WhatsApp Image 2025-05-06 at 15.55.21(1).jpeg

Selasa, 06 Mei 2025 16:23:00 WIB

0

Konvergensi dan Divergensi Islam-HAM Internasional: Pidato Prof. Siti Ruhaini dari Mimbar Guru Besar

Dubes RI untuk Uzbekistan dan Kirgistan, Siti Ruhaini Dzuhayatin resmi dikukuhkan sebagai Guru Besar Bidang Ilmu Hak Asasi Manusia (HAM) dan Gender Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta melalui Sidang Senat Terbuka pada Selasa (6/5/2025). Ia mempersembahkan sebuah pidato ilmiah yang menggugah kesadaran global berjudul “Pendekatan Konvergensi-Divergensi dalam Kontestasi Islam dan Hak Asasi Manusia Internasional.”

Hal itu, bukan hanya perayaan akademik, melainkan juga momentum reflektif atas relasi yang kompleks dan dinamis antara agama, khususnya Islam, dan rezim hak asasi manusia internasional. Dengan kerangka konseptual yang tajam, Siti Ruhaini mengajak audiens untuk memahami bahwa hubungan antara Islam dan HAM bukanlah hubungan biner yang sepenuhnya bertentangan atau sepenuhnya selaras, melainkan ruang dialog yang terus-menerus dinegosiasikan.


“Agama dan HAM tidak memiliki kontradiksi yang permanen, tetapi juga tidak serta merta kompatibel. Diperlukan upaya negosiasi terus-menerus menuju titik temu,” ujar Prof. Siti Ruhaini, mengutip pemikir Muslim progresif Abdullahi an-Na'im.

Dalam pidatonya, ia memetakan respons umat Islam terhadap HAM ke dalam tiga spektrum: kontributif-konstruktif, kontestatif-destruktif, dan negosiatif-rekonsiliatif. Pemetaan ini penting untuk menghindari generalisasi dan memahami keragaman pandangan dari dunia Islam, mulai dari Maroko hingga Indonesia.

Lebih jauh, figur yang juga pernah menjabat sebagai Stafsus Presiden RI Bidang Keagamaan Internasional ini, menyoroti lahirnya HAM kontemporer sebagai sebuah hybrid norm yang dibentuk oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa. Sebagai rezim internasional yang mengikat seluruh negara, ia menyebut pentingnya keterlibatan konstruktif dari umat beragama, bukan hanya sebagai obyek yang diatur, tetapi juga sebagai subyek yang turut menyusun nilai-nilai dasar penghormatan terhadap martabat manusia.

Di tengah kritik atas bias sekularisme dan euro-sentrisme dalam rezim HAM internasional, Siti Ruhaini menawarkan pendekatan konvergensi-divergensi. Pendekatan ini menggabungkan dua arus besar: satu, dari nilai-nilai lokal menuju konsensus global (konvergensi), dan dua, dari norma global menuju implementasi kontekstual di masing-masing negara (divergensi).

“HAM internasional bersifat firmly universal, namun implementasinya harus flexibly relative. Dalam konteks Islam, prinsip-prinsip HAM justru bersumber dari ajaran Tauhid yang menegaskan kesetaraan dan martabat manusia,” tegasnya.

Melalui pendekatan ini, Siti Ruhaini berharap diskursus Islam dan HAM tidak lagi didominasi oleh ketegangan ideologis, melainkan dipandu oleh semangat kolaboratif dan penghormatan terhadap keberagaman budaya dan agama.

Pidato pengukuhan ini bukan hanya menandai pengakuan akademik atas kiprah keilmuan Prof. Siti Ruhaini Dzuhayatin, tetapi juga menjadi tawaran segar bagi dunia global yang masih berjuang mencari titik temu antara nilai-nilai religius dan universalitas HAM.

Dalam suasana penuh penghormatan, nama Siti Ruhaini pun semakin kukuh sebagai jembatan antara tradisi dan modernitas, antara iman dan hak, serta antara Timur dan Barat dalam percakapan global tentang keadilan dan kemanusiaan.(humassk)