletin Ar-Risalah kemudian dibreidel oleh pemerintah otoriter Soeharto. Beberapa redaktur dipenjara seperti Irfan Suryahardi, Fajar Sidiq dll. Dalam beberapa sumber bahkan disebutkan bahwa seorang dosen senior UGM Syahirul Alim ditangkap dan ditahan oleh pemerintah Orde Baru karena dianggap terlibat dalam jaringan NII.

Ekstremisme di Kampus

Kampus sebagai pusat generasi muda terdidik tidak bisa lepas dari ekstremisme. Mahasiswa tidak hanya belajar nalar kritis tapi juga belajar dan mempraktekkan nilai-nilai demokrasi. Tidaklah mengherankan jika kritisisme mahasiswa terkadang cenderung membawa pada pemikiran-pemikiran yang ekstrem yang berpotensi resisten terhadap pemerintah. Diantara pilar demokrasi, mahasiswa juga mempunyai kebebasan berekspresi dan berserikat. Dalam konteks inilah sering kampus sering disalahgunakan oleh beberapa pihak.

Secara umum, cadar sebenarnya tidak bisa dikategorikan sebagai bentuk ekstremisme. Tapi berdasarkan fakta bahwa mayoritas istri teroris memakai cadar, maka cadar sering dianggap identik dengan ekstremisme dan bahkan radikalisme. Oleh karena itu pro-kontra cadar sangat dinamis akhir-akhir ini, termasuk beberapa universitas yang sukses dalam membuat aturan melarang cadar di lingkungan kampus.

Fenomena ekstremisme yang lain adalah pengibaran bendera Hizbut Tahrir (HTI) di UIN Sunan Kalijaga pada 4 Maret 2018. Karena terbukti bertentangan dengan kebangsaan, HTI akhirnya dilarang oleh pemerintah pada 19 juli 2017. Oleh karena itu, berbagai bentuk kegiatan dan atribut HTI dilarang oleh pemerintah. Terkadang, sesuatu yang dilarang justru menarik orang untuk melanggarnya sebagaimana terjadi di UIN Sunan Kalijaga.

Terakhir, deklarasi ISIS di Wisma Syahida UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Kampus sebagai simbol kebebasan berekspresi digunakan oleh Forum Aktivis Syariat Islam (Faksi) untuk menyelenggarakan event dukungan terhadap kekhalifahan ISIS dan bahkan bait beberapa aktivis pada Agustus 2014. Walaupun kegiatan ini tidak ada hubungannya dengan UIN, Universitas Islam Negeri tertua di Indonesia itu merasa kecolongan.

Radikalisme di Kampus

Sejak berkembangnya terorisme di Indonesia pada awal era milenial, ideologi ekstremis dan radikal berkembang di berbagai ranah dan level di masyarakat, termasuk pendidikan. Selain ideologi ekstremis dan radikal yang berkembang di berbagai level pendidikan sejak level dini hingga sekolah menengah dan bahkan perguruan tinggi. Walaupun tidak bisa secara simplistis dikatakan bahwa institusi pendidikan telah menyebarkan radikalisme, perguruan tinggi juga rentan terhadap ideologi radikal.

Beberapa kasus radikalisme Jamaah Islamiyah (JI) atau Jamaah Ansharut Daulah (JAD) tercatat melibatkan mahasiswa, jebolan, atau alumni universitas. Diawali pada 2009, tiga (3) mahasiswa yang dijatuhi hukuman 4 tahun 6 bulan karena terbukti menyembunyikan buronan terorisme Saefuddin Zuhri alias Muhammad Sahrir di kos mereka pada 2009. Kasus kedua di UIN Syahid adalah Pepi Fernando yang merupakan jebolan UIN Syarif Hidayatullah terbukti telah membuat, menyebarkan dan meledakkan bom buku pada Maret 2011. Selain itu, Bahrun Naim dalang bom Sarinah (2016) adalah alumni UNS. Terakhir, Zainal Anshori salah satu pimpinan JAD yang merencanakan penyerangan terhadap polisi di Tuban Jawa Timur disinyalir merupakan alumni UIN Sunan Kalijaga.

Radikalisme di kampus paling baru dan parah adalah yang terjadi di Universitas Negeri Riau pada 2 Juni 2018. Tiga (3) alumni Fisip UNRI ditahan Densus 88 karena terbukti membuat bom yang direncanakan untuk meledakkan gedung DPR RI. Ditangkapnya 3 tersangka teroris di lingkungan kampus itu mengagetkan banyak pihak betapa rentannya kampus akan radikalisme.

Dari beberapa kasus di atas bisa dipastikan bahwa ideologi radikal tidak tumbuh dan berkembang di lingkungan kampus. Menurut survei BNPT dan BIN (2017) di 20 perguruan tinggi 15 propinsi, memang mendapatkan data bahwa 39% mahasiswa anti Pancasila dan demokrasi. Walaupun data tersebut masih perlu diklarifikasi lebih lanjut, ini merupakan sinyal awal bentuk resistensi mahasiswa terhadap pemerintah.

Mereduksi Ekstremisme & Radikalisme di Kampus

Tidak ada obat yang mujarab untuk menangani radikalisme. Melihat maraknya fenomena radikalisme, saya sependapat dengan Olivier Roy dalam bukunya Globalized Islam (2009) yang menyatakan bahwa radikalisme adalah fenomena global dan dibentuk oleh faktor-faktor lokal. Di satu sisi, radikalisme memang merupakan pengaruh global dimana gerakan-gerakan ekstrem kanan sedang marak di berbagai negara. Di sisi lain, faktor lokal seperti korupsi dan ketidakadilan sosial juga berkontribusi dalam munculnya gerakan-gerakan resistensi terhadap pemerintah.

Dalam konteks inilah stakeholder perguruan tinggi tidak hanya konsern pada pendidikan di kelas, namun juga kegiatan ekstra kampus. Bisa dipastikan bahwa ideologi radikal tidak akan berkembang secara formal di ruang-ruang kelas. Kegiatan-kegiatan ekstra kampus ini yang perlu diawasi karena terkadang melibatkan organisasi dan atau aktivis di luar kampus. Mahasiswa sebagai mahluk yang di satu sisi melek informasi dan di sisi yang lain paling kritis. Berbagai ideologi (kanan maupun kiri) berpotensi berkembang di kalangan mahasiswa. Oleh karena itu, berbagai bentuk pengawasan yang efektif harus dilakukan oleh kampus untuk mengawasi jangan sampai ideologi ekstremis berkembang menjadi radikal.

Upaya untuk mereduksi radikalisme juga harus komprehensif. Selain memfilter pengaruh dari luar seperti penutupan website-website ultra-konservatif, pemerintah harus bersungguh-sungguh dalam menjalankan demokrasi. Demokrasi yang tidak menciptakan kesejahteraan dan keamanan justru akan menjadi bumerang bagi pemerintah. Terakhir, mahasiswa sebagai entitas yang cerdas dan kritis harus dilibatkan dalam counter violent extremism (CVE) baik itu di ranah online maupun off-line.

Sleman, 26 Juli 2018

Oleh: Dr. Muhammad Wildan, M.A., Dosen UIN Sunan Kalijaga dan Direktur Center for the Study Islam and Social Transformation (CISForm). Bisa dikontak di wildan71@gmail.com

Kolom Terkait

Kolom Terpopuler