VAKSIN ASTRAZENECA

Oleh : Shofiyullah Muzammil (Wakil Dekan Fak Ushuluddin dan Pemikiran Islam UIN Sunan Kalijaga-Pengasuh Pondok Pesantren Mahasiswa AL-ASHFA)

Berbeda dengan kehadiran vaksin covid-19 sebelumnya, Sinovac produk Sinovac Life Science Co. Ltd. China, vaksin AtraZeneca menuai polemik hingga saat ini. Semuanya berawal dari keluarnya Fatwa MUI Pusat nomor 14 tahun 2021 tentang hukum penggunaan vaksin covid-19 produk AstraZeneca yang berasal dari Inggris dan diproduksi di SK Bioscience Co. Ltd., Andong, Korea Selatan, yaitu “HARAM tapi MUBAH (BOLEH)”.

Status hukum HARAM tapi BOLEH bagi telinga masyarakat yang tidak terbiasa dengan diskursus fiqh memang mengagetkan dan membingungkan. Meski MUI dalam lembar fatwanya sudah memberikan penjelasan apa dan mengapa "terpaksa" keluar status hukum itu tapi penjelasan panjang lebar dengan dasar argumentasi yang logis argumentatif beserta data-data ilmiah tetap saja sudah tidak menarik.

Masyarakat lebih senang hasil akhir daripada prosesnya. Budaya instant disertai budaya literasi masyarakat yang masih rendah semakin menarik saat ada fatwa "tandingan" dari MUI Jatim dan PWNU Jatim yang menyatakan "HALAL DAN SUCI'.

Tidak sekedar berhenti pada mengeluarkan fatwa Halal dan Suci bahkan PWNU Jatim dan MUI Jatim menjadi pelopor suntik vaksin AstraZeneca pertama nasional yang diselenggarakan di Jatim bagi kalangan Kyai Pengasuh pondok pesantren guna meyakinkan masyarakat akan kesucian dan kehalalan vaksin AstraZeneca.

Pemerintahpun memberikan apresiasi yang maksimal dengan hadirnya Presiden Jokowi menyaksikan langsung proses vaksinasi AstraZeneca di Jombang dan Sidoarjo tersebut.

MUI Pusat dalam kasus ini seolah diposisikan sebagai penyebab dari kehebohan vaksin AstraZeneca. Goreng menggoreng semakin merembet kemana-mana. Ujung-ujungnya diduga ada agenda terselubung di balik hadirnya vaksin AstraZeneca ini, konspirasi. Teori konspirasi memang selalu jadi taksonomi bloom paling favorit dalam melihat setiap persoalan kebangsaan.

Beda Tapi Sama

Perbedaan hasil status hukum vaksin AstraZeneca antara MUI Pusat dan “bawahannya” MUI Jawa Timur yang di dukung oleh PWNU Jawa Timur berawal dari cara pandang (manhaj) dan prinsip hukum yang berbeda.

MUI Pusat berpedoman pada hasil Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia V tahun 2015 yang diselenggarakan di Pondok Pesantren at-Tauhidiyah, Cikura, Tegal, Jawa Tengah pada tanggal 19-22 Sya’ban 1436H/7-10 Juni 2015.

Dalam ketentuan hukum mengenai istihalah nomor 3 menyatakan bahwa “Setiap bahan yang terbuat dari babi atau turunanya haram dimanfaatkan untuk membuat makanan, minuman, obat-obatan, kosmetika dan barang gunaan, baik digunakan sebagai bahan baku, bahan tambahan maupun bahan penolong”.

Ketentuan inilah yang dipedomani oleh MUI Pusat bahwa produk apapun yang mengandung unsur babi (intifa’ul khinzir) hukumnya haram dan tidak perlu diproses lebih lanjut, baik dengan cara istihalah (dirubah material atau sifat suatu benda najis menjadi benda baru dan suci) ataupun istihlak (dirusak dan dihilangkan sifat dan kandungan najisnya suatu benda najis dengan dicampur benda suci dan halal yang lebih banyak sehingga menjadi suci).

Menurut laporan LPPOM MUI yang disampaikan pada Komisi Fatwa MUI bahwa pada tahap penyiapan inang virus vaksin AstraZeneca ini terdapat penggunaan bahan dari babi berupa tripsin yang berasal dari pankreas babi. Bahan ini digunakan untuk memisahkan sel inang dari microcarriernya. Kemudian pada tahap penyiapan bibit vaksin rekombinan utk produksi juga menggunakan tripsin dari babi sebagai salah satu komponen pada media yang digunakan untuk menumbuhkan E.coli dengan tujuan meregenerasi transfeksi plasmid p5713 p-DEST ChAd0x1 nCov-19. Sehingga disimpulkan vaksin covid-19 produk AstraZeneca hukumnya haram karena dalam tahapan proses produksinya memanfaatkan tripsin yang berasal dari pankreas babi.

Adapun penggunaan vaksin AstraZeneca yang haram ini atas dasar pertimbangan kemendesakan (dlarurat) yang berskala nasional maka diperbolehkan (mubah). Dengan catatan bahwa hukum boleh (darurat) ini sifatnya sementara sampai ada vaksin baru yang statusnya halal dan thayyib.

MUI Jawa Timur dalam Hasil Sidang Komisi Fatwa MUI Propinsi Jawa Timur tanggal 21 Maret 2021 melahirkan tiga hal. Pertama, mendorong pada Pemerintah untuk mengoptimalkan vaksinasi guna meminimalisir pandemi C-19. Kedua, menghimbau seluruh masyarakat utk aktif berpartisipasi dalam program vaksinasi yang dilakukan oleh pemerintah. Ketiga, vaksin covid-19 yang dalam rangkaian uji penemuan dan produksinya menggunakan bahan yang sudah mengalami proses perubahan bentuk (istihalah/istihlak) adalah halal dan tidak najis karena itu diharapkan masyarakat tidak ragu atas kehalalan dan kesucian vaksin tersebut.

Dalam pertimbangan hukum atas vaksin C-19 yang terindikasi menggunakan tripsin pankreas babi (tanpa menyebutkan nama vaksinnya, red.) dikutip pendapat Syekh Nawawi al-Bantani dan Fatwa Ulama Mesir (Mufti al-Azhar, Syaikh Hasanain Makhluf) yang menyatakan kewajiban menghindari keadaan darurat wabah. Pertimbangan hukum kedua soal kebolehan istihalah dengan mengutip pendapat Hanafiah dan Malikiyah.

Tidak ada penjelasan lebih lanjut terutama bagaimana proses pembuatannya dan kandungan yang terdapat di dalamnya.

Senada dengan MUI Jawa Timur, PWNU melalui hasil Keputusan PWNU Jawa Timur nomor 859/PW/A-ll/L/lll/2021 tentang Hukum Vaksinasi Covid 19 menyatakan bahwa vaksinasi covid-19 wajib diikuti/ditaati dengan alasan: pertama, ikhtiar menghindarkan diri dan orang lain dari potensi bahaya (penyakit) adalah kewajiban bersama WNI. Kedua, perbuatan yang hukumnya wajib apabila diperintahkan oleh pemerintah maka mengokohkan hukum wajib tersebut sehingga tidak mentaati pemerintah dalam kebijakannya yang jelas-jelas tidak bertentangan dengan syara’ adalah dilarang (haram). Ketiga, vaksinasi sebagai upaya menghentikan penyebaran covid 19 merupakan upaya paling efektif, karena itu harus lebih diutamakan dan diprioritaskan. Keempat, jenis vaksin yang telah direkomendasikan oleh Menteri Kesehatan RI adalah suci sebab pada produk akhir tidak terdapat kandungan unsur najis sama sekali, sebagaimana astrazeneca, sinovac dan lain-lain (tidak specifik menyebut satu jenis vaksin, red.). Kelima, dalam program vaksinasi ini agar pemerintah mulai pusat sampai yang paling bawah menyelenggarakan dengan sepenuh hati, jujur dan bertanggungjawab.

Referensi hukum yang digunakan sama dengan yang digunakan oleh MUI Jatim ditambah beberapa kitab seperti Tafsir at-Thabary, Shahih Bukhari, Nihayah Zein, Jawharut Tauhid, Tuhfatul Muhtaj dan al-Fiqh al-Islam wa Adillatuhnya Wahbab az-Zuhaily.

Dari ketiga “fatwa” diatas, terlihat bahwa baik MUI Pusat atau MUI Jatim dan PWNU Jatim pada kesimpulan akhirnya menyatakan boleh menggunakan vaksin AstraZeneca. Bedanya, MUI Pusat tetap memegang prinsip kalau ada unsur babi pada awal prosesnya meski pada hasil akhirnya tidak ada (terlihat) hukumnya haram.

Sedang, MUI Jatim dan PWNU Jatim berpegang pada hasil akhir dari pembuatan vaksin bukan pada prosesnya. Kalau tidak ada atau terlihat unsur babi maka hukumnya suci dan halal. Ini sesuai ketentuan fiqh, nahnu nahkumu bid dlawahir wa Allah yatawalla bis sara-ir. Syariat tidak menuntut untuk menyelidiki lebih dalam dan mendetail bagaimana asal dan prosesnya yang penting hasil akhirnya tidak terdapat unsur najis dan haram maka hukumnya suci dan halal. Ibarat seseorang membeli buah mangga melalui transaksi jual beli yang sah dan halal maka pembeli tidak perlu menanyakan pada penjualnya dari mana mangga ini berasal. Apakah di tanam di tanah sengketa atau diberi pupuk najis dan seterusnya.

Sementara Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah Agus Taufiqurrahman yang membidangi Majelis Pembina Kesehatan Umum (MPKU) bersama Ketua Muhammadiyah Covid-19 Command Center (MCCC) Agus Samsudin sepakat mendukung independensi MUI menjalankan perannya dalam penentuan kehalalan vaksin dan siap menjadi bagian dari proses tersebut.

Kebenaran Ijtihady

Keputusan hukum yang dikeluarkan terkait vaksin AtraZeneca itu adalah hasil ijtihad kolektif-institusional dari masing-masing lembaga MUI dan PWNU. Ketentuan hukum fatwa bersifat mengikat bagi yang mengeluarkan dan yang meminta. Untuk pihak ke tiga diberi kebebasan menentukan mana yang terbaik bagi dirinya. Pilihan terbaik dipilih setelah mengetahui alasan (istidlal) hukum dan proses penggalian (istinbath) hukum yang dilakukan.

Kebenaran hukum hasil ijtihad bersifat independen. Kalau ada dua atau lebih hasil keputusan ijtihad yang berbeda dan bertentangan dalam satu persoalan yang sama maka semuanya benar menurut keyakinan masing-masing mujtahidnya. Hasil ijtihad tidak bisa mengkoreksi hasil ijtihad yang lain, al-ijtihadu la yunqadlu bil ijtihad.

Adanya produk hukum yang berbeda itu suatu yang alamiah tidak perlu dipersoalkan atau dibesar-besarkan. Terkait penggunaan vaksin AstraZeneca sebenarnya keputusan akhirnya sama, boleh. Namun kebolehan vaksin AstraZeneca menurut MUI Pusat bersifat darurat karenanya hanya berlaku selama tidak ada vaksin lain yang halal dan suci. Kalau sudah ada vaksin yang halal dan suci maka status kebolehannya menjadi berubah dengan sendirinya menjadi haram.

Dengan demikian masyarakat tidak perlu ragu lagi untuk bersikap. Bagi yang tetap merasa tidak nyaman karena menganggap dengan suntik vaksin ini akan memasukan benda najis ke dalam tubuhnya silakan tingkatkan kewaspadaan dan kehati-hatiannya dalam menjalani aktifitas sehari-hari. Selalu pakai masker, hindari kerumunan, selalu cuci tangan, rajin olahraga dan berjemur serta selalu memohon kepada Allah agar terhindar dari wabah ini.

Bagi yang sudah mantap silakan segera ikut program vaksinasi yang sudah dicanangkan oleh pemerintah melalui berbagai media dan lembaga. Dengan saling menghormati dan menghargai apapun sikap dan keputusan yang diambil, hidup ini menjadi indah dan nyaman. Kalau sudah tercipta lingkungan yang indah dan nyaman, kekebalan tubuh (imun) akan cepat terbentuk melindungi tubuh. Dengan demikian target tercapainya herd immunity bisa lebih cepat tercapai. Indonesia bisa lebih cepat terlepas dari pandemi ini. Kembali beraktifitas normal seperti saat sebelum pandemi. Semoga Allah kabulkan doa dan harapan ini, amin. Demikian semoga bermanfaat.

Yogyakarta,Nishfu Sya’ban 1443/29 Maret 2021

Kolom Terkait

Kolom Terpopuler