Sambutan Rektor Pengukuhan Guru Besar Prof. Dr. Sekar Ayu Aryani, M.Ag

Oleh : Prof. Dr .Phil. Al Makin.S.Ag., MA

(Rektor UIN Sunan kalijaga Yogyakarta)

Ketua dan Sekretaris Senat,Para Wakil Rektor,Para Dekan,Direktur Pascasarjana,Semua yang hadir luring dan daring,Mari bersyukur pada pengukuhan Guru Besar pertama tahun 2021 ini. Mari berdoa agar wabah segera berlalu.

UIN Sunan Kalijaga akan dipenuhi dengan Guru Besar yang akan datang, kita akan dorong dan dukung secara finansial dan semangat untuk menulis makalah yang baik dan layak publikasi.Ini program Posdoktoral periode lalu Prof. KH. Yudian Wahyudi MA, Ph.D, saya dan Pak Yai Sahiron Bersama mengawal dari segi finansial dan semangat.Pak Wakil 1 akan menyiapkan program-program academic writing baik level Lektor, Lektor Kepala atau Asisten Ahli.

Semoga team kita tetap kompak, solid, bersama sampai ujung dengan niat yang ikhlas, tulus, dan bersih, tidak melakukan kesalahan-kesalahan administrasi atau melanggar hukum. Kita orang baik dengan niat baik, insyaallah diberi keselamatan dan kelancaran.

Saya sangat berbahagia dengan pengukuhan ini, bagi keluarga Bu Aryani yang kedua, setelah suaminya Pak Prof. Waston dikukuhkan di UMS. Selamat berdua sudah menjadi Guru Besar.

Bu Aryani adalah orang tua saya sendiri. Saya mengambil kulaihnya di Ushuluddin tahun 1993, psikologi agama. Setelah itu jumpa lagi di Montreal, McGill University, beliau sedang menyelesaikan S3 menulis disertasi. Saya sendiri sedang menyelesaikan S2 dan jumpa jodoh saya. Kemudian saya dinikahkan oleh Pak Yai Prof Yudian (kini Kepala BPIP), Mbak Handaroh, dan Bu Aryani. Jadi mereka menjadi orang tua saya di sana, wali dan saksi. Terimakasih. Kami berdua jauh dari orang tua, mendapatkan orang tua yang lain, dan mengawal karir dan kehidupan saya selanjutnya.

Bu Prof. Aryani menjadi Dekan dan Wakil Rektor 1, saya mengelola jurnal Al-Jamiah. Saya mengambil banyak kesempatan fellow pada periode itu. Bu Aryani banyak membantu saya, sehingga tugas saya lancar dan Al-Jamiah tetap terbit dan memperoleh Scopus pertama untuk jurnal ilmu sosial dan humaniora di Indonesia. Alhamdullillah Al-Jamiah kini dipegang Prof. Ratno Lukito memperoleh Q1. Jurnal itu ya naik dan turun, pernah Q1, turun ke Q2, lalu ke Q1 lagi. Kita syukuri.

Mendengar pidato dan membaca teks pengukuhan Bu Aryani ada beberapa poin yang layak untuk pemikiran kembali. Gagasan tentang Islamisasi pengetahuan, yang ini mengembangkan langkah senior kita, seniman, sejarahwan, novelis Kuntowijoyo. Bu Prof. Aryani menuangkan keluasan pengetahuan dalam kutipan langsung ini:

Karena dalam level teori tidak ada lagi vested interest maupun ego- sektoral, teori bersifat universal, tidak untuk umat atau kelompok tertentu, melainkan untuk semua umat dan semua kelompok manusia (Aryani 2021, p. 6).

lmu pengetahuan itu luas, tujuannya untk semua umat manusia. Di sinilah, para ilmuwan, para intelektual, dan para peneliti mempunyai tugas meluaskan hati, dan melihat obyek atau subyek dengan lebih luas lagi, daripada yang tidak meneliti. Ilmuwan tidak harus berdiri di kelompok tertentu, tidak harus membela kepentingan tertentu. Idealnya harus membela manusia secara utuh. Bahkan dalam wacana global warming, pemanasan global, ilmuwan dan cendikiawan harus membela dunia, makhluk, bumi, dan demi keseimbangan semesta. Kutipan yang menginspirasi. Pengetahuan hasil dari riset dan perenungan itu netral, bisa digunakan apa saja, tetapi hendaknya digunakan untuk kepentingan manusia, dunia, semua makhluk. Dalam tradisi Buddhisme ini tercakup dalam kalimat:

Sabbe Sattā Bhavantu Sukhitattā

Kebetulan kemarin adalah hari Waisak. Kalimat itu berarti, semoga semua makhluk berbahagia, bisa diucapkan dalam berbagai kesempatan.

Pidato Prof Aryani juga mengingatkan kita pada dialog lintas tradisi keagamaan. Kutipan berikut ini menggambarkan itu:

Sementara pada saat yang sama Psikologi Islami justru terkesan stagnan karena terkesan terus menerus berkutat pada seluk beluk jiwa (nafs) hingga psikoterapi. Padahal Psikologi Agama, yang tidak terbatas pada agama tertentu, adalah pintu masuk yang sangat baik dalam membangun psikologi suatu agama, termasuk Psikologi Pastoral dalam tradisi Kristiani dan Psikologi Islami dalam lingkungan ilmuwan muslim (Aryani 2021, p. 23).

Psikologi yang bertumpu pada tradisi Islam, atau pengamatan terhadap tingkah laku manusia Muslim, harus terbuka dan siap mengambil hikmah dari tradisi mana saja. Para psikolog atau pengamat, harus bisa belajar pada psikologi ummat lain, tradisi lain. Secara jelas pastoral Kristiani mengajarkan sesuatu, yang berbeda dan bisa menjadi pelajaran bagi Muslim sebagai pengalaman yang berbeda.

Saya kira kita bisa juga kembali pada berbagai penyembuhan kejiwaan yang lebih tua, misalnya Buddhisme. Dalam Buddha terutama dalam penggarapan diri, kontemplasi dan perenungan mendalam untuk mencapai jati diri yang lebih sempurna bisa digunakan dan dilakukan siapa saja, dengan iman mana saja. Buddhisme saya kira juga perlu mendapat perhatian, tradisi tua, 1000 tahun lebih tua paling tidak dengan tradisi Islami.

Psyche Περὶ Ψυχῆς itu sendiri adalah Bahasa Yunani, 2500 tahun yang lalu. Buku yang dikenal De Anima karya Aristoteles ini banyak menginspirasi filosof Muslim, menterjemahnya menjadi nafs, atau jiwa. Ishaq ibn Hunayn (910), filosof Arab menterjemahkannya. Baik Ibn Sina dan Ibn Rusyd membahasnya berdasarkan kitab kuno itu. Jadi ilmu jiwa di Islam sejak awal perpaduan, Yunani, dan Latin. Sekarang psikologi bergabung dengan tradisi Barat. Lebih kaya lagi kalau semangatnya inter-religius: India, China, Barat, Arab, Indonesia.

Pengalaman inter-religius, belajar pada pengalaman umat lain, sangat membantu kita meluaskan pandangan. Sekedar gambaran, Katolik dengan pengakuan dosa saya kira juga membantu meringankan beban orang yang berdosa, sekaligus tempat melepaskan duka, sebagaimana ajaran Buddha tentang pelepasan atas samsara atau nestapa, atau penderitaan.

Dalam ajaran lama, seperti Yahudi, ratapan tembok, berdoa dan pengakuan kesalahan, serta pengungkapan harapan juga perlu mendapat perhatian dan menjadi pelajaran. Saat ini para penggiat medsos, juga meratap di tembok-tembok Facebook. Kita lihat semua keluhan, kritikan, ungkapan ketidakpuasan, kegembiraan, protes semua tertumpah di status Facebook. Kebetulan pendiri Facebooknya, Mark Zuckerberg bertradisi atau berasal dari iman Yahudi. Maka memakai Facebook berarti sudah interreligious. Sekedar contoh popular.

Pada tahap penyembuhan jiwa (psyche, nafs) kita bisa memahami dengan sedikit membandingkan atau belajar pada iman lain. Zikir kita, atau solat malam kita saat sepi, bisa sama khusuknya dengan mendengar lagu-lagu gereja. Atau suara lonceng, kita rasakan dan bandingkan dengan suara azan, sebagaimana Kenneth Cragg (seorang pendeta yang mendalami Islam, tulisannnya the call of the minaret) juga melakukan hal yang sama. Yoga dan meditasi dengan zikir kita kurang lebih memahamkan kita bagaimana tujuan kesadaran, ketenangan, kebahagiaan bisa didapat dengan usaha berdoa dengan cara yang berbeda.

Mari baca dan amati Prof. Aryani melanjutkan kalimatnya:

Oleh karena itu, perluasan horizon atau penerimaan keilmuan lain adalah metode yang sah dan valid dalam Islamisasi Ilmu Pengetahuan (Aryani 2021, p. 24).

Prof. Aryani dalam pidato ini menegaskan perlunya meluaskan pandangan, tidak terpukau pada metode, teori dan hasil penelitian dan tradisi tertentu. Tetapi kita harus berani keluar dari apa yang kita jalani, teliti, dan fahami. Keluar dari zona nyaman kita, gelembung udara kita, dan kolam kita. Kita harus melihat bagaimana orang lain dengan cara pandang berbeda juga mempunyai metode, teori dan pandangan, meskipun itu berbeda dengan kita.

Prof. Aryani telah menjalani sebagai aktivis CTSD, Dekan, Wakil Rektor kini meraih Guru Besar. Semoga sumbangannya nanti kita harapkan. Nasehat-nasehatnya tentang perluasan pandangan, dan juga hasil penelitiannya tentang psikologi akan meluaskan dan melebarkan dada, hati, dan pikiran lebih jernih lagi.

Selamat berkarya.