Melonjaknya Covid-19 dan Fleksibilitas Kita Beragama
Oleh: Prof.Dr. Syihabuddin Qalyubi, Lc., M.Ag., (Guru Besar Fakultas Adab dan Ilmu Budaya UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta).
Sejak kasus Covid-19 terdeteksi di Indonnesia, yaitu bulan Maret 2020 sampai dengan sekarang korban yang terpapar menunjukkan peningkatan. Banyak faktor penyebab naiknya grafik yang terpapar musibah ini. Antara lain masyrakat kurang memperhatikan protokol kesehatan sebagai akibat kehidupan yang jenuh, sehingga mereka ingin segera merubah suasana, dengan rekreasi dan mendatangi tempat-tempat yang belum layak dikunjungi.
Di samping itu umat Islam sebagai mayoritas penduduk negeri ini, umumnya sudah kembali ke kehidupan rutinitasnya, shalat berjamaah di masjid, mendatangi majlis taklim, pengajian dan kegiatan lainnya, padahal covid-19 belum mereda, dan masih nyata adanya, sehingga hal ini menyumbang grafik kenaikan yang terpapar.
Padahal jika diperhatkan dengan seksama, betapa indahnya beragama Islam di tengah pandemi Covid-19 (Corona Virus Disease). Di sini kita lihat fleksibilitas dalam penerapan hukum Islam yang kita imani,” sifat fleksibilitas tersebut menjadi pedoman ulama kini untuk mengkaji ulang cara beribadah agar tetap pada esensi dan tidak menyalahi syariat.
Paling tidak ada tiga kaidah yang bisa dipedomani untuk menjaga fleksibilitas Ajaran Islam di musim pandemi ini:
1. Kesulitan menyebabkan adanya kemudahan ( المَشَقَّةُ تَجْلِبُ التَّيْسِيْر )
Covid-19 yang sudah berlangsung kurang lebih sepuluh bulan ini, memberikan dampak terbatasnya ruang gerak, sehingga kita terkungkung di dalam kawasan yang sangat terbatas. Namun akhir-akhir ini lockdown di berbagai daerah sudah dibuka, sehingga terjadi kontak di antara warga secara langsung sebagaimana sebelum ada Corona. Andaika kita mau tambah bersabar korban yang terpapar mungkin tidak akan meroket seperti ini.
Padahal kaidah al-masyaqqah tajli>b at-taisi>r sangat memberi kemudahan baik dalam peribadahan maupun dalam pergaulan bermasyarakat. Dalam melaksaanakan ibadah Jum’ah misalnya, pada kondisi pandemi yang sudah memuncak umat Islam diperbolehkan meninggalkan shalat Jumah dan diperbolehkan diganti dengan shalat zhuhur empat rakaat.
Kemudahan yang diberikan ajaran Islam terkadang oleh sebagian umat Islam masih ragu-ragu diambilnya, sehubungan ada hadits yang melarang meninggalkan shalat jumat tiga kali yang berbunyi sebagai berikut:
مَن ترَكَ الجمعةَ ثلاثَ مرَّاتٍ تهاونًا بها، طبَعَ اللهُ على قلْبِه
"Barangsiapa meninggalkan shalat Jumat sebanyak tiga kali dengan penyepelean maka Allah akan tutup hatinya (Sunan at-Turmudzy: 500)
Dalam redaksi hadist, disebutkan meninggalkan shalat Jumat dengan penyepelean atau meremehkan akan mengakibatkan ditutupnya hati. Dalam hadits lain disebutkan, barang siapa meninggalkan shalat Jumat sebanyak tiga kali tanpa uzur maka Allah akan tutup hatinya. Kondisi covid-19 sekarang ini tidak ada unsur penyepelean, melainkan dalam keadaan kesulitan udzur syar’i dan terpaksa, karena menghadiri kerumunan patut diduga akan mendapatkan kesulitan, yaitu tertular virus corona.
2.Upaya menolak kerusakan harus didahulukan daripada upaya mengambil kemaslahatan (دَرْءُ الْمَفَاسِدِ مُقَدَّمٌ عَلَى جَلْبِ الْمَصَالِحِ )
Dalam tradisi kehidupan sehari-hari, kita biasa bersilaturrhmi mengunjungi tetangga atau kerabat, menghadiri pengajian, rapat kampung dan sebagainya.
Dalam kegiatan silaturrahim itu sudah barangtentu banyak maslahatnya, sebagaimana ditunjukkan hadits, bahwa dengan sillaturrahim akan dimudahkan rizki dan diperpanjang umur, dalam kegiatan pengajian kita akan mendapat tambahan ilmu pengetahuan, dalam rapat kampung kita bisa urun rembug dalam pengelolaan kampung.
Kaidah di atas memberikan pemahaman bahwa dalam kondisi covid sekarang ini penyelamatan nyawa akibat manusia dari berkontak langsung lebih diutamakan dari pada memperoleh manfaat yang diperoleh dari berbagai kegiatan tadi. Namun jika bersilaturrahim atau menghadiri pengajian dan hadir di rapat kampung ada kondisi tertentu yang mengharuskan dilaksanakan, maka pelaksanaan protokol kesehatan dan pengurangan jumlah masa yang hadir atau penggunaan IT seperti zoom adalah salah satu alternatif yang perlu diupayakan.
3.Tidak boleh melakukan sesuatu yang membahayakan diri sendiri dan orang lain (لَا ضَرَرَ وَلَا ضِرَار)
Kaidah ini berkaitan dengan prilaku kita yang tidak boleh membahaya diri kita dan membahayakan orang lain. Misalnya di suatu daerah sudah dinyatakan zona merah, maka kita tidak boleh masuk ke daerah itu, karena perbuatan itu akan membahayakan diri kita. Sebagaimana hadits yang berhubungan dengan Umar bin Khattab ra.
أَنَّ عُمَرَ، خَرَجَ إِلَى الشَّام، فَلَمَّا كَانَ بِسَرْغَ بَلَغَهُ أَنَّ الْوَبَاءَ قَدْ وَقَعَ بِالشَّامِ، فَأَخْبَرَهُ عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ عَوْفٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ " إِذَا سَمِعْتُمْ بِهِ بِأَرْضٍ فَلاَ تَقْدَمُوا عَلَيْهِ وَإِذَا وَقَعَ بِأَرْضٍ وَأَنْتُمْ بِهَا فَلاَ تَخْرُجُوا فِرَارًا مِنْهُ "
“Umar ra sedang dalam perjalanan menuju Syam, saat sampai di wilayah bernama Sargh, Umar ra mendapat kabar adanya wabah di wilayah Syam. Kemudian Abdurrahman bin Auf berkata kepada Umar bahwa Nabi Muhammad SAW pernah berkata, "Jika kamu mendengar wabah di suatu wilayah, maka janganlah kalian memasukinya. Tapi jika terjadi wabah di tempat kamu berada, maka jangan tinggalkan tempat itu." (HR Bukhori).
Dalam hadist yang juga diceritakan Abdullah bin Abbas dan diriwayatkan Imam Malik bin Anas, keputusan Umar sempat disangsikan Abu Ubaidah bin Jarrah. Dia adalah pemimpin rombongan yang dibawa Khalifah Umar. Menurut Abu Ubaidah, Umar tak seharusnya kembali karena bertentangan dengan taqdir (ketentuan) Allah SWT. Umar menjawab saya tidak melarikan diri dari taqdir Allah SWT, namun menuju ke taqdir-Nya yang lain.
Dalam hadits tersebut juga disebutkan jika terjadi wabah di tempat kamu berada, maka jangan tinggalkan tempat itu. Karena lari dari tempat wabah yang patut diduga yang bersangkutan terpapar wabah akan membahayakan orang lain. Jika diperhatikan dengan seksama, bahwa protokol kesehatan (memakai masker, mencuci tangan, dan menjaga jarak) adalah realisasi dari kaidah lā dlarar wa lā dlirār
Adanya fasilitas dan berbagai kemudahan dalam ajaran Islam menjadi bukti fleksibilitas ajaran Islam, sehingga umat Islam tetap bisa melaksanakan ajaran Islam sekalipun covid-19 belum bisa diketahui kapan akan sirna. Semoga kita semua dilindungi Allah dari pandemi covid-19 ini.