Yuangga Kurnia Yahya, seorang akademisi yang lahir di Tanjung Redeb 30 tahun silam, berhasil menyelesaikan studi doktoralnya pada Prodi Studi Islam Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga dalam waktu 2 tahun 11 bulan 29 hari, dengan IPK sangat membanggakan, 3.98. Prestasi ini membawanya dinobatkan sebagai Wisudawan Terbaik Tercepat pada Sidang Senat Terbuka Wisuda Periode II Tahun Akademik 2024/2025 yang digelar pada Rabu (19/2/2025) di Gedung Multi Purpose kampus setempat.
Sosok inspiratif yang kini juga menjalani peran sebagai seorang Ayah, membagikan kisah perjuangannya dalam menyelesaikan studi doktoral dengan penuh dedikasi. Baginya, keluarga adalah sumber kekuatan terbesar. Sang istri yang saat itu tengah mengandung, serta perjalanan hidup mereka berdua di Yogyakarta, menjadi kobaran semangat yang tak padam, mendorongnya untuk menyelesaikan studinya secepat mungkin.
Tak hanya itu, dorongan dari beasiswa LPDP juga menjadi faktor pemacu yang tak kalah penting. Dengan batas pendanaan selama 36 bulan, ia sadar bahwa setiap detik begitu berharga. “Saya harus menyelesaikannya dalam masa pendanaan yang diberikan, dan itu menjadi tantangan sekaligus motivasi terbesar saya,” ungkapnya dengan penuh determinasi. Dengan dedikasi yang tinggi serta manajemen waktu yang baik, ia menunjukkan bahwa meraih gelar doktor tidak selalu membutuhkan waktu panjang, tetapi dapat diselesaikan dengan efektif tanpa mengorbankan kualitas akademik.
Namun, perjalanan akademik Yuangga bukanlah tanpa rintangan. Sebagai dosen di Universitas Darussalam Gontor, ia dihadapkan pada tantangan besar dalam membagi waktu antara mengajar, menjalani perkuliahan di UIN Yogyakarta, serta mendampingi sang istri yang juga tengah menempuh studi doktoral di universitas yang sama. Di tengah padatnya aktivitas, ia juga harus menghadapi keterbatasan fisik yang tidak lagi sekuat dulu. Menyadari hal itu, Yuangga mengambil keputusan strategis dengan mengambil cuti dari institusinya dan menerapkan disiplin waktu yang ketat dalam menyelesaikan studinya. Ia memperlakukan penyusunan tugas akhir layaknya jam kerja di kantor, serta bila memungkinkan, melanjutkan di malam hari.
“Saya sadar, tubuh ini tidak bisa diforsir seperti dulu. Karena itu, saya menjalankan jadwal secara konsisten dengan menetapkan target mingguan dan bulanan untuk menyelesaikan tugas kuliah serta tugas akhir,” tandasnya
Di balik keberhasilannya menyelesaikan studi doktoral dengan cepat, ada sosok yang turut mengagumi perjuangannya, sang istri, Umi Mahmudah, yang juga tengah menempuh studi doktoral pada Program Studi Pendidikan Bahasa Arab di kampus yang sama . Ia menyaksikan sendiri bagaimana dedikasi dan ketulusan Yuangga tidak hanya dalam akademik, tetapi juga dalam membantu orang lain, terutama mahasiswa yang ia bimbing.
Umi menuturkan, bahwa banyak mahasiswa yang telah melewati semester delapan datang untuk meminta bimbingan,. Tidak hanya satu atau dua orang, tetapi banyak sekali mahasiswa dengan status ini yang dipercayakan kepadanya. “Meskipun demikian, suami saya selalu sabar mendampingi mereka hingga akhirnya lulus, meskipun harus terseok-seok,” ungkapnya dengan penuh kagum.
Hal yang sama juga dirasakan Yuangga dari para promotornya yang luar biasa. Ia merasakan betapa besar dukungan dan bantuan yang diberikan oleh dua dosen pembimbingnya, Prof. Dr. Ibnu Burdah dan Dr. Zamzam Afandi, sepanjang proses penyusunan disertasi. Keduanya bukan sekadar pembimbing akademik, tetapi juga sosok yang menunjukkan dedikasi luar biasa. Mereka tidak hanya memberikan arahan mendalam dalam penelitian, tetapi juga dengan teliti mengoreksi setiap bagian disertasi, memastikan bahwa setiap detail tersusun dengan baik. Lebih dari itu, perhatian mereka melampaui sekadar kewajiban akademik “Bahkan saat bulan puasa, ketika kebetulan melewati daerah kami, beliau menyempatkan mampir ke masjid dekat rumah untuk memberikan bimbingan dan koreksi. Dedikasi seperti ini benar-benar luar biasa dan tidak akan pernah kami lupakan” ungkapnya penuh haru.
Umi Mahmudah pun memberikan pesan kepada para pejuang studi, bahwa menyelesaikan disertasi memang memerlukan perjuangan dan pengorbanan. “Kami pun berjuang dan berkorban hijrah ke Yogyakarta dan meninggalkan apa yg sudah nyaman di kota asal. Meskipun berat, namun usaha tidak membohongi hasil” pungkasnya.
Dalam setiap langkahnya, Yuangga menunjukkan kepada dunia bahwa seperti halnya dalam meraih beasiswa LPDP yang ia terima, tidak ada pencapaian yang datang tanpa pengorbanan yang berarti, komitmen, dan keikhlasan dalam berbuat baik. Sebab pada akhirnya, hal indah yang diperjuangkan, setiap kebaikan yang ditanam, akan kembali pada diri sendiri. (humas sk)