Spiritualitas Shalat di Masjidil Haram.

Ditulis Oleh : Prof. Dr. Susiknan Azhari, Guru Besar Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga

Tulisan ini sudah dimuat media : https://ibtimes.id/memahami-spiritual-shalat-masa-pandemi-di-masjidil-haram/

Shalat merupakan ibadah yang sangat penting bagi umat Islam. Dalam sebuah hadis sahih dinyatakan pertama kali yang akan dihisab pada hari kiamat nanti adalah salat. Jika salat seseorang baik maka berdampak positif dalam diri dan perilaku sehari-hari.

Untuk itu umat Islam berusaha terus-menerus meningkatkan kualitas salatnya dengan berbagai cara. Ada yang melalui pelatihan salat khusu’ dan ada pula melalui ibadah umrah. Kesemuanya dilakukan semata-mata agar spiritual salat dapat dirasakan dan terus meningkat sehingga berdampak dalam kehidupan.

Selanjutnya, tulisan ini berusaha melihat bagaimana cara efektif meningkatkan kualitas salat dengan memperhatikan pelaksanaan shalat di Masjidil Haram. Hal ini dilakukan karena Masjidil Haram merupakan masjid yang istimewa, yang di dalamnya terdapat Baitullah (Ka’bah) sebagai kiblat umat Islam seluruh dunia. Setiap umat Islam berharap dapat menunaikan salat di Masjidil Haram. Untuk itu dilakukan observasi pada bulan Jumadil Akhir 1442 H/Januari-Februari 2021 M dengan memfokuskan 10 hari terakhir.

Hasil observasi ditemukan selama sebulan (150 kali salat) terdapat 8 imam tetap, dengan rincian sebagai berikut: Syeikh Bandar ibn Abdul Aziz Balilah (20 kali), Syeikh Yasir ibn Rasyid ad-Dausari (38 kali), Syeikh Abdullah ibn ‘Awwad al-Juhni (28 kali), Syeikh Mahir ibn Hamd al-Ma’aqqaly (23 kali), Syeikh Faisal ibn Jamil Gazzawiy (17 kali), Syeikh Su’ud ibn Ibrahim asy-Syuraim (11), Syeikh Usamah ibn Abdullah Khayyat (6 kali), dan Syeikh Abdurrahman ibn Abdul Aziz as-Sudais (7 kali).

Bagi masyarakat muslim Indonesia Syeikh as-Sudais paling terkenal. Ia sering datang ke Indonesia. Suara dan gaya bacaannya banyak diikuti para imam masjid di Indonesia. Salah satunya adalah Hasanuddin Sinaga Imam Masjid Istiqlal. Pada musim sebelum pandemi covid-19 di Masjidil Haram dikenal istilah “Mawaid Iqamah as-Salah”. Sebuah jadwal yang memuat waktu jeda antara azan dan iqamah. Dalam jadwal tersebut dijelaskan waktu jeda antara azan dan iqamah beragam (Subuh = 25 menit, Zuhur = 20 menit, Asar = 20 menit, Magrib = 10 menit, dan Isyak = 15 menit).

Namun sejak pandemi covid-19, jadwal tersebut tidak digunakan. Selama penulis melakukan observasi ditemukan rata-rata azan berkumandang selama 3 menit dan iqamah rata-rata 1 menit. Adapun waktu jeda antara azan dan iqamah rata-rata adalah Fajar = 5 menit, Zuhur = 10 menit, Asar = 8 menit, Magrib = 5 menit, dan Isyak = 6 menit.

Sementara itu lama waktu salat rata-rata 10 menit dan paling lama 16 menit. Hal ini tejadi pada salat Zuhur 24 Jumadil Akhir 1442 H/6 Februari 2021 M dengan imam Syeikh Abdullah ibn ‘Awwad al-Juhni dan salat Isyak 28 Jumadil Akhir 1442 H/10 Februari 2021 M dengan imam Syeikh Yasir ibn Rasyid ad-Dausari, sedangkan yang terpendek adalah 6 menit terjadi pada salat Zuhur 28 Jumadil Akhir 1442 H/10 Februari 2021 M dengan imam Syeikh Su’ud ibn Ibrahim asy-Syuraim.

Selama pandemi suasana salat di Masjidil Haram tampak tenang dan damai. Orang-orang yang melakukan tawaf berjalan mengitari Ka’bah dengan penuh kepasrahan dan mengikuti protokol kesehatan. Suasana ini berbeda ketika belum terjadi pandemi. Hampir setiap saat Masjidil Haram dipenuhi jama’ah umrah dari berbagai negara yang melakukan tawaf sehingga terkesan penuh dan berdesak-desakan. Apalagi saat musim haji tiba lautan manusia mengitari Baitullah (Kakbah) untuk melakukan tawaf. Ketika selesai tawaf terasa sulit untuk melakukan salat sunah. Tak jarang ketika sujud terinjak oleh jama’ah lain. Sekali lagi kondisi sekarang sangat berbeda dengan sebelumnya.

Para jama’ah yang melakukan tawaf leluasa bergerak dan saling menjaga jarak. Berdasarkan uraian di atas dan observasi pelaksanaan salat di Masjidil Haram ada 5 nilai yang dapat diambil pelajaran untuk meningkatkan kualitas diri. Antara lain :

Kepasrahan

Para jama’ah yang berada di depan Ka’bah tampak wajahnya penuh kepasrahan di hadapan Sang Maha Pencipta. Mereka menyadari apa yang dimiliki baik harta maupun tahta tidak ada artinya. Semuanya hanya berbekal sepotong pakaian ihram dan tertunduk malu mengingat perbuatan yang telah dilakukan sebelumnya. Kesadaran ini akan bernilai guna jika bisa dipertahankan dan terus ditingkatkan. Nilai kepasrahan memiliki makna yang mendalam bagi setiap individu muslim dan muslimah agar setiap langkahnya selalu dipandu oleh Allah dan rasulNya. Hal ini sejalan dengan Q.S. 40 ayat 44 yang artinya “Kelak kamu akan ingat kepada apa yang kukatakan kepada kamu. Dan aku menyerahkan urusanku kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Melihat akan hamba-hambaNya.

Kedisiplinan

Selama observasi, adzan di Masjidil Haram dikumandangkan sesuai yang tertera pada jadwal waktu shalat. Begitu pula dengan panjang lantunan azan. Meskipun dikumandangkan berbagai muadzin dengan suara dan gaya berbeda-beda, lamanya sama 3 menit. Kedisplinan dan dedikasi yang tinggi juga tampak pada para tenaga pembersih. Mereka bekerja penuh semangat dan disiplin sesuai jadwal yang ditentukan. Realitas ini menggambarkan bahwa disiplin menjadi bagian penting dalam melaksanakan salat di Masjidil Haram. Nilai kedisplinan ini sangat penting bagi kehidupan bersama dan perlu dibiasakan dalam kegiatan-kegiatan di luar shalat

Ketertiban

Pada masa pandemi ketertiban dalam melaksanakan salat dan tawaf sangat dirasakan oleh jama’ah umrah. Mereka berjalan mengitari Ka’bah dengan tertib sesuai batas yang ditentukan. Kondisi ini berbeda dengan situasi sebelum pandemi. Untuk itu ke depan suasana tertib selama masa pandemi perlu dipertahankan. Kewajiban para pembimbing manasik mengarahkan aspek syar’i dibarengi aspek substansi. Agar ibadah haji dan umrah tidak terjebak pada formalitas semata yang hanya mengejar prosedural dan kurang menghayati nilai-nilai esensial ibadah haji dan umrah. Akibatnya dalam pelaksanaannya tidak jarang menyakiti pihak lain gara-gara mengejar pahala semata

Keragaman

Di dalam ajaran Islam keragaman adalah sebuah keniscayaan. Berbagai mazhab melaksanakan salat di depan Ka’bah. Semuanya saling menghargai dan tidak ada satupun merasa paling benar. Masing-masing pihak beribadah sesuai keyakinan tetapi satu komando imam shalat di Masjidil Haram. ni bukti bahwa Islam sangat menghargai keragaman dan kebersamaan. Semangat ini perlu digelorakan di tengah arus saling mencurigai antar warga negara, bahkan sesama umat Islam. Untuk itu sudah sepatutnya umat Islam, terutama para pemukanya menjiwai nilai keragaman di Masjidil Haram sehingga dapat bersikap asertif dan penuh kearifan dalam menghadapi berbagai problem berbangsa dan bernegara.

Kemodernan

Nilai kemodernan banyak dijumpai di Masjidil Haram. Setiap penulis datang dan shalat di Masjidil Haram, banyak terjadi perubahan baik struktur bangunan maupun teknologi yang digunakan. Salah satu hal yang menarik adalah persoalan sound system. Sepanjang pengamatan penulis, selama ini belum pernah terjadi permasalahan sound system baik ketika azan dan iqamah berkumandang maupun ketika khatib menyampaikan khutbah. Begitu pula permasalahan listrik juga belum ditemukan. Sistem tata kelola modern ini memberi inspirasi bagi para takmir masjid di negeri ini untuk meningkatkan kualitas pelayanan sound system dan persoalan listrik. Keduanya menyadarkan umat bahwa dalam melaksanakan ibadah, khususnya persoalan teknis harus memperoleh perhatian serius. Sarana dan prasarana ibadah salat perlu dipilih yang berkualitas dan terbaik sehingga tidak mengganggu prosesi ibadah. Akhirnya sudahkah salat yang dijalani selama ini berkualitas dan berdampak dalam perilaku sehari-hari atau hanya memenuhi prosedural formal dan belum memasuki wilayah substansi sehingga bisa menembus cahaya Ilahi? Wa Allahu A’lam bi as-Sawab.