Corona dan Ilusi Medsos
PASCA diumumkannya beberapa Warga Negara Indonesia (WNI) yang positif terjangkit virus Corona (COVID-19), publik menjadi gempar. Virus yang semula teridentifikasi pertama kali di Wuhan, China ini memang meresahkan karena persebarannya sudah menebus sekat-sekat geografis. Atas terjadinya tragedi ini pun masing-masing negara mengambil kebijakan yang berbeda-beda untuk meredakan persebaran virus ini.
Fenomena masuknya Corona ke Indonesia tak pelak mengundang riuh reaksi para tokoh dan juga warganet. Media sosial (medsos) yang sangat mudah dijangkau oleh semua kalangan menjadi medium yang sangat strategis untuk menyuarakan segala bentuk aspirasi. Aspirasi publik pun kemudian tumpah ruah memenuhi laman medsos. Pada medsos Twitter, Corona bahkan pernah menduduki trending topic peringkat pertama.
Sebagai contoh, isu terkait masker dan kepanikan atas Corona dicuitkan dalam Twitter total hampir 5000 kali dan puncaknya ialah pada 7 Maret 2020 dengan cuitan lebih dari 1400 kali. Berdasarkan cuitan-cuitan tersebut diketahui bahwa terdapat 57% sentimen positif, 34% negatif dan 9% netral. Artinya, narasi terkait Corona di medsos masih didominasi sentimen positif. Data tersebut diperoleh dari social media monitoring tool Drone Emprit Academic yang disediakan oleh Universitas Islam Indonesia (UII).
Post-Truth
Kemudahan mendapatkan akses terhadap medsos sayangnya kerap kali tidak diimbangi dengan sikap tanggung jawab dalam bermedia. Seseorang kadang lupa bahwa cuitannya di medsos dapat berimpilikasi negatif, seperti halnya menimbulkan kepanikan. Beberapa cuitan tidak bertanggungjawab di dalam medsos dapat menimbulkan ilusi yang menyesatkan publik. Simpang siurnya pemberitaan mengenai Corona inilah yang dapat berpotensi menimbulkan hal yang lebih buruk ketimbang penyebaran virusnya itu sendiri.
Cuitan mengenai Corona dengan pelbagai narasi yang mengiringinya pun kemudian melaju sangat cepat. Cuitan-cuitan tersebut dapat berujung pada tindakan-tindakan irasional yang merugikan publik. Di tengah-tengah kepanikan publik inilah potensi tersebarnya berita bohong (hoax) di medsos dapat menjalar begitu cepat. Hoax tersebut kemudian akan berujung pada fenomena post-truth, yaitu fenomena dimana fakta tidak lebih dipercaya ketimbang asumsi pribadi seseorang.
Kehadiran ahli dan pihak-pihak yang berkompeten di tengah-tengah derasnya arus pembicaraan terkait Corona sangatlah diperlukan. Hal ini perlu dilakukan agar publik tidak terseret arus tersebut. Cuitan warganet yang hendak menunjukkan kepeduliannya terhadap Corona justru dapat berubah menjadi penyulut kepanikan publik. Dalam hal ini publik pun juga harus menahan jempol dan jarinya agar tidak mencuitkan narasi yang kontraproduktif.
Nurani Diuji
Hadirnya isu Corona di tengah-tengah publik ini seakan menjadi ujian bagi nurani. Satu hal yang menjadi ironi ialah pihak-pihak yang tega mencari keuntungan di balik tragedi ini. Corona justru dimainkan oleh beberapa pihak untuk kepentingan pribadinya. Sehingga tak jarang pemberitaan mengenai Corona justru menjadi kontraproduktif dan semakin jauh terhadap upaya pemulihan maupun pencegahannya.
Fenomena kelangkaan masker di beberapa daerah yang diduga ditimbun oknum tak bertanggungjawab menjadi bukti matinya nurani. Praktik penimbunan di tengah-tengah kepanikan publik ini barangkali akan merambah ke beberapa bahan-bahan lainnya sehingga ada pihak tertentu yang diuntungkan. Selain itu, ada pula sebagian politisi tak bermoral yang kemudian menunggangi isu ini untuk keperluan politiknya. Apabila melihat beberapa fenomena tersebut, maka kehadiran pemerintah sangatlah diperlukan. Baik dalam upaya penindakan maupun juga pencegahan atas kejahatan tersebut. Memang dalam kondisi apapun pihak tidak bertanggungjawab akan selalu memainkan perannya. Merawat nurani sekaligus logika secara bersamaan akan menjauhkan publik terhadap praktik-praktik amoral tersebut, baik sebagai pelaku maupun penyintas.
Isu dan kekalutan publik lantaran pemberitaan Corona harusnya tidak menghentikan proses penanganan efektifnya. Narasi-narasi kontraproduktif mengenai Corona di medsos terlebih dahulu perlu disterilkan, bukan justru terus diperkeruh. Literasi dalam bermedia perlu dikampanyekan lantaran masih banyak orang yang mampu menyampaikan aspirasi melalui medsos namun gagap dalam membaca situasi publik. Tersebarnya identitas penyintas Corona menjadi bukti bahwa kecepatan mengetuk layar gawai tidak diimbangi dengan kebesaran nurani.
Selain itu, kegagapan publik dalam bermedia juga dapat memicu perpecahan melalui sikap saling menyalahkan, baik menyalahkan pemerintah, penyintas maupun pihak lainnya. Mereka yang gemar mencari kesalahan biasanya tak pandai dalam menemukan solusi. Sikap yang demikian menunjukkan minimnya empati di tengah-tengah beberapa pihak bekerja keras menyelesaikan persoalan ini. Mendiskreditkan pihak tertentu dalam situasi seperti sekarang ini tidak akan menolong siapapun, hanya menambah luka. Fokus mencari solusi atas persoalan ini perlu menjadi kesadaran kolektif, termasuk bagi warganet.
Pemberitaan satu pintu mengenai Corona mutlak diupayakan agar tidak menambah kepanikan publik. Pemerintah dalam hal ini harus mengambil langkah sigap untuk segera menerbitkan regulasi dan petunjuk operasionalnya sampai tataran akar rumput. Gayung bersambut, peran publik untuk menjaga suasana kondusif baik di dunia maya maupun dunia nyata juga sangat diperlukan. Sinergi pemerintah dan publik untuk menghadirkan media yang mencerahkan perlu menjadi ikhtiar bersama. Dengan langkah inilah publik tidak akan mudah terjebak dalam ilusi medsos yang menyesatkan. (ila)
Oleh:Thoriq Tri Prabowo, MIP
*Penulis merupakan Dosen Program Studi Ilmu Perpustakaan UIN Sunan Kalijaga Jogjakarta, Pemerhati dan Pengguna Aktif Media Sosial.
(Artikel ini sudah diterbitkan di Radar Jogja 16 Maret 2020)