Toleransi dan Surga dalam Keragaman

Upaya nyata untuk membangun toleransi dan penerimaan keragaman di tingkat komunitas masih harus terus dilakukan dengan pendekatan yang mengakar.

”Selamat Natal, ya”, sapa seorang muslimah kepada kolega kantornya yang beragama Kristen. Ucapan sebagai wujud rasa hormat sang muslimah kepada sahabat itu sudah lazim dilakukannya.

Di sisi lain, ada juga warga bangsa Indonesia yang anti mengucapkan selamat Natal, bahkan kepada tetangga sebelah yang sudah puluhan tahun hidup berdekatan.

Pertanyaannya, bagaimana kita hidup dalam keyakinan yang berbeda, tetapi dapat tetap bekerja sama membangun bangsa sangat majemuk dengan persoalan yang semakin kompleks ini?

Peringatan hari besar agama, termasuk Natal, di beberapa tempat di Indonesia terkadang diwarnai ketegangan antarumat beragama. Hal ini tidak hanya terjadi di dunia luring, tetapi juga merambah ke media sosial.

Salah satu hal yang kadang mengundang perdebatan, misalnya, terkait ucapan Natal oleh pihak non-Kristiani. Meski demikian, jika diamati, lebih banyak tempat yang guyub, rukun, penuh toleransi, bahkan saling kerja sama antarumat beragama dan berkeyakinan. Ibarat menciptakan surga di dunia yang damai meski berbeda keyakinan dan beragam budaya.

Bagaimana kita hidup dalam keyakinan yang berbeda, tetapi dapat tetap bekerja sama membangun bangsa sangat majemuk dengan persoalan yang semakin kompleks ini?

Persoalan kebebasan beragama dan berkeyakinan

Bangsa Indonesia dibangun didasarkan pada keragaman yang dicetuskan pada tahun 1928. Setelah bangsa (nation) terbentuk, maka bangsa Indonesia secara bersama-sama mewujudkan negara di tahun 1945.

Kemajemukan identitas warga Indonesia seharusnya digunakan untuk memudahkan interaksi dan kerja sama, bukan malah untuk mendiskriminasi dan menciptakan ketidakadilan. Pemerintah dan berbagai lembaga, juga para tokoh, telah mengupayakan peningkatan toleransi dan harmoni di Indonesia.

Beragam inisiatif telah banyak dilakukan dalam berbagai tingkatan, tetapi masih bermunculan peristiwa penolakan terhadap agama dan mazhab lain dalam masyarakat. Bahkan, di daerah yang dikenal sebagai kota toleran, seperti Yogyakarta, peristiwa penolakan jenazah non-Muslim dan pemotongan salib di pemakaman umum mengisyaratkan pergeseran toleransi di tingkat komunitas.

Bali yang dikenal sebagai masyarakat yang terbuka dan toleran juga menyimpan masalah di tingkat komunitas. Masalah pendirian rumah ibadah dan gereja di daerah mayoritas Islam juga masih menjadi persoalan akut.

Umat Kristiani masih kesulitan melaksanakan ibadah yang bersifat komunal. Di wilayah mayoritas Kristen di Indonesia Bagian Timur, umat Muslim juga terkendala mendirikan mushala dan masjid seperti yang terjadi di Tolikara, Papua, dan kasus masjid Batuplat di Kupang.

Upaya nyata toleransi dan penerimaan keragaman di tingkat komunitas masih belum banyak dilakukan secara mengakar.

Upaya nyata toleransi dan penerimaan keragaman di tingkat komunitas masih belum banyak dilakukan secara mengakar karena umumnya diwakili oleh para tokoh dari setiap agama. Pemahaman keberagamaan yang demikian masih mencerminkan toleransi yang pasif dan menyimpan prasangka. Jika tidak dikelola secara seksama, hal itu akan menyimpan potensi ketegangan.

Inilah yang disebut dengan kondisi mono-eksistensi, di mana setiap komunitas agama tidak saling memahami esensi tiap-tiap agama. Sebagai upaya untuk mengatasi kesenjangan tersebut, penting menguatkan Literasi Keagamaan Lintas Budaya yang berbasis komunitas sebagai bagian dari imlementasi resolusi Dewan PBB 16/18.

Literasi beragama lintas budaya

Kegiatan literasi beragama secara lintas budaya yang diprakarsai oleh Leimena Institute dalam berbagai pengalaman mampu menguatkan toleransi aktif yang berbasis pada kompetensi personal, kompetensi komparatif, dan kompetensi kolaboratif.

Kompetensi personal adalah kemampuan memahami ajaran agama/kepercayaannya sendiri dengan cara langsung membaca kitab suci asli atau ajaran agama sendiri secara baik (literate), tidak hanya belajar dari media sosial saja.

Adapun kompetensi komparatif adalah kemampuan mengetahui agama orang lain dari penganut agama itu, bukan dari pandangan sendiri. Misalnya, untuk memahami konsep trinitas seorang Muslim belajar ke teman yang Kristen. Demikian juga seorang Kristen yang ingin tahu tentang puasa dapat langsung belajar kepada kawan yang Muslim.

Untuk menanyakan keyakinan atau ajaran agama/kepercayaan yang berbeda dengan yang dianut si penanya juga diperlukan cara, aturan, dan sikap tertentu.

Tiga hal dapat ditanyakan, termasuk hal yang sensitif terkait dengan ajaran agama/kepercayaan orang lain, yaitu menanyakan apa, lalu bagaimana, dan terakhir mengapa. Saat dijelaskan oleh sang pemeluk agama, sikap pemeluk agama lain harus mendengarkan, memahami, dan menghormati. Janganlah menyangkal ketika berbeda pandangan.

Aturan lain adalah tidak harus menerima penjelasan itu karena banyak ajaran agama bersifat dogma, sudah begitu sejak dulu, dan tidak dapat dirasionalisasikan. Misalnya, dikisahkan Umar bin Khattab yang bersedia mencium hajar aswad karena Nabi Muhammad SAW melakukannya.

Kompetensi komperatif ini dibangun atas dasar kemauan menerima perbedaan sebagai keniscayaan dan harkat martabat masyarakat Indonesia.

Selanjutnya, kompetensi inilah yang mendorong setiap pihak bekerja sama menangani masalah kemanusiaan yang dihadapi bersama, seperti kemiskinan, kenakalan remaja, isu keamanan lingkungan, serta kehendak bersama membangun kehidupan yang konstruktif dan nyaman.

Inilah yang disebut sebagai toleransi pro-aktif dan menciptakan kondisi pro-eksistensi yang ideal.

Kompetensi komperatif ini dibangun atas dasar kemauan menerima perbedaan sebagai keniscayaan dan harkat martabat masyarakat Indonesia.

Literasi Keagamaan Lintas Budaya (LKLB) bukan ajang debat keyakinan, melainkan lebih pada upaya mendengarkan, memahami, dan menghormati agama/kepercayaan orang lain.

Setiap penganut agama/kepercayaan berhak untuk meyakini bahwa agama/kepercayaannya adalah yang paling benar. LKLB mampu memperkuat toleransi co-eksistensi yang pasif menjadi toleransi pro-aktif.

Resolusi Dewan HAM 16/18

LKLB merupakan pendekatan yang digunakan dalam menerjemahkan Resolusi Dewan HAM 16/18 tahun 2011 dalam mengikis prasangka, dan pelabelan negatif yang dapat menjurus pada kebencian, serta kekerasan dan konflik antar dan intra agama maupun budaya.

Pada era keterbukaan informasi, rendahnya literasi agama dapat menguatkan dan memperluas ujaran kebencian, ketegangan dan konflik. Kondisi ini juga diperburuk kerangka hukum yang tidak selalu membantu secara konstruktif, tetapi justru memperburuk situasi.

Hal terakhir ini menyangkut, misalnya, adanya undang-undang atau peraturan, seperti Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), pasal tentang penodaan agama di Kitab Undang-undang Hukum Pidana (UU KUHP), dan peraturan rumah ibadah yang dalam implementasinya kerap dimanfaatkan kelompok-kelompok tertentu untuk memarjinalkan dan menstigma kelompok agama/kepercayaan lain.

Beberapa upaya perbaikan yang tampak dalam KUHP baru (2023) pun bisa jadi tidak akan memperbaiki keadaan jika dalam implementasinya belum dilakukan dengan perubahan cara pandang beragama.

Salah satu inspirasi dari upaya implementasi Resolusi 16/18 adalah berbicara tidak hanya pada tingkat hukum, tetapi lebih menekankan pada upaya-upaya non-hukum, pada tingkat komunitas/masyarakat untuk mencapai tujuan pengembangan toleransi dan memerangi sikap dan tindakan yang mengarah pada intoleransi.

Pemerintah dituntut untuk berperan aktif dalam hal ini, melalui jalur non-hukum, khususnya jika situasinya telah cukup mengkhawatirkan, secara hukum.

Resolusi Dewan HAM PBB ini disepakati seluruh anggota PBB, termasuk Indonesia, Arab Saudi, Iran, Vatikan, Amerika Serikat, Inggris, Eropa, Afrika, dan Amerika Latin. Uniknya, sponsor resolusi ini adalah Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) yang beranggotakan 57 negara Muslim dan Amerika Serikat.

Penggunaan resolusi ini dapat meminimalkan kecurigaan, terutama umat Muslim, bahwa program dan kegiatan ini berasal dari Barat yang sering kali dipandang sebagai intervensi terhadap umat Muslim.

Upaya konkret membumikan Resolusi 16/18

Resolusi tidak hanya jargon, tetapi penting untuk dihidupkan di masyarakat agar surga kerukunan dapat diwujudkan di dunia. Kalijaga Institute for Justice (KIJ) UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Ford Foundation, Indonesiaan Consortium for Religious Studies (ICRS)—yang didirikan oleh UGM, UIN Sunan Kalijaga, Universitas Kristen Duta Wacana—serta Leimena Institute memprakarsai upaya mengarusutamakan Resolusi 16/18 di Indonesia. Program ini diharapkan akan menjadi model bagi negara-negara lain yang multi-agama dan multikultural.

Guna mendapatkan hasil perubahan yang terukur dan komprehensif, efektivitas program diukur secara kuantitatif dan kualitatif dengan enam tahapan, antara lain, pertama, mengadakan forum penggerak yang nantinya akan menjadi fasilitator di wilayah masing-masing.

Kedua, fasilitator/penggerak membentuk simpul-simpul berdasarkan rumah ibadah dan organisasi dengan jumlah kelompok simpul sekitar 10 orang.

Ketiga, anggota simpul di setiap komunitas agama/kepercayaan mengembangkan kompetensi personal melalui workshop pengenalan terhadap ajaran agamanya masing-masing dengan menggali ajaran-ajaran agamanya terkait dengan hubungan antar-agama dan mendokumentasikan pertanyaan-pertanyaan ataupun ’prejudice’ atas praktik agama yang lain.

Langkah keempat adalah melakukan literasi beragama lintas budaya yang menghadirkan tokoh-tokoh agama, dari Indonesia dan luar negeri melalui online agar dapat menghadirkan peserta yang lebih masif.

Selain itu, melakukan pengenalan kompetensi komperatif dengan cara setiap simpul komunitas membagi anggotanya untuk mengikuti kelas-kelas online tentang agama yang lain (selain yang dianut).

Kelima, konsolidasi dalam bentuk lokakarya bersama dalam berbagai simpul komunitas agama/kepercayaan dalam rangka mengembangkan ’kompetensi komparasi’ dengan bertukar pandangan terhadap persamaan dan perbedaan, termasuk sebab-sebab perbedaannya. Pendekatan yang digunakan dalam lokakarya ini adalah bekerja sama dalam kesamaan dan penghormatan terhadap perbedaan.

Keenam, membuat program bersama lintas simpul komunitas dengan membentuk suatu kluster (kelompok simpul yang berdiam di suatu wilayah yang berdekatan) dalam rangka menguatkan ’Kompetensi Kolaboratif’. Program bersama ini di presentasikan sebagai unjuk karya dalam ekspo daerah.

Harapannya, kerja sama lintas agama, kepercayaan, dan budaya dalam mengatasi masalah-masalah kemanusiaan dan kebangsaan akan membuat warga bangsa Indonesia dapat menikmati surga kerukunan dengan menguatkan konsep dan nilai pro-eksistensi. ( Opini ini sdh terbit di www.kompas.id tg 26 Desember 2024)

* Siti Ruhaini Dzuhayatin

Profesor HAM dan Gender UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Kader Persyarikatan Muhammadiyah, Direktur Kalijaga Institute for justice