Menata Hati Di Kala Pandemi


DAMPAK
Covid-19 tidak hanya pada kehidupan sosial dan ekonomi. Dampak terbesar justru pada situasi psikologis.

Tinggal di rumah dalam waktu lama dengan interaksi sosial sangat terbatas jelas rentan rasa bosan. Perasaan bosan tak mudah dihindarkan.

Apalagi, jika kebiasaan kita berinteraksi sosial sangat tinggi. Bosan berpotensi menyebabkan situasi psikologis lain yang lebih buruk jika kita tak mampu menata hati. Perasaan gundah, gelisah, dan tertekan atau perasaan lebih buruk lagi bisa mengikutinya.

Beruntung pandemi ini terjadi ketika teknologi sudah demikian maju. Termasuk dalam media sosial. Sebagian aktivitas profesional dan interaksi sosial dapat dilaksanakan dengan bantuan teknologi. Ini jelas sangat membantu.

Namun, faktanya, teknologi tak bisa menyelesaikan semua masalah. Buktinya, keluhan tentang situasi ini menyeruak di mana-mana. Ibu-ibu dan bapak-bapak mengeluhkan bagaimana harus merawat dan mendidik anak-anak mereka di rumah. Anak-anak juga mengeluh tidak bisa bermain dengan teman-temannya.

Padahal, pada hari-hari biasa, bisa berkumpul dengan keluarga di rumah sangat diinginkan. Para pekerja dan pengusaha juga mengeluhkan situasi ini. Paramedis dan keluarganya juga dihinggapi rasa cemas dengan potensi terpapar virus. Deretan keluhan lainnya masih sangat panjang.

Kemampuan menata hati merupakan salah satu kunci keberhasilan menghadapi situasi psikologis ini. Di bulan puasa ini, kita mesti berusaha melakukannya.

Pertama, menerima kenyataan. Orang yang menerima kenyataan dan keadaan pada diri, keluarga, pekerjaan, serta lingkungannya disebut orang yang qanaah. Bagaimanapun, hati ini harus kita latih sedikit demi sedikit untuk menerima kenyataan. Kita harus berjuang keras secara batiniah dan pikiran agar hati ini mampu menerima kenyataan yang sudah terjadi.

Kita harus berusaha menanamkan perasaan ini di dalam hati. Pandemi ini sudah terjadi. Tak mungkin kita bisa menghindari. Perasaan yang diliputi dengan kata ”seandainya” sebaiknya kita hindarkan muncul dalam ruang batin kita. ”Seandainya ini tidak terjadi”, ”seandainya Covid-19 tidak sampai di negeri ini”, ”seandainya vaksin terhadap virus ini segera ditemukan”, dan deretan kata seandainya lain.

Semua itu baiknya kita hindari. Bukan hanya dalam ucapan, tapi yang terpenting dihindari muncul dalam pikiran dan perasaan.

Hati dan perasaan itu bisa berubah-ubah. Sebentar merasa nyaman, tapi tiba-tiba bisa dihinggapi rasa bosan. Membuat hati kita istiqamah menerima kenyataan adalah perjuangan.

Kita harus memperjuangkannya. Perjuangan batin seperti itulah yang disebut dengan mujahadah, yaitu bentuk jihad yang disebut Nabi sebagai jihad paling agung.

Kedua, menghadirkan rasa syukur di hati. Bersyukur itu gampang sekali diucapkan dan diceramahkan. Tapi, itu pekerjaan batin yang luar biasa besar. Bersyukur berarti memandang positif terhadap segala situasi dan keadaan kita, keluarga kita, pekerjaan kita, dan lingkungan di sekitar kita.

Orang yang mampu bersyukur bukan hanya menerima kenyataan. Tapi, ia pelan-pelan berusaha menyesapi hikmah di dalam kenyataan. Kendati kenyataan itu cukup pahit.

Orang yang bersyukur mampu menghadirkan perasaan ”alhamdulillah” dalam ruang batinnya. ”Alhamdulillah, anak-anak saya sehat meski saya harus capek sekali mengajar dan merawat mereka di rumah sepanjang hari, bagaimana perasaan mereka yang ada anggota keluarganya terpapar virus korona”; ”alhamdulillah, gaji saya masih dibayarkan 50 persen, banyak kawan saya harus kehilangan pekerjaan di musim ini”; ”alhamdulillah, kedua orang tua saya masih sehat kendati beberapa bulan ini tak bisa menjenguk mereka, bahkan di hari fitri”. Kita mesti berjuang secara batiniah agar perasaan kita diwarnai ”alhamdulillah” meski dalam situasi serbakurang.

Salah satu cara menghadirkan rasa syukur di hati adalah melihat mereka yang nasibnya berada di bawah kita. Semakin kita mampu menghadirkan perbandingan kita dengan orang di bawah kita, akan makin mengurangi tekanan pada batin kita. Bahkan, itu bisa memperindah ruang batin kita.

Dan, bagian bersyukur paling penting adalah mewujudkannya dalam karya nyata. Kita tidak bisa mencapai kebahagiaan hati hanya lantaran makan, minum, dan semacamnya. Tapi, kita akan menemukan itu dengan berkarya nyata.

Bagaimanapun situasi saat ini, memberikan karya terbaik adalah jalan untuk menata hati. Karya itu tak selalu terkait profesi, tapi juga karya sosial, memanfaatkan musim korona untuk berinteraksi dengan anak sebaik-baiknya, dan kegiatan produktif lainnya. ”Sungguh, orang-orang yang beriman dan melakukan amal saleh (berkarya kebaikan yang nyata), maka mereka itulah sebaik-baik makhluk” (QS Al Bayyinah: 7).

Ketiga, menghadirkan perasaan yang berserah diri kepada Yang Serbamaha. Tawakal adalah nama dari sikap batin ini. Tawakal bukan pasivitas, tapi sikap batin yang kuat.

Tawakal terkait dengan hasil usaha kita, perjuangan kita, nasib kita, dan masa depan kita. Tawakal justru bisa menyatu dengan orang yang sangat aktif berjuang dalam kehidupan keluarga dan masyarakatnya. Kemampuan batin untuk berserah diri kepada Yang Maha adalah tenaga yang luar biasa untuk menghadapi apa pun.

Puasa adalah lahan subur bagi persemaian sikap-sikap batin yang positif di atas. Orang yang bersungguh-sungguh dalam puasanya akan mampu memproduksi sikap-sikap batin yang indah di atas. Puasa jelas bisa membantu kita untuk mampu menata hati di musim pandemi ini. Wallahu a’lam. (*)

*) Oleh Ibnu Burdah Guru Besar Fakultas Adab UIN Sunan Kalijaga, Jogjakarta
Artikel ini sudah terbit di Jawa Pos 5 Mei 2020.